Jayapura, Jubi – Yayasan Wahana Visi Indonesia dan USAID Kolaborasi menggelar dialog publik Mendengar Suara Perempuan untuk membahas kepentingan perempuan dalam kelompok rentan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua di Kota Jayapura, Selasa dan Rabu (14/12/2022). Dialog itu diharapkan mendapatkan rumusan solusi terkait peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua, terutama perempuan dan kelompok rentan di era otonomi khusus ini.
Dialog Publik Mendengar Suara Perempuan itu terselenggara melalui kerja sama dengan kelompok pemerhati masyarakat seperti LP3AP dan LBH APiK. Kegiatan ini akan melibatkan 100 peserta terdiri dari dari unsur ASN, akademisi, tokoh masyarakat, agama, adat, perempuan, pemuda, penegak hukum, jurnalis, forum penyandang disabilitas dan para pemerhati isu perempuan di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Keerom.
Diskusi publik itu dilaksanakan dalam dua sesi yang menghadirkan narasumber pemerintah, akademisi, praktisi dan pemerhati pembangunan otonomi khusus dan persoalan perempuan. Chief of Party USAID Kolaborasi Project, Caroline Tupamahu dalam sambutan menyatakan penggunaan Dana Otsus Papua untuk pelaksanaan pembangunan yang berpihak kepada perempuan dan penyandang disabilitas hanya dapat dipertajam jika situasi perempuan dan penyandang disabilitas didengarkan.
Diskusi publik itu juga ingin memahami sejauh mana penggunaan Dana Otsus Papua berdampak kepada kelompok rentan. “Kegiatan pada hari ini sangat cocok, karena kita bisa mendengarkan suara perempuan. Bagaimana suara Mama-mama, bagaimana suara perempuan Papua, tentang apa yang mereka rasakan apa, [dan] harapan mereka terkait kesejahteraan mereka,” katanya.
Tupamahu menyatakan diskusi publik itu ingin membangun kebersamaan persepsi para pemangku kepentingan, baik penyelenggara pemerintahan, akademisi, lembaga pemasyarakatan lembaga, praktisi, dan kelompok rentan yang memiliki visi dan misi bagi peningkatan hidup Orang Asli Papua. Pemerintah sebagai penyelenggara kebijakan Otsus Papua dapat bertemu dan berdialog dengan perwakilan lintas lembaga kemasyarakatan, dan berdiskusi tentang pelaksanaan Otsus Paupa yang responsif gender.
“Kita bisa memikirkan ulang bagaimana peran masyarakat rentan, bagaimana mereka bisa mendapatkan akses layanan kesehatan, termasuk para penyintas kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender. Supaya bagaimana Papua cerdas Papua sehat Papua produktif itu bisa dirasakan juga oleh kelompok rentan,” ujarnya.
Kepala Dinas Sosial, Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua, Yunus Wenda berharap forum itu dapat merumuskan kesepakatan terkait keterlibatan perempuan dan kelompok rentan dalam pembangunan di Papua. Wenda menyatakan rumusan itu dapat disampaikan kepada pemerintah. “Apa yang terjadi [di daerah masing-masing] disampaikan supaya kita [mencari solusi untuk] selesaikan persoalan itu,” katanya. (*)