Enarotali, Jubi – Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan atau SKPKC Fransiskan Papua menerbitkan buku Seri Memoria Passionis Nomor 40 dengan judul “Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua” di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Kamis (15/12/2022). Direktur SKPKC Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo menegaskan Seri Memoria Passionis yang berisi kronik peristiwa di Tanah Papua sepanjang 2021 itu masih menunjukkan banyaknya persoalan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Langowuyo menyebut segala peristiwa yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) masih harus diperjuangkan, karena banyak utang, janji, dan persoalan HAM tahun-tahun sebelumnya belum diselesaikan. Mirisnya, berbagai persoalan HAM pada tahun-tahun sebelumnya kembali terulangi pada 2021.
“Walupun demikian, para pihak atau mereka yang mengikuti persoalan di Papua, terus berusaha mencari solusinya. Begitupula dengan para korban dan warga Papua. Ruang keadilan dan perdamaian di Tanah Papua masih belum terisi padat. Masih banyak pihak, khususnya masyarakat adat Papua, belum bisa menempati ‘ruang’ tersebut. Mereka masih terus berjuang,” ujar Langowuyo melalui keterangan pers tertulisnya.
Menurut Langowuyo, kebijakan penguasa selalu mengabaikan suara-suara keadilan dari kaum termaginal di Papua. Suara lantang menutut keadilan dan kedamaian di Tanah Papua masih terbentur tembok nan kokoh yang kuat.
“Walaupun demikian, kaum termaginal dan yang tersisihkan tidak mau menyerah. Jalan yang panjang untuk sebuah keadilan dan perdamaian di tanah airnya, Tanah Papua, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilalui dan ditempuh. Banyak pihak tidak menutup mata dan hati akan asa perjuangan kaum kecil, termaginal di Tanah Papua,” ungkapnya.
Seri Memoria Passionis “Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua” setebal 146 Halaman itu ditulis Bernard Koten, Alexandro Rangga, OFM, Latifah Anum Siregar, Mochammad Wahyu Ghani, dan Petrus Pit Supardi. Bab pertama laporan itu menarasikan situasi pendidikan formal di Papua. Mandeknya pendidikan di Papua merupakan persoalan klasik yang hingga saat ini terus dialami dan dirasakan. Persoalan kekurangan tenaga pengajar, ketidakdisplinan tenaga pengajar dan situasi sosial politik di Papua sangat mempengaruhi proses pendidikan formal di beberapa daerah di Papua.
Persoalan klasik yang sama adalah masalah pelayanan kesehatan di Tanah Papua yang dibahas dalam bab kedua. Pembahasan topik kesehatan pada Memoria Passionis “Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua” berfokus kepada persoalan HIV/AIDS. Banyak generasi muda dan usia produktif di Papua terpapar dengan HIV/ AIDS. Pola laku hidup yang tidak sehat menjadi salah satu faktor utama menjalarnya HIV/AIDS di Papua.
Persoalan Otonomi Khusus Papua dan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua dinarasikan pada bab ketiga seri Memoria Passionis tersebut. Derasnya gelombang penolakan dari masyarakat Papua terhadap keberlanjutan Otsus Papua dan pembentukan DOB tidak menyurutkan ambisi para pengambil kebijakan untuk melakukan pemekaran Papua.
“Masih dalam masa Otsus Papua, eskalasi kekerasan dan konflik bersenjata cenderung meningkat di Papua. Aksi baku tembak antara TPNPB dan TNI Polri cenderung meningkat di Papua. Korban yang berjatuhan bukan saja dari kedua belah pihak tetapi juga dari warga sipil. Korban nyawa manusia, khususnya warga sipil sudah menjadi tidak berarti. Konflik ini juga berdampak pada warga di daerah konflik harus dan terpaksa keluar dari kampung halamannya demi mencari keamanan dan kedamaian. Narasi ini akan dibahas dalam Bab Keempat tentang Konflik Bersenjata dan Dampaknya,” tutur Langowuyo.
Bab kelima Memoria Passionis itu menampilkan persoalan perampasan lahan, hutan atau tanah masyarakat adat Papua. Derasnya investasi ke Tanah Papua yang secara rakus menghilangkan banyak sumber makanan dan kehidupan bagi masyarakat adat Papua. Walaupun demikian, masyarakat adat Papua tidak menyerah. Mereka tetap melawan ketidakadilan terhadap apa yang selama ini melekat dan menghidupinya.
“Tak jarang masyarakat adat Papua harus berurusan dengan para tangan besi ketika masyarakat mempertahankan sumber kehidupannya, yakni hutan atau tanah tersebut,” kata Langowuyo.
Persoalan pembungkaman ruang demokrasi di Tanah Papua menjadi topik bahasan bab keenam laporan Memoria Passionis nomor 40 itu. Bab itu mencatat berbagai suara masyarakat adat Papua yang menuntut keadilandan diperhadapkan dengan tangan besi. Negara menilai bahwa suara-suara itu adalah suara ‘makar’ yang harus dengan cepat dibungkam dan dihilangkan. Tak jarang, banyak masyarakat adat Papua yang menyuarakan keadilan, keadilan, penentuan nasib sendiri, dan penyelesaian pelanggaran HAM ditangkap dan mendapatkan kekerasan fisik.
Dalam bab ketujuh, Memoria Passionis “Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua” menarasikan ‘utang’ atau janji dari Negara Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Sudah banyak pihak baik korban, solidaritas korban pelanggaran HAM, maupun lembaga Negara yang mendesaknya, tetapi Negara Indonesia belum bisa menyelesaikannya. Negara membangun narasi lainnya dengan segala proses pembangunan yang sudah dan akan dilakukan di Tanah Papua.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan SKPKC Fransiskan Papua tidak sendirian dalam mengisi analisis atas berbagai kronik Tanah Papua tahun 2021. SKPKC Fransiskan Papua. dibantu oleh Siregar, peneliti dan penulis Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mochammad Wahyu Ghani, dan pegiat HAM Papua, Petrus Supardi. “Buku tersebut merupakan bagian upaya SKPKC Fransiskan Papua untuk terus menjaga agar mata dan hati perjuangan hak asasi manusia tetap terbuka,” ujar Siregar. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!