Jayapura, Jubi – Siang ini, Selasa (9/8/2022), cuaca tak lagi cerah, alam tak lagi bersahabat, awan tak lagi berwarna biru seperti biasanya. Sementara pengendara roda dua dan roda empat saling kebut-kebutan di jalan raya untuk mencari tempat perlindungan lantas hujan hendak turun di Abepura, Kota Jayapura.
Sementara di lapangan sepak bola milik Keuskupan Jayapura itu, lumpur akibat hujan lebat dan bekas dilalui kendaraan roda dua dan empat bertempat di lapangan Zakeus Padang Bulan itulah Dewan Adat Papua memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional.
Di kursi yang berbentuk huruf U, tampak sekelompok pemuda-pemudi Papua yang begitu antusias mengenakan pakaian adat sali, koteka, ada juga yang mengenakan batik. Mereka duduk di kursi-kursi yang tergelar rapi menanti ibadah singkat.
Guyuran hujan dan lapangan yang becek tidak menyurutkan semangat bagi pengurus Dewan Adat Papua, mahasiswa, pemuda, tokoh adat, dan tokoh agama untuk memeriahkan peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional.
Acara dimulai sekitar pukul 11.25 Waktu Papua. Pembawa acara, Selvy Yeimo, menyapa setiap peserta yang hadir menggunakan bahasa lokal, Koyao, Kosa, Koha, Nayaklak, Tabea, Waniambey, Dormom, Telebe, Lauknyak, Kinaonak Waa….. tanda acara segera dimulai. Doa pembukaan disampaikan oleh intelektual Papua, Markus Haluk. Usai doa, lalu sambutan ketua panitia yang disampaikan oleh wakil ketua panitia, Nelius Wenda.
Wenda mengatakan pada momentum peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional ini, panitia penyelenggara mengangkat tema kegiatan ‘Peran Perempuan Adat Dalam Pelestarian dan Transmisi Pengetahuan Tradisional’.
“Selama ini peran perempuan terabaikan, sehingga Dewan Adat Papua merayakan Hari Masyarakat Adat Internasional dengan mengangkat tema seperti ini agar perempuan tidak dilihat sebagai objek saja tetapi bagaimana perempuan bisa dilihat sebagai objek dalam pelestarian kebudayaan orang asli Papua,” kata mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa USTJ itu.
Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua (Gempar Papua) menyampaikan terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah mendukung berlangsungnya peringatan ini.
“Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada bapak ibu yang membantu kami menyukseskan kegiatan ini. Sebab tanpa campur tangan bapak ibu dan kawan-kawan sekalian, kegiatan ini tidak mungkin berjalan sebagaimana mestinya,” katanya.
Sementara itu, Pastor John Jonga, Pr menyampaikan renungan singkat dalam acara itu. Masyarakat adat adalah inti dari ciptaan untuk menjaga dan melanjutkan maksud Tuhan di muka bumi ini.
“Masyarakat adat adalah dasar dalam seluruh hak asasi manusia, budaya, sosial, sehingga masyarakat adat harus dihargai dan diperlakukan sama sebagai manusia yang berharga di mata Tuhan dan sesama manusia,” katanya.
Peraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2009 itu mengatakan Papua saat ini berada dalam suasana yang menyakitkan dan menyedihkan karena ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat di Tanah Papua.
“Saya sangat sedih melihat kondisi riil di Tanah Papua. Saya tidak dapat menjelaskan suasana yang begitu menyakitkan, duka, sedih, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat di Tanah Papua,” katanya.
Pastor Katolik dan aktivis HAM di Papua itu mengajak pemuda Papua sebagai pewaris masyarakat adat Papua harus bangkit untuk mengubah situasi di Tanah Papua.
“Pemuda, kamu jangan diam, sebab kondisi Papua tidak baik-baik saja. Banyak orang Papua yang mati menderita karena pelayanan kesehatan yang buruk. Banyak anak-anak di gunung dan pesisir yang tidak bersekolah. Kita berada dalam situasi yang tidak adil sehingga pemuda harus bisa mengubah situasi. Kita berjuang menguubah situasi riil, banyak ketidakadilan tanah, banyak terjadi kekerasan dimana-mana,” katanya.
Jonga mengatakan Tuhan sudah mengatakan bahwa damai sejahtera bagi kita semua. Artinya bahwa setiap orang di muka bumi ini harus berhak merasakan perdamaian dan kesejahteraan yang dimaksudkan oleh Allah. Orang Papua jangan kalah dengan kejahatan karena mereka adalah pengikut Yesus Kristus, damai sejahtera itu harus dirasakan.
“Masyarakat adat di negara-negara merdeka seperti Amerika dan di Benua Eropa, mereka mengalami rasa damai sejahtera. Kami di Papua taat dengan Injil. Dalam Injil dikatakan damai sejahtera memberi motivasi semangat daya bagi kita. Kita tidak boleh kalah dari kejahatan, tidak boleh membunuh nurani orang Papua karena kami pengikut Kristus damai sejahtera, damai Tuhan selalu ada,” katanya alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura Jayapura Papua.
Jonga mengatakan orang Papua harus bersatu sebab sebagai pengikut Kristus, orang Papua diajak untuk membawa damai sejahtera. Tuhan mau OAP hidup dalam kedamaian, kesejahteraan, keadilan.
“Kita diutus membawa semangat bebas dari ketakutan, kejahatan maka kita dituntut untuk bersatu untuk menyelamatkan ciptaan Tuhan, sehingga kita buat adil benar. Meskipun generasi milenial harus menyadari bahwa orang tua, anak-anak di Nduga, Yahukimo dalam keadaan yang tidak aman. Kita di Jayapura aman karena tidak mengalami peristiwa yang mereka alami,” katanya.
Jonga mengatakan masyarakat adat dasar dari seluruh alam ciptaan Tuhan. Tuhan mengutus kita untuk menjaga manusia dan ciptaan.
“Hari ini hari penting bagi semua orang sebab kita berhak untuk menjaga dan melindungi hak tanah, politik budaya yang mempunyai kekuatan di seluruh dunia. Tidak ada lembaga lain menghapus hak masyarakat adat. Kita berjuang mempertahankan masyarakat adat. Mari berjuang,” katanya.
Ketua Dewan Adat Papua versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Sorabut, membacakan pidato pada peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional di Jayapura, Dia mengingatkan kepada pemerintah, komponen perjuangan, LSM, gereja, aktivis, pemuda dan mahasiswa, serta masyarakat adat Papua untuk mengambil bagian secara terbuka dan secara personal untuk berjuang dan mendoakan ancaman kehidupan perempuan adat dan mama bumi yang amat serius ini.
“Perempuan adat Papua adalah rumah bagi orang Papua dan sumber kehidupan mama bumi. Perempuan adat Papua mulai sekarang bukan lagi jadi objek, jadi pendengar, atau jadi penerima hasil oleh pihak laki-laki, Perempuan Papua berdiri dan bertindak setara dengan laki-laki secara proporsional dan melibatkan penuh dalam perencanaan hak-hak dasar dan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat,” katanya.
Dominikus Sorabut mengatakan dengan mempertimbangkan batasan otoritas dan kewajiban sebagai perempuan adat. Selain itu juga, mama bumi Papua kini sedang mengalamo deforestasi hutan. Laporan dari Auriga yang dirilis pada Februari 2021 menyebutkan bahwa luas hutan alam di Tanah Papua menyusut 663.443 hektare (ha) dalam 20 tahun terakhir dari tahun 2001-2021.
“Penyebab utama menyusutnya luas hutan alam adalah pemberian izin perkebunan sawit dan pertambangan. Selain itu juga disebabkan pengelolaan kawasan hutan, pembangunan infrastruktur, pengendalian dan pengawasan produksi hutan kepada pemerintah, serta pemekaran wilayah administratif. (*)