Jayapura, Jubi – Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP mengungkap aturan pengadaan tanah dan ganti rugi untuk pembangunan pelabuhan peti kemas di Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, menguntungkan Pemerintah Kabupaten Jayapura. Penilaian itu menjadi kesimpulan investigasi atas kebijakan pembangunan tol laut pelabuhan Depapre yang dilakukan AlDP pada Juli 2021 hingga Oktober 2023.
Hal itu disampaikan Divisi Keadilan ALDP, Latifah Alhamid, di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Senin (30/10/2023). “[Aturan itu] menguntungkan pemerintah, karena penetapan harga dilakukan tanpa Nilai Jual Obyek Pajak atau NJOP. Padahal pemerintah punya wewenang untuk menetapkan NJOP,” ujar Latifah kepada Jubi melalui layanan pesan WhatsApp, pada Senin.
Latifah mengatakan proses pengadaan dan ganti rugi tanah dilakukan Panitia Pengadaan Tanah Pemerintah Kabupaten Jayapura yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan di masa Bupati Habel Suwae. Latifah mengatakan pembebasan lahan telah dilakukan secara bertahap sebanyak tiga kali sejak 2008 sampai dengan 2013 dengan luas lahan 24,83 hektar dari total 74,3 hektar lahan yang dibutuhkan untuk Pelabuhan Tol Laut Depapre.
“Kebutuhan [seluas] 74 hektar untuk wilayah pelabuhan [baik laut maupun darat]. Namun yang saat ini sudah dibayarkan ada 24 hektar lebih [dan] batasannya tidak jelas [di mana] titik awal dan di mana titik akhirnya,” katanya.
Latifah mengatakan dalam periode 2008 sampai 2013 ada empat tahap pembayaran memakai rujukan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Aturan itu menyebut bahwa tanah yang dibebaskan berdasarkan NJOP yang berlaku. Latifah mengatakan pada 2008 wilayah Depapre belum memiliki NJOP.
“Tahun 2008 itu wilayah pelabuhan sesungguhnya nya belum ada NJOP tetapi pemerintah memberikan bayaran dengan harga kurang lebih Rp50.000 per meter persegi. Tidak ada dasar hukum yang jelas memilih angka Rp50.000 itu,” ujarnya.
Latifah mengatakan seharusnya nilai tanah yang dibebaskan tetap dihitung secara pantas, dengan meneliti dan membandingkan NJOP pada wilayah Kota Jayapura atau lokasi terdekat lainnya yang berada di kabupaten Jayapura. “Dengan nilai [ganti rugi] yang tidak layak dan proses yang tidak adil, kami berkesimpulan bahwa proses ganti rugi itu menguntungkan pemerintah,” katanya.
Menurut Latifah Pemerintah Kabupaten Jayapura seharusnya bisa membayar ganti rugi tanah di Depapre dengan mengacu harga/NJOP di Daerah Doyo yang waktu itu sudah memiliki NJOP dengan harga tanah Rp285.000 per meter persegi, dan bangunan Rp1.200.000 per meter persegi.
“Jadi penetapan Rp 50 ribu itu dilakukan secara sepihak apalagi untuk pembayaran tahap pertama itu ada pemotongan 5% pph dan 4% biaya panitia pengadaan tanah. Intinya dianggap belum ada nilainya sehingga dibayar Rp50 ribu per meter persegi [yang] tidak memiliki dasar,” ujarnya.
ALDP merekomendasikan agar pemerintah melakukan pengukuran ulang dan kajian secara terbuka dengan melibatkan para pemilik hak ulayat, masyarakat adat dan pemerintah di Depapre. Latifah mengatakan ini penting guna menghitung kembali terkait ganti rugi tanah hak ulayat yang layak bagi masyarakat adat.
“Suka tidak suka pelabuhan itu sudah ada. Pembangunan sudah jalan dan mengambil hak masyarakat adat, sumber mata pencarian. Mereka harus mencari ikan lebih jauh sedangkan mereka tidak punya perahu yang besar. Masyarakat sesungguhnya melihat itu peluang pembangunan masuk. Kalau ada pelabuhan, jalan diperbaiki, jaringan internet bisa masuk, masyarakat punya harapan untuk membuka diri,” ujarnya. (*)