Jayapura, Jubi – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diminta bersiap untuk melindungi para saksi dan korban tragedi Paniai Berdarah yang akan mengikuti proses persidangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Makassar pada Agustus mendatang. Permintaan itu disampaikan Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Tioria Pretty.
Selaku pembicara dalam diskusi daring “Peradilan HAM Kasus Paniai 2014 dan Tantangan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM di Tanah Papua” yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) pada Jumat (22/7/2022), Tioria menyatakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum bekerja maksimal untuk mempersiapkan para saksi dan korban mengikuti persidangan kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar.
“LPSK belum bergerak untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan keluarga korban. [Seharusnya] dari sekarang [LPSK bekerja], sebelum persidangan dimulai. Seharusnya mereka melakukan perlindungan sebelum ada proses persidangan,” katanya.
Ia mendesak LPSK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mengidentifikasi siapa saja saksi dan korban yang harus diberi perlindungan selama proses persidangan kasus Paniai Berdarah di Makassar. “LPSK seharusnya proaktif dan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Proses persidangan sudah dekat, pada bulan Agustus nanti,” kata Tioria mengingatkan.
Tioria menyatakan LPSK harus menunjukkan keberadaannya pada proses persidangan kasus Paniai Berdarah di Makassar, karena persidangan itu akan menjadi persidangan kasus HAM pertama yang digelar setelah LPSK efektif bekerja. Menurutnya, dalam proses persidangan kasus pelanggaran HAM Abepura Berdarah, Tanjung Priok, maupun Timor Leste, LPSK belum ada.
“Sekarang kan LPSK sudah ada. Kenapa LPSK seolah-olah belum ada?” ujar Tioria.
Selaku pembicara dalam diskusi yang sama, Sekretaris Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), Nehemia Yarinap merasa khawatir proses persidangan kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar akan menyulitkan para saksi dan keluarga korban mengikuti persidangan. “Biaya transportasi mahal, sehingga bisa jadi keluarga korban dan saksi tidak semua bisa berangkat ke Makasar untuk mengikuti persidangan itu,” katanya.
Jika nantinya hanya akan ada sedikit korban, keluarga korban, dan saksi yang menghadiri persidangan di Makassar, Yarinap khawatir persidangan justru akan lebih banyak dihadiri aparat keamanan. Ia khawatir situasi itu akan membuat para korban, keluarga korban, dan saksi meraa terintimidasi.
“Kehadiran aparat keamanan [dengan jumlah] banyak dalam persidangan juga bisa memengaruhi psikologi saksi atau keluarga korban. Itu semua harua dipertimbangkan dengan baik,” katanya.
Yarinap menyatakan proses persidangan kasus Abepura Berdarah yang berlangsung di Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar pada 2005 dihadiri oleh banyak aparat keamanan. Proses persidangan itu menimbulkan atau membangkitkan rasa trauma para saksi dan korban yang menghadiri persidangan tersebut. “Dalam pengalaman [persidangan] kasus Abepura, [kehadiran] banyak militer menambah trauma bagi keluarga korban,” katanya.
Yarinap meminta LPSK aktif memastikan situasi persidangan kasus Abepura Berdarah itu tidak berulang dalam proses persidangan kasus Paniai Berdarah pada Agustus mendatang. “Kami minta [LPSK] harus berbicara lantang, melihat dengan jeli bagaimana dari sisi pelaku yang dihadirkan, korban, [dan juga] saksi. Sebab [tragedi Paniai Berdarah] itu peritiwa kemanusiaan yang besar dan melibatkan aparat militer, namun Negara mengecilkan kasus itu untuk melindungi pelaku,” katanya. (*)
Discussion about this post