Jayapura, Jubi – Langkah DPR RI mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang atau RUU pemekaran Papua untuk membentuk tiga provinsi baru di Papua pada Kamis (30/6/2022) lalu mendapatkan tanggapan dar Ketua West Papua Council United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP, Buchtar Tabuni. Tabuni menyatakan ULMWP nantinya akan menyelenggarakan pemerintahan di Tanah Papua yang terbagi dalam tujuh provinsi, sesuai dengan tujuh wilayah adat di Papua.
Hal itu dinyatakan Buchtar Tabuni saat dihubungi Jubi pada Jumat (1/7/2022). Menurutnya, ketujuh wilayah adat yang akan menjadi tujuh provinsi dalam pemerintahan sementara yang dipimpin ULMWP itu adalah Wilayah Adat Lapago, Meepago, Saireri, Mamta, Animha, Domberai, dan Bomberai.
“Pemerintah Indonesia mau bentuk dua dan tiga provinsi, silahkan. Tapi, Papua itu milik negara West Papua, dengan tujuh wilayah adat. Jadi, [pemerintah Indonesia] mau [membentuk] berapapun, silahkan,” ujar Tabuni.
Tabuni menyatakan Pemerintahan Sementara West Papua sudah mengklaim bahwa Tanah Papua adalah tanah airnya. “Kami akan bentuk tujuh provinsi, sesuai wilayah adat, karena sejarah kami jelas. Jadi, rakyat Papua tidak ada urusan dengan pemekaran indonesia,” katanya.
Ia mengajak masyarakat Papua untuk tidak terpengaruh dengan pembentukan Daerah Otonom Baru yang justru menciptakan perpecahan. Menurutnya, seluruh rakyat Papua tetap satu dalam pemerintahan sementara, dan program pemerintahan sementara akan terus dijalankan sesuai agenda Negara West Papua.
“Jakarta punya program [pemekaran] itu tidak perlu ditanggapi rakyat Papua. Kami fokus program Negara West Papua dalam agenda tujuh provinsi di West Papua. Silahkan semua sama-sama jalan, tapi yang punya rakyat siapa? Kita akan lihat,” katanya.
Tabuni mengatakan Pemerintahan Sementara ULMWP sudah memiliki undang-undang, dan dalam waktu dekat akan membentuk provinsi serta memilih gubernur. “Pemerintahan Sementara West Papua sudah punya undang-undang, sudah ada kabinet. Kami sudah ada tim penyelenggara provinsi. Ke depan, akan ada pemilihan gubernur, dan pemilihan umum di West Papua. Jadi sama-sama jalan, kita lihat nanti saja,” katanya.
Tabuni juga mengungkapkan ia merasa terintimidasi atas kedatangan polisi di kediamannya dalam acara doa bersama pada Jumat. “Mereka berpikir soal [peringatan 1 Juli 1971]. Tapi saya ini pimpinan sipil, dan saya tidak ada agenda memperingati hari bersejarah untuk militer. Kalau ada doa bersama untuk mengingat sejarah, itu hal yang biasa,” katanya.
Sebelumnya, anggota DPR Papua, Namantus Gwijangge mengaku kesal dengan langkah DPR RI yang pada Kamis (30/6/2022) mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang atau RUU pemekaran Papua menjadi Undang-Undang. Pengesahan tiga RUU pemekaran Papua tentang pembentukan tiga provinsi baru di Papua itu dinilai Gwijangge mengabaikan aspirasi Orang Asli Papua yang menolak pemekaran Papua.
Gwijangge menyatakan mayoritas Orang Asli Papua menolak pembentukan tiga provinsi baru itu. “Kami kesal dengan Negara, meskipun mayoritas masyarakat menolak [pembentukan provinsi baru], namun [aspirasi itu] diabaikan. Sementara pihak yang menerima Daerah Otonom Baru di Papua hanya segelintir pejabat. Harusnya ada pertimbangan [yang] dilihat oleh DPR-RI,” kata Gwijangge. (*)
Discussion about this post