Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum atau LP3BH Manokwari, Cristian Yan Warinussy menyatakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR merupakan solusi tepat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi di Tanah Papua. KKR dinilai dapat menjadi jalan tengah mengatasi keterbatasan alat bukti untuk menjerat para pelaku pelanggaran HAM berat.
Warinussy menyatakan kasus dugaan pelanggaran HAM berat seperti Biak berdarah 6 Juli 1998, Manokwari Berdarah 1999, Wasior Berdarah 2001, Wamena Berdarah 2003, Paniai Berdarah Desember 2014, serta Manokwari Berdarah Oktober 2016 harus diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Menurutnya diantara berbagai kasus tersebut, ada yang dapat didorong untuk diselesaikan di Pengadilan HAM, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).
Akan tetapi, Warinussy juga mengkritik proses hukum dalam kasus Paniai Berdarah 2014. “Belum lama ini Jaksa Agung telah menetapkan kasus Paniai sebagai kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat, dengan seorang tersangka tunggal IS. Sesungguhnya kalangan rakyat sipil berpandangan bahwa tersangka dugaan pelanggaran HAM berat Paniai tersebut lebih dari satu orang,” kata Warinussy kepada Jubi melalui pesan WhatsApp pada Selasa (16/8/2022).
Di sini lain, demikian menurut Warinussy, kasus dugaan pelanggaran HAM berat lainnya, seperti kasus Wasior Berdarah, Wamena Berdarah, Biak Berdarah, serta Manokwari Berdarah 1999 maupun 2016 sudah kehilangan banyak bukti, baik berupa surat, petunjuk, dan saksi. Menurutnya, jalan non litigasi sudah saatnya dipertimbangkan oleh para korban pelanggaran HAM berat.
Warinussy menyatakan KKR merupakan salah satu jalan non litigasi untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. “Masih ada yang dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi, misalnya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya.
Warinussy menyatakan penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua mesti berlandaskan amanat Pasal 45 dan 46 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) maupun UU Pengadilan HAM. Ia berharap kebijaksanaan Presiden Joko Widodo untuk memberi perhatian bagi langkah penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua, termasuk dengan membentuk KKR.
“Kami di Tanah Papua sangat rindu mendengar bahwa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan atau Peraturan Presiden yang memerintahkan dilakukannya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua. Baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi,” katanya. (*)