Oleh: Siorus Degei
Motivasi penulisan artikel ini muncul ketika terjadi pro-kontra antara kaum feminis dan maskulin di Papua, ketika merespons buku yang ditulis tokoh Papua, Pendeta Dr. Socratez Sofyan Yoman dengan Judul “Perempuan Bukan Budak Laki-laki”.
Penulis sangat menyayangkan sebab bangsa Papua, terutama pemuda, mahasiswa, tokoh agama, tokoh perempuan, dan tokoh adat dan tokoh masyarakat di Papua sudah keluar jauh dari garis komando substansi dan esensi persoalan bangsa Papua yang sejatinya.
Supaya bisa lebih dekat berkenalan dengan buku tersebut berikut penulis secara ringkas deskripsi buku tersebut
Deskripsi ringkas buku “Perempuan Bukan Budak Laki-laki”
“Pandangan laki-laki merasa superior selalu melahirkan praktik perbudakan dan kekerasan terhadap perempuan yang dianggap lemah. Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan biasanya dilatarbelakangi dengan beberapa alasan, seperti latar belakang pendidikan, ekonomi keluarga, perbedaan usia, keterlibatan orang ketiga, adanya tidak saling percaya antara laki-laki dan perempuan, prasangka buruk terhadap perempuan dan sebaliknya.
Buku ini ditulis untuk memberikan tantangan tersendiri terhadap laki-laki, yang berabad-abad lamanya hidup dalam keyakinan teologi dengan ‘stigma-stigma’ serta label yang menyesatkan ini telah menyebabkan ruang praktek kekerasan dan aksi-aksi yang merendahkan martabat perempuan.
Dengan pergumulan dan kerendahan hati, saya mempersembahkan karya ini untuk menempatkan perempuan dalam posisi terhormat dan mulia serta terpandang di semua manusia. Perempuan adalah ibu dari semua yang hidup (Kejadian. 3: 20).”
Selain itu berikut adalah interpretasi dari Pendeta Emeritus Selvia, “Buku ini telah menyatakan bahwa perempuan juga punya hak untuk tersenyum dengan hati yang tulus. Perbudakan harus diakhiri supaya tidak ada senyum dari hati yang terluka. Senyum seorang perempuan dari hati yang tulus akan membuat generasi yang lahir dari rahimnya bertumbuh-berkembang dengan sukacita menyambut masa depan cerah yang disediakan Tuhan di dunia ini.”
Adapun sembilan tema pokok yang diangkat dalam buku tersebut, di antaranya, 1) Prinsip dan Teologi Laki-laki Setara. Pada bagian ini penulis memaparkan secara teoretis bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu setara dan secitra; 2) Alasan Manusia Bukan Penyebab Kejatuhan Manusia Dalam Kuasa Dosa. Pada bagian ini penulis menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan bukan sumber dosa asal, melainkan iblis dalam rupa ular yang menggodanya; 3) Belajar Dari Yesus Para Perempuan Memenangkan Godaan. Pada bagian ini penulis memperlihatkan bagaimana beberapa perempuan pada zaman Yesus yang berhasil menaklukkan godaan iblis; 4) Perempuan-Perempuan Hebat Dalam Kehidupan Yesus, pada bagian ini penulis memperlihatkan teladan hidup dari beberapa perempuan hebat yang ada di sekitar Yesus; 5) Mengapa Perempuan Zaman Now Harus Punya Spiritualitas Hidup. Pada bagian ini penulis menekankan betapa pentingnya spiritualitas dari perempuan-perempuan zaman sekarang ini untuk bisa keluar dan menaklukkan godaan iblis; 6) Belajar Dari Sosok Perempuan Beriman: Dari Debora Hingga Hana; 7) Perempuan Melahirkan Pemimpin; 8) Kisah Perempuan Yang Terluka; 9) Bagaimana Gereja Buka Jalan Mengakhiri Perbudakan Perempuan; 9) Belajar Dari Perempuan Lani.
Pada bagian ini penulis mengangkat kembali potret perempuan Lani yang bergulat melawan budaya patriarki di wilayah Lani; 10). Kesetiaan, Kejujuran: Seni Membangun Keluarga, pada bagian terakhir ini penulis menyodorkan dua nilai, yakni setia dan jujur sebagai budaya baru bagi kehidupan keluarga-keluarga.
Kurang lebih demikian sinopsis singkat dari buku bersampul merah setebal 96 halaman yang diterbitkan oleh Pustaka Larasan pada tahun ini (2022, Cetakan I). Buku ini diluncurkan pada Sabtu 16 Juli 2022, pukul 08:00 Waktu Papua di aula Gereja Katolik Paroki Gereja Kristus Terang Dunia Waena (KTDW).
Terjadi pro-kontra yang luar biasa di kalangan rakyat Papua, terutama dikalangan aktivis kemanusiaan, mahasiswa, perempuan dan anak, aktivis gereja, budayawan, akademisi, simpatisan dan semua pihak lainnya, usai peluncuran buku tersebut.
Berikut penulis menyampaikan beberapa pikiran secara kritis, analitis dan objektif sebagai tanggapan atas buku “Perempuan Bukan Budak Laki-laki” yang ditulis Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGBWP) tersebut.
Pelurusan metodologi penulisan
Hal terutama yang hendak penulis utarakan adalah berkaitan dengan metodologi penulisan buku ini—berkaitan dengan sistematika penulisan, ruang lingkup penulisan. Singkatnya teks dan konteks dalam buku tersebut.
Pertama, berkaitan dengan sistematika penulisan. Secara umum sebagai seorang penulis metode penulisan buku tersebut sangat baik. Hal ikhwal yang hendak penulis tilik di sini adalah berkaitan dengan etika penulisan.
Hemat penulis, Pendeta Yoman kurang jeli dalam etika penulisan judul bukunya, sehingga mengundang banyak pro-kontra. Mengapa demikian? 1) Judul adalah deskripsi singkat atas keseluruhan isi buku; 2) Budaya literasi rakyat Papua sangat rendah, bahkan menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%.
Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca, sehingga judul “Perempuan Bukan Budak Laki-laki “ini perlu direvisi. Judul merupakan sebuah pernyataan resmi atau sebuah tesis bahwa “Perempuan Bukan Budak Laki-laki”. Ini berarti bahwa selama ini “perempuan adalah budak laki-laki “atau selama ini “laki-laki memperbudak perempuan”.
Jika memang Pendeta Yoman adalah seorang penulis produktif sebagaimana sanjungan media, maka paling tidak beliau juga tahu implikasi-implikasi langsung maupun tidak langsung dari pemilihan judul yang kontroversial tersebut.
Berdasarkan pengalaman penulisan para pakar mengenai isu-isu publik yang krusial mereka selalu pandai dalam etika penulisan. Mereka akan meletakkan dua tanda kutip (“) pada kata-kata atau kalimat-kalimat yang dirasa bermakna khusus dan berpotensi mengucilkan atau menyinggung oknum atau pihak tertentu.
Selain itu tanda petik dua juga berfungsi untuk mengajak pembaca untuk kritis dalam membaca. Bahwa tanda itu bermakna analogi sehingga pembaca tidak akan mentah-mentah mengonsumsi kata-kata atau kalimat-kalimat bertendensi ambivalen itu. Semisal dalam hal ini kata budak di judul itu diberikan tanda petik dua “budak”, supaya tidak menyesatkan pikiran khalayak pembaca.
Bagus jika minat baca kita baik. Akan tetapi, di tengah situasi minat baca yang miris seperti ini, alangkah baiknya Pendeta Yoman tidak “bikin gaduh” dengan istilah-istilah yang berkonotasi negatif dan diskriminatif. Bahwa orang akan paham lurus-lurus, sebab budaya literasi kita lemah dan budaya lisan kita kuat.
Berikutnya, jika belajar dari sejarah sebenarnya persoalan gender yang Pendeta Socratez angkat ini bukanlah materi baru. Ini merupakan sebuah materi hangat dalam lembaran sejarah perjuangan feminisme di Afrika, Amerika Latin, Asia dan negara-negara lainnya sejak dulu. Apakah hingga hari ini isu itu belum final?
Dialektika antara patriarki dan matriarki ini sebuah materi abu-abu, bukan materi hitam-putih yang bisa kita tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Jika Bapak Pendeta menjustifikasi bahwa “perempuan bukan budak laki-laki” sebab itu bermakna sama dengan “perempuan adalah budak laki-laki”—maka ini sebuah tesis resmi atau pernyataan resmi dari seorang gembala umat, pimpinan Gereja yang pada gilirannya akan menjadi sebuah “dogma” atau “ajaran” dalam kehidupan umatnya dan mengerdilkan, bahkan mengancam eksistensi kaum adam.
Bahwa efek dari klaim sepihak tersebut sangat fatal di tengah konteks masyarakat yang budaya literasinya rendah dan lemah seperti di Papua ini. Sementara banyak oknum dan pihak punya pandangan yang bervariasi, sehingga bisa ditambahkan tanda tanya (?) pada judul tersebut.
Misalnya, “Apakah Perempuan Budak Laki-laki?” atau “Apakah Laki-laki Memperbudak Perempuan?” atau “Mengapa Laki-laki Memperbudak Perempuan?” sehingga judulnya bukan lagi sebagai sebuah pernyataan, melainkan pertanyaan, agar menjadi suatu tema diskusi yang hangat, bukan “perang mulut yang kotor” atau “tema caci-maki di media sosial yang panas”.
Berkaitan dengan penulisan judul juga jika memang Pendeta Socratez adalah seorang penulis dan intelektual Papua yang andal, maka perlu juga diletakkan ruang lingkup penulisan buku itu, semisal berkenaan dengan keterangan orang, waktu, tempat dan situasi.
Kita akan pasti biasa baca buku-buku ilmiah, pastinya selalu judul umum atau tema besar pasti ada sub judulnya untuk menyempitkan atau mengerucutkan perspektif pembaca. Contoh, “Perempuan Bukan Budak Laki-laki” dengan Sub Judulnya “Sebuah Refleksi Atas Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua” atau “Sebuah Tinjauan Antropologi atas Praktik Patriarki di Papua “.
Juga keterangan tempatnya; apakah itu di Papua secara umum, di wilayah Lapago (Lani)—tempat kelahiran beliau, Israel, Palestina, Yerusalem atau di mana? Hal ini juga harus diperjelas dalam penulisan judul untuk menghindari kerancuan berpikir atau opini liar, asumsi dangkal dan sesat.
Dengan demikian, menurut penulis, sebagai sebuah karya ilmiah buku Pendeta Socratez itu melalaikan etika penulisan. Sangat sepihak dan sengaja dibuat untuk mengumbar dikotomi dan distingsi antara kaum hawa dan adam di Papua.
Penulis khawatir karya mutakhirnya ini jatuh ke tangan intelijen yang suka memecah-belah persatuan bangsa Papua. Mereka sudah memecahkan (dengan pemekaran wilayah) kita sesuai suku, budaya, agama dan budaya, wilayah adat, provinsi dan kabupaten. Kini antargender.
Buktinya setelah buku ini hadir terlihat secara jurang besar antara laki-laki dan perempuan, terutama di kalangan aktivis kemanusiaan Papua. Inikah tujuan penulisannya yang terselubung?;
Kedua, berkaitan dengan metodologi penelitian. Penulis juga belum tahu apakah Pendeta Socratez sudah meneliti kebudayaan perihal gender ini di tujuh wilayah adat Papua atau tidak dan apakah Pendeta Socratez sudah membaca isu gender yang eksis dalam teologi dan dogma agama-agama non-Kristen lainnya atau tidak?
Akan tetapi, berdasarkan isi buku yang beliau tulis, tema tentang sempel budaya ada pada poin (9) “Belajar Dari Perempuan Lani” dan sampel untuk pandangan teologis dan dogma ada pada bagian 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 (Baca Deskripsi Buku “Perempuan Bukan Budak Laki-laki”).
Penulis menyimpulkan bahwa ruang lingkup penulisan buku tersebut sangat imparsial, sebatas budayanya saja (budaya Lani), tidak komprehensif, holistik dan kompleks meliputi 7 wilayah adat di Papua (sebab secara substansi dan eksistensi notabenenya berbeda secara defacto dan dejure sistem kultur), sebagaimana karya ilmiah biasanya. Bahwa Pendeta Socratez terlalu cepat menyimpulkan “perempuan bukan budak laki-laki”.
Selain itu, ruang lingkup nilai-nilai teologi dan dogma yang pendeta angkat juga sangat sepihak dan diskriminatif terhadap agama-agama lain yang eksis di Papua. Perlu dicatat dengan tinta merah, bahwa tidak semua orang asli Papua itu beragama Kristen Protestan.
Ada banyak orang Papua yang beragama Kristen Katolik (pendeta dan sekutunya bisa klaim Katolik juga gunakan Alkitab, tapi jangan “bermasturbasi intelektual”, sebab teologi dan dogma Katolik di Kristen Protestan sangat berbeda walaupun mengimani Kristus Yesus yang satu dan sama). Banyak juga orang asli Papua yang beragama Islam (muslim), beragama lokal, agama budaya, bahkan di kalangan Protestanisme sendiri ada banyak aliran atau denominasi-denominasi. Mereka ini juga punya pandangan teologis dan dogmatis gender yang berbeda dengan komunitas Gereja Baptis Papua yang beliau pimpin.
Sehingga teramat “labil dan ngibul” jika Pendeta Socratez mau memakai “kacamata kecil” dan “pisau bedah tumpul” itu untuk melihat Papua secara kompleks, holistik dan komprehensif secara kultural, emosional, moral dan spiritual-religi itu. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa karya ini sangat sempit ruang lingkupnya, sangat sepihak substansinya dan sangat besar “khayalan kampanyenya”.
Maka penulis merekomendasikan beberapa poin; 1) Jangan gunakan buku ini untuk menjustifikasi dan melegitimasi eksistensi laki-laki di luar dari suku Lani dan Gereja Baptis Papua; 2) Buku ini agak “lucu” jika mau dijadikan sebagai “kecamata umum” untuk melihat persoalan gender di Papua, cukup di wilayah kelahiran dan keyakinan penulisnya saja, sebab hegemoni wilayah dan keyakinan lainnya sangat beranekaragam; 3) Buku ini baik dibaca sebagai sumber informasi dan pengetahuan. Namun, amat keliru jika buku itu dijadikan barometer dogmatis dan teologis, untuk menilai laki-laki dari budaya dan agama yang berbeda dengan penulisnya.
Keuntungan intelijen
Seperti telah disentil pada awal tulisan bahwa pasca peluncuran buku “Perempuan Bukan Budak Laki-laki” itu terjadi pro-kontra yang luar biasa di kalangan rakyat Papua. Terjadi perang mulut yang tidak senonoh antara laki-laki dan perempuan Papua hingga hari ini dan mungkin esok.
Hemat penulis, situasi dan kondisi ini akan menguntungkan oknum dan pihak yang selama ini mau memecah-belah persatuan bangsa Papua. Mereka akan mengoptimalkan situasi carut-marut ini untuk lebih kental menciptakan jurang pemisah antara laki-laki dan perempuan Papua. Ironisnya ini sedang terjadi di kalangan aktivis kemanusiaan di Papua.
Hampir semua pihak yang pro dengan buku Pendeta Socratez itu “ngotot” mengklaim, bahwa buku tersebut adalah benar dan absolut adanya. Ini terlihat dari sikap-sikap yang mereka pamerkan di media sosial.
Sebaliknya sebagai antitesisnya pihak yang kontra dengan buku pendeta itu juga mulai unjuk gigi, untuk mempertahankan ego asumsinya dengan watak dan otak yang keras. Tidak beda dengan kubu yang pro.
Fenomena ini mau menegaskan bahwa rakyat Papua telah terpolarisasi dengan begitu cantik, sehingga menjadi sebuah santapan empuk bagi para intelijen, kapitalis, kolonial, kartel, dan oligarki di Papua. Mereka akan semakin memainkan isu gender ini hingga laki-laki dan perempuan Papua benar-benar saling membenci. Gilanya mungkin sampai saling menumpahkan darah. Bila demikian yang terjadi, apa yang mesti kita buat sebagai mediasi atas situasi ini?
Pertama, sebelum bangsa Papua terkontaminasi dan didominasi oleh dunia, sejatinya kesetaraan gender itu sudah ada dalam suku-suku asli di Papua. Semua mulai runyam ketika bangsa Papua berakulturasi dengan budaya luar, terutama melalui agama dan pendidikan luar. Dari sinilah keharmonisan antara laki-laki dan perempuan mulai tercemar ideologi-ideologi maskulinisme maupun feminisme radikal, yang notabene kontras dengan kearifan lokal yang sudah ada lebih dulu. Mengapa tamu lebih dominan dari tuan rumah?
Solusinya jernihkan dan murnikan ideologi-ideologi itu dengan nilai-nilai lokal yang bersemayam di rahim kebudayaan. Kembalilah ke honai dan tungku api, demi rekonsiliasi dan perdamaian gender;
Kedua, berkaitan dengan buku Pendeta Socratez yang kontroversial itu, sebaiknya beliau mendalami lagi konsep-konsep filosofis dan substansial perihal gender di tujuh wilayah adat Papua dan tujuh agama di Papua, agar informasi dan pengetahuan yang beliau suguhi tidak menjadi “bidaah” bagi agama dan budaya lain itu. Sebab manusia Papua yang adalah target buku itu belum siap secara mental, kultural dan spiritual untuk mengonsumsi buku keras seperti itu.
Bahayanya pendeta dan sekutunya hanya bisa melahirkan pemberontak-pemberontak di kalangan hawa, dengan asupan gizi feminis-marxis dalam tubuh keluarga, agama, gereja, pendidikan, masyarakat dan dalam diri individu itu sendiri;
Ketiga, sebelum intelijen mengambil banyak keuntungan dari perdebatan yang tak kunjung reda ini, sebaiknya orang Papua meributkan hal-hal yang urgen bagi peradabannya. Kita akan punah, “beranak cuculah dan bertambah banyak”, stop jual tanah dan SDA, stop KB, stop kawin campur, ilegalkan migran, buat rekonsiliasi empat rangkap di setiap suku, marga, keluarga dan wilayah adat.
Harus bijak untuk membedakan mana isu primer, sekunder dan tersier di Papua secara teks dan konteks. Jangan semua macam “ikan puri”.
“Sa pu bapa tra perbudak sa pu mama, NKRI yang perbudak tong”: Kembali ke substansi konflik Papua
Sebenarnya jika kita waras dengan evolusi sejarah perjuangan bangsa Papua, idealnya kita tidak mungkin berbondong-bondong masuk dalam perangkap isu dan wacana-wacana “tahu-tempe” seperti sekarang ini. Penulis melihat bahwa kita sudah terlalu jauh keluar dari substansi dan esensi persoalan Papua yang sebenarnya.
Bahwa persoalan Papua itu bukan hal-hal remeh-temeh yang kita peributkan. Persoalan Papua itu jauh lebih besar dan jauh lebih mahal ketimbang soal-soal murahan yang dilemparkan Jakarta untuk mempolarisasi, mensegmentasi dan mensegregasi kita. Lebih mirisnya lagi melalui eksistensi kita di media sosial dalam segala platform kita mengamini itu dengan menjadi penyambung-penyambung lidah dan testa (dahi) Jakarta.
Kita seperti mendukung agenda dekolonisasi dan depopulasi SDA dan SDM Jakarta di Papua ketika semua wacana dan isu yang ia lemparkan kita sebarkan dan dikompori.
Beberapa hal-ihwal tanggapan penulis atas buku “Perempuan Bukan Budak Laki-laki”:
Pertama, agenda perjuangan bangsa Papua yang murni dan suci adalah perjuangan Papua merdeka, perjuangan status politik Papua sebagai suatu bangsa dan negara merdeka. Agenda, isu dan wacana lainnya itu hanyalah tambahan;
Kedua, apapun yang kita pikirkan atau hayati, kita bicarakan, ributkan, diskusikan dan bukukan semuanya harus bernapas nasionalisme Papua Merdeka. Idelogi-ideologi kita, suku/marga, rumah adat, budaya, bahasa, agama dan wilayah adat kita boleh berbeda, tetapi kita harus ingat, bahwa kita adalah bangsa Papua yang sedang terjajah, hampir punah dan sedang berjuang untuk merdeka.
Perbedaan-perbedaan tadi adalah anugerah Tuhan Yang Mahakuasa. Itu kekayaan kehidupan dan perjuangan kita. Jangan pernah membiarkan musuh memecah-belah kita. Semuanya harus kembali ke honai dan tungku api pergumulan dan perjuangan bangsa Papua menuju Papua tanah damai, Papua baru;
Ketiga, kita harus bangun dari tidur kepanjangan bahwa di tengah keributan kita terkait hal-hal “kulit” seperti ini Jakarta sedang mengatur siasat bagaimana merampok sumber daya alam Papua melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional; 1) Indonesia telah mengagendakan eksploitasi alam Papua dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 (RPJMN 2020-2024); 2) Dalam RPJMN tersebut pemerintah akan mendirikan smelter/pabrik peleburan konsentrat tambang dan sumur bor; 3) Ada 23 smelter dan 27 sumur bor yang akan dibangun di teritori Bumi Cendrawasih: Lapago (14 sumur bor, Yalimo, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Nduga, Jayawijaya dan Yahukimo), Meepago 2 sumur bor (Deiyai, Intan Jaya dan Mimika), Bomberai 10 sumur bor (Sorong Selatan, Raja Ampat, Teluk Bintuni, Manokwari, Maybrat, Tambrauw, Teluk Wondama, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak), Mamta 1 sumur bor (Mamberamo; 4) Untuk menunjang pembangunan 23 smelter dan 27 sumur di atas, maka diperlukan sarana-sarana penunjang, di antaranya; 1) Tiang listrik; 2) Telkomsel/jaringan internet; 3) Sarana transportasi darat (jalan trans dan jalan lingkar), transportasi laut (pelabuhan); transportasi udara (bandara); 5). Pembangunan sarana-sarana penunjang di atas sangat penting untuk mempermudah operasional smelter dan sumur bor, sehingga memang proyek ini sedang gencar; 6) Guna mempercepat, mempermulus dan memperhalus RPJM di atas, maka Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2020, Tentang Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat.
Dengan demikian, stop pro-kontra buku Pendeta Socratez, stop jual-beli tanah, stop kawin campur, stop KB, stop bicara DOB-Otsus, tolak imigran, tolak pembangunan jaringan telkomsel dan listrik, tolak pembangunan bandara dan pelabuhan smelter dan sumur bor, tolak pembangunan smelter dan sumur bor, tolak pembangunan pos militer. Singkatnya tolak semua yang mengancam eksistensi diri, sesama, alam, leluhur dan Tuhan. Kembali ke honai dan tungku api kita selamat dan damai. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Jayapura-Papua
Discussion about this post