Jayapura, Jubi – Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt Benny Giay mengatakan negara Indonesia melalui aparat keamanannya terus melakukan kekerasan terhadap orang Papua, dan kekerasan negara terhadap orang Papua itu terjadi secara sistematis. Kekerasan negara itu kembali terlihat dalam tindakan represif aparat kemanan yang membubarkan demonstrasi Petisi Rakyat Papua di Kota Jayapura pada Selasa (10/5/2022).
Hal itu dinyatakan Pdt Benny Giay dalam Media Brief: Aksi Tolak DOB Papua yang diselenggarakan Amnesty International Indonesia secara daring pada Kamis (12/5/2022). Giay menyatakan tindakan represif polisi itu memperkuat persepsi orang Papua tentang bagaimana sebenarnya Indonesia memandang Papua dan orang Papua.
“Penangkapan [dan] kekerasan terhadap [massa] aksi penolakan pemekaran Papua memperkuat pemahaman kami tentang Papua apa yang Indonesia pahami. Kehadiran polisi dan kendaraan lapis baja, [dan] pengiriman pasukan besar-besaran [terjadi] sejak 19 Agustus 2019, dengan upaya massif untuk melumpuhkan demonstran yang [memprotes insiden rasisme terhadap orang Papua]. Strategi represif [serupa] diulangi tahun 2021, saat [pemerintah memperpanjang] Otonomi Khusus untuk 20 tahun ke depan. Rakyat Papua diperlakukan [dengan cara yang] sama,” kata Giay.
Giay mengatakan 1 Mei 1963 selalu diperingati sebagai hari penting, karena pada 1 Mei 2022 yang lalu Orang Asli Papua sudah 59 tahun hidup dalam konflik Papua yang berdarah bersama Indonesia. “Kami masih di Tanah Papua yang terus mengalami kekerasan negara secara sistematis. Gereja menjadi saksi banyaknya perlakuan kekerasan [yang dilakukan negara] secara sistematis, sementara negara Indonesia terus mewacanakan kesejahteraan bagi orang Papua,” kata Giay.
Giay mengatakan sejak tahun 1962 pidato propaganda politik Presiden Soekarno sudah menyebut upaya memperhebat pembangunan agar orang Papua sejahtera, atau menyejajarkan orang Papua dengan suku lain di Indonesia. Akan tetapi, begitu negara Indonesia mengusai Papua pada 1 Mei 1963, Indonesia justru melakukan hal yang sebaliknya, dan praktik kekerasan negara terjadi.
“Pada kenyataannya, sehari setelah Netherlands New Guinea menyerahkan Papua kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, aparat Indonesia mengumpulkan buku sejarah kebudayaan Papua [yang dibuat peneliti Belanda]. Berbagai buku tentang etnografi, politik, hukum, Hak Asasi Manusia, dan kebudayaan Papua itu mereka kumpulkan di lokasi yang sekarang menjadi Kantor DPR Papua, dan mereka bakar sambil menyanyikan lagu-lagu nasional. Pembakaran buku itu seperti yang dilakukan Hitler dan rombongannya, ketika mereka membakar buku milik Yahudi di Berlin pada 1938,” kata Giay.
Giay mengatakan negara Indonesia mengatakan semangat untuk menyejahterakan orang Papua, namun aparatnya justru merampok barang milik orang Papua. Mereka merampok harta kelompok elit Papua yang terpelajar, khususnya orang Biak di Jayapura.
“Mereka ambil, taruh di truk. Mereka rampok Kantor Gubernur, persis dicatat oleh Acup Zainal dalam memoarnya, dan dicatat sejarawan Australia. [Dalam] pidato publiknya, [pejabat] Indonesia berbicara tentang menyejahterakan Orang Asli Papua. Akan tetapi, dalam program konkretnya [justru] mengendalikan orang Papua, membuat sengsara Orang Asli Papua,” kata Giay.
Giay menyatakan kekerasan negara terjadi karena aparat keamanan Indonesia selalu bertangan besi. Setiap orang Papua yang membuat pernyataan dipantau aparat. “Opini dikendalikan oleh negara secara represif,” katanya.
Giay mengatakan cara negara Indonesia mengendalikan orang Papua tidak demokratis, sebagaimana yang terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah Indonesia juga mengabaikan pendekatan selain pendekatan keamanan, termasuk mengabaikan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam dokumen Papua Road Map.
“Negara Indonesia mengabaikan rekomendasi empat sumber konflik Papua yang disebutkan LIPI. Padahal, menurut kami dari Dewan Gereja Papua, barangkali [hal itu] cara terbaik untuk menyelesaikan masalah Papua, dengan kembali ke sejumlah [akar] masalah konflik Papua. [Itu yang harus dilakukan negara untuk] selesaikan masalah Papua, bukan memperpanjang Otonomi Khusus Papua secara sepihak, dan bukan juga memekarkan Provinsi Papua, karena hal itu justru hanya memperpanjang konflik Papua,” kata Giay.
Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Ronald Rischard Tapilatu selaku pembicara dalam Media Brief yang sama menyatakan kekerasan negara terhadap Orang Asli Papua sampai sekarang tidak berubah secara signifikan. Kekerasan negara terhadap Orang Asli Papua terus menjadi pola yang berulang.
Ia menyatakan kekerasan negara itu juga mengabaikan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia. “Kami prihatin melihat situasi terakhir, saat demonstrasi pada 10 Mei 2022. Saya tidak tahu pikiran aparat yang mengawal proses demonstrasi itu, kenapa harus menggunakan kekuatan seperti itu, hingga akhirnya terjadi kekerasan yang melanggar prinsip konstitusi, nilai kemanusiaan, prinsip demokrasi, dan nilai Hak Asasi Manusia,” kata Tapilatu.
Tapilatu menyatakan penolakan terhadap Otonomi Khusus Papua dan pemekaran Papua terjadi karena proses penyusunan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) maupun tiga Rancangan Undang-undang (RUU) pemekaran Papua mengabaikan aspirasi orang Papua. “Dari awal, pelibatan [Orang Asli Papua] tidak dilakukan seturut dengan undang-undang,” kata Tapilatu.
Menurut Tapilatu, dalam proses penyusunan UU Otsus Papua Baru dan tiga RUU pemekaran Papua itu pemerintah bahkan mengabaikan keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP). “Suara MRP tidak didengar. Padahal MRP itu jantung Otonomi Khusus Papua. Saya melihat tidak ada kemauan baik untuk menyelesaikan persoalan politik di Papua,” kata Tapilatu. (*)
Discussion about this post