Jayapura, Jubi โ Presiden Gereja Gereja Baptis West Papua, Pdt Dr Socratez Sofyan Yoman mengatakan sejak Indonesia berkuasa di Papua pada 1 Mei 1963, Orang Asli Papua hidup dalam rasisme. Ia menilai berbagai kebijakan yang dibuat atau diselenggarakan Indonesia di Papua, mulai dari Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969, Otonomi Khusus Papua, hingga pemekaran wilayah adalah pendekatan fasis dan rasis.
Hal itu dinyatakan Yoman dalam Konferensi Pers Dewan Gereja Papua di Kantor GIDI, Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Rabu (13/7/2022). “Jantung pendekatan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua itu murni rasisme dan fasisme.ย Hal itu ditunjukkan melalui kekuatan militer yang berlebihan, menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Orang Papua yang hidup di Indonesia benar-benar berada dalam penjajahan indonesia,”kata Yoman.
Situasi rasisme dan fasisme itu membuat Orang Asli Papua tidak merasa menjadi bagian dari Indonesia. “Jadi, hari ini, meskipun Indonesia berupaya untuk membangun kesadaran orang Papua untuk menjadi Indonesia, dan orang Papua bekerja di birokrasi pemerintah Indonesia, hari ini mereka sedang berada dalam kesadaran palsu. Indonesia adalah penjajah,” katanya.
Yoman mengatakan situasi kekerasan negara Indonesia mengajarkan nasionalisme palsu kepada orang Papua, sehingga nasionalisme Indonesia itu tidak bertumbuh dalam diri orang Papua. Buktinya, hari ini orang Papua melakukan perlawanan terhadap negara Indonesia.
“Indonesia dengan kekuatan militernya memusnahkan buku-buku sejarah Papua, melarang penerbitan buku-buku Papua. Semua itu, mereka berusaha memaksa nasionalisme Indonesia di Papua, tetapi tidak mempan. Buktinya, hari ini orang Papua masih melakukan perlawanan,”katanya.
Akan tetapi, demikian menurut Yoman, Indonesia dengan kekuatan militer melakukan kekerasan terhadap Orang Asli Papua, dan ia menyatakan Orang Asli Papua mengalami genoside atau pemusnahan etnis. Ia mengingatkan orang Papua yang mendukung Otonomi Khusus Papua sedang mendukung kebijakan Indonesia yang membahayakan Orang Asli Papua.
“Kami juga perlu mengingatkan kepada hamba Tuhan ataupun intelektual Papua yang hari ini mendukung kebijakan pemerintah terkait dengan Otonomi Khusus, kalian harus sadar. ย [Sebagai] hamba Tuhan, mereka harus mendengar jeritan umat, lalu bersuara tentang jeritan umat, bukan malah membela negara dengan kebijakannya,” katanya.
Yoman mengatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah memetakan empat akar persoalan Papua. Ia menyatakan Pemerintah Indonesia seharusnya membuka diri melakukan dialog bersama dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
“Kami dengan gereja memandang bahwa negara memberikan Otonomi Khusus, memberikan tiga provinsi, [namun] itu bukan menyelesaikan masalah. [Itu] justru menambah masalah dan benih konflik antar masyarakat, itu sangat kental. Kami minta indomesiaย dialog dengan ULMWP,” katanya.
Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tanah Papua, Dorman Wandikbo mengatakan, sejak bangsa Papua dianeksasi Indonesia melalui Trikora 1961 dan penguasaan Papua pada 1Meiย 1963, pendekatan pembangunan yang diterapkan murni pendekatan rasisme. Hal itu antara lain terlihat dari cara negara Indonesia Pepera 1969 melalui militer. Wandikbo juga menilai pendekatan yang dipakai Indonesia bias rasisme.
“Karena pendekatan rasisme kepada bangsa Papua, pelanggaran HAM terus terjadi. Operasi Koteka Tahun 1977 di Pegunungan Tengah Papua, pada tahun 1980-an, pada 1990-an. [Sehingga] orang Papua meminta merdeka, dan mereka memberikan Otonomi Khusus. Saat ini, rakyat menolak Otonomi Khusus dan Daerah Otonom Baru. Negara indonesia memberikan secara paksa, tanpa mempertimbangkan apirasi murni rakyat Papua,” katanya.
Wandikmbo mengatakan Belanda datang dan menyiapkan Papua menjadi sebagai sebuah negara. Akan tetapi, Indonesia datang untuk menjajah bangsa Papua.ย “Belanda mendorong agarย orang Papua bisa maju. Indonesia malah merampas kekayaan orang Papua. Belanda menyiapkan orang Papua untuk berkembang, Indonesia malah membunuh orang asli Papua,” katanya. (*)
Discussion about this post