Jayapura, Jubi – Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt Dr Benny Giay mengatakan pidato Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam Rakernas II PDI Perjuangan pada 21 Juni 2022 membuktikan cara pikir negara Indonesia yang rasis kepada orang Papua. Giay menilai pandangan Indonesia terhadap Orang Asli Papua memang bias rasisme, dan hal itu memicu konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM terhadap Orang Asli Papua.
“Dalam surat gembala kami, Tuhan bilang Semua Manusia baik dimata Tuhan, tapi Ketua Umum PDI Perjuangan bilang hal [yang] rasis. Itu pemahaman Megawati terhadap manusia Papua. Selamat kepada Papua, dan saya sampaika juga selamat 59 tahun konflik di Papua. Maka, selamat merayakan kenyataan kehidupan, urus keluarga, baik di tanah leluhur yang tidak pernah berhenti berdinamika ini,” kata Giay dalam keterangan pers Dewan Gereja Papua di Kantor Gereja Injili di Indonesia Tanah Papua, Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Rabu (13/7/2022).
Giay mengatakan Dewan Gereja Papua menyayangkan perkembangan situasi di Papua. Selain mengkritik pidato Megawati, Dewan Gereja Papua antara lain menyoroti masalah pemekaran Papua, rasisme Papua, konflik Papua yang terus berlanjut, serta Otonomi Khusus Papua.
“Kami sebut konflik, dan dinamika di Jakarta. Soal Daerah Otonom Baru dan Otonomi Khusus Papua, [hal itu bisa] mendorong konflik di Papua. Itu akan berdampak besar ke depan. Pidato Megawati yang rasis terhadap orang Papua, kegelisahan dan kegusaran dia begitu lihat Papua [dan] orang hitam, itu dia cerita dengan pengalaman ke Papua, bertemu orang hitam yang banyak orang Papua. Dia berbicara gen hitam ini bisa diubah, misalnya dia bilang orang pantai su aman karena banyak orang pendatang, jadi mereka bisa kawin campur,” ujar Giay.
Ia mengatakan DPR RI sudah mengesahkan tiga undang-undang yang membentuk tiga provinsi baru di Papua, dan pemerintah sudah menyusun penerimaan pegawai di Daerah Otonom Baru. “DOB dan Otonomi Khusus Papua memungkinkan pendatang datang ke Papua, maka ke depan pengondisian di Papua dan orang Papua yang gizi buruk, sakit-sakitan, juga bermasalah, akan kawin campur dengan pendatang?” kritik Giay.
Giay juga mengkritik pernyataan AM Hendropriyono yang juga merendahkan Orang Asli Papua, karena menyebut pilihan nama “Papua” sebagai identitas Orang Asli Papua dipersoalkan Hendropriyono. Lontaran Hendropriyono untuk memindahkan 2 juta Orang Asli Papua ke Manado, Sulawesi Utara, juga nilai Giay bias rasisme.
“Hendropriyono sampaikan juga, [dia usulkan] orang Papua diasingkan, dibuang 2,5 juta, dikirim ke Sulawesi Utara, lama-lama mereka bisa jadi orang Indonesia. Kami tahu bangsa ini bangsa yang rasis terhadap Papua. Pikiran Hendropriyono itu [bertemu] pikiran Megawati. Mereka mendukung pemekaran agar orang Papua makin habis,” kata Giay.
Bias rasisme itu pula yang membuat Indonesia mengubah Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 dari referendum bagi setiap orang Papua menjadi penentuan pendapat oleh sekitar 1.000 orang yang dianggap mewakili Papua. Bias rasisme itu juga terlihat dari cara Indonesia merespon insiden ujaran rasisme yang disampaikan seseorang berseragam TNI terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
“Protes rasisme mesyarakat Papua tidak ditegakan, dan dibungkan dengan alasan makar. Otonomi Khusus Papua, pemekaran Papua, operasi militer di Papua, itu semua bukti rasisme Pemerintah Indonesia kepada Orang Asli Papua. Indonesia ini sama dengan Amerika Serikat setelah mereka merdeka, mereka rasis kepada orang kulit hitam,” kata Giay.
Presiden Gereja Gereja Baptis West Papua, Pdt Dr Zokrates Sofyan Yoman mengatakan sejak Indonesia berkuasa di Papua pada 1 Mei 1963, Orang Asli Papua hidup dalam rasisme. Ia menilai berbagai kebijakan yang dibuat atau diselenggarakan Indonesia di Papua, mulai dari Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969, Otonomi Khusus Papua, hingga pemekaran wilayah adalah pendekatan fasis dan rasis.
Situasi itu membuat Orang Asli Papua tidak merasa menjadi bagian dari Indonesia. “Jadi, hari ini, meskipun Indonesia berupaya untuk membangun kesadaran orang Papua untuk menjadi Indonesia, dan orang Papua bekerja di birokrasi pemerintah Indonesia, hari ini mereka sedang berada dalam kesadaran palsu. Indonesia adalah penjajah,” katanya.
Yoman mengatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah memetakan empat akar persoalan Papua. Ia menyatakan Pemerintah Indonesia seharusnya membuka diri melakukan dialog bersama dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
“Kami dengan gereja memandang bahwa negara memberikan Otonomi Khusus, memberikan tiga provinsi, [namun] itu bukan menyelesaikan masalah. [Itu] justru menambah masalah dan benih konflik antar masyarakat, itu sangat kental. Kami minta indomesia dialog dengan ULMWP,” katanya. (*)
Discussion about this post