Jayapura, Jubi – Masyarakat adat di Muliama, Kabupaten Jayawijaya, diimbau tidak menjual tanah adat untuk memenuhi pengadaan tanah bagi pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan. Imbauan itu disampaikan tokoh adat asal Muliama, Marinus Kurisi dalam keterangan pers di Asrama Nayak, Kota Jayapura, Jumat (29/7/2022).
“Saya sebagai Kepala Suku Ponam Muliama, Owarekma, Ibele, Kimbim, Watikam, saya tidak izinkan untuk menjual tanah untuk pembangunan apapun. Kami biasa olah tanah untuk kehidupan masyarakat Papua,” kata Marinus Kurisi.
Kurisi mengatakan masyarakat adat tidak bisa ditipu dengan segala macam kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat adat Papua.”Saya perwakilan generasi muda menolak Daerah Otonom Baru. Generasi sekarang, generasi ke depan, menolak untuk menjual tanah adatnya. Saya menolak pemberian tanah kepada pemerintah,” katanya.
Ia mengatakan tanah adat di Muliama bukan tanah pribadi marga tertentu, melainkan tanah adat yang dimiliki secara komunal oleh masyarakat adat setempat. “Bapak-bapak jangan tipu masyarakat. Lembah Baliem itu kecil. Kalau Bapak-bapak melihat ada lokasi, itu adalah lahan perkebunan masyarakat, saya tidak mengizinkan untuk pelepasan tanah adat,” katanya.
Kurisi menyatakan sependapat dengan para mahasiswa yang menolak pemekaran Papua. “Apapun yamg dibicarakan mahasiswa, itu saya setuju, karena mereka adalah ujung tombak masyarakat adat yang menyatakan dirinya tidak setuju [pemekaran]. Saya ada bersama mahasiswa [dan] pemuda yang menolak [pemekaran],” katanya.
Andius Elopere mengatakan Pemerintah Indonesia melalui kebijakan politiknya akan menyelenggarakan pemerintahan di provinsi baru yang terbentuk karena pemekaran Papua. Ia menilai pembentukan provinsi baru itu menyisakan masalah, termasuk dalam pengadaan tanah bagi Kantor Gubernur Papua Pegunungan.
“Saya sampaikan kepada publik, Pemerintah Indonesia berencana membangun lokasi Kantor Gubernur [Papua Pegunungan] di Muliama. Itu tanah bersejarah Suku Lanny dan Dani. Tanah itu [tanah] komunal, tanah bersama. Orang Muliama tidak punya hak menghibahkan [tanah itu] kepada siapapun,” katanya.
Elopere mengatakan pengadaan tanah untuk Kantor Gubernur Papua Pegunungan rentan menimbulkan konflik di antara masyarakat. “Pemerintah jangan merampas tanah milik masyarakat. Model seperti itu bukan memberdayakan masyarakat, tetapi membuat kami berkelahi. Kami menolak pemerintah pusat yang menempatkan pusat pemerintahan [Provinsi Papua Pegunungan] di Muliama. Kami akan gugat siapa aktor penjual tanah,” katanya.
Anggota Tim Peduli Tanah Adat Hubula, Arius Himan mengatakan pihaknya berkumpul untuk membicarakan masalah besar yang melingkupi Wilayah Adat Lapago. Ia menyatakan pemerintah harus memperhatikan suara masyarakat adat.
“Masyarakat yang ada di Muliama sudah menolak. Silahkan oknum yang memperjuangkan pemekaran cari tanah di mana. Jangankan korbankan rakyat. Tanah tidak boleh diperjualbelikan. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi masyarakat, sebab itu murni aspirasi dari masyarakat,” katanya. (*)
Discussion about this post