Jayapura, Jubi – Ketua Badan Pengurus Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Nduga atau HiPMN di Sulawesi, Paksa Gwijange mendesak polisi untuk terus mencari bagian tubuh empat korban pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika yang masih hilang. Desakan itu disampaikan Gwijangge saat dihubungi Jubi pada Selasa (27/9/2022), terkait pernyataan sikap bersama mahasiswa asal Nduga di Gorontalo pada Senin (26/9/2022).
Gwijangge menyatakan hingga kini masih ada bagian tubuh empat korban pembunuhan dan mutilasi di Mimika—Irian Nirigi, Arnold Lokbere, Lemaniol Nirigi, Atis Tini—yang belum ditemukan. Kendati keluarga korban telah memperabukan bagian jenazah para korban, Gwijangge tetap berharap polisi terus mencari bagian tubuh korban yang belum ditemukan.
“Kami mahasiswa mendesak agar polisi segera mencari tubuh jenazah korban pembunuhan dan mutilasi atas nama Irian Nirigi, Arnold Lokbere, Lemaniol Nirigi, Atis Tini, dan [segera] diserahkan kepada pihak keluarga korban,”kata Gwijangge saat dihubungi Jubi pada Selasa.
Gwijange menegaskan aparat keamanan di Papua harus menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap Orang Asli Papua. “Kami tegaskan kepada Negara Indonesia, agar kasus [pembunuhan dan mutilasi] itu tidak terulang. Kasus itu [harus menjadi] kasus yang terakhir kali terjadi di Tanah Papua. Kami minta TNI stop membunuh masyarakat sipil secara biadab,” kata Gwijangge.
Ia juga meminta para pelaku pembunuhan dan mutilasi itu didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Gwijangge juga menyatakan perkara pembunuhan dan mutilasi itu seharusnya diadili Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), karena tergolong pelanggaran HAM berat.
“Ada tanggung jawab Negara yang diantaranya [memberi] kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi. Kami menolak proses hukum di Jayapura dan Surabaya. Kami minta proses hukum dilakukan di Timika, secara terbuka dan demokratis,” kata Gwijangge.
Gwijange mengatakan jika tuntutan itu tidak diindahkan pemerintah Indonesia, lebih baik kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika diselesaikan di tingkat internasional. “Apabila tidak diindahkan, maka kasus pelanggaran HAM itu layaknya diselesaikan di Mahkamah Internasional, dan kami mendesak Dewan HAM PBB segera [turun ke Papua],” katanya. (*)