Jayapura, Jubi – Festival Film Papua dan kompetisi film VII rencananya akan digelar di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Event tahunan itu diselenggarakan Papuan Voices sebagai ajang menampilkan karya generasi muda Papua yang bercerita tentang Tanah Papua melalui film.
Hal itu, disampaikan Koordinator Umum Papuan Voices, Harun Rumbarar, saat ditemui Jubi di Sekretariat Papuan Voices, di Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Senin (8/1/2024).
“Sudah beberapa kali rencana festival film dan kompetisi film dilakukan di Wamena tapi tertunda. Tahun ini harus dilaksanakan dan Wamena jadi tuan rumah,” ujarnya.
Rumbarar mengatakan saat ini panitia festival dan kompetisi film masih belum dibentuk. Tema dan peraturan lainnya juga belum sepakati. Meski demikian, produksi film yang berkaitan dengan Tanah Papua dan kehidupan orang Papua harus dibuat setiap saat.
Dia mengatakan banyak orang Papua yang bisa membuat film dokumenter atau film pendek lainnya, tetapi belum ada komunitas di Tanah Papua yang membuat event sebagai ajang menunjukkan karya-karya film yang dihasilkan itu. Hal itu menjadi alasan Papuan Voices menjadikan lomba film dokumenter dan Festival Film Papua sebagai program tahunan.
“Banyak orang yang bisa bikin film tapi yang bikin event itu siapa?” ujarnya.
Rumbarar mengatakan Papuan Voices sedang menggarap satu film dokumenter tentang potret rasisme di Tanah Papua yang berjudul Rasisme di Balik Layar.
Dia mengatakan film yang dimulai proses syuting sejak rasisme 2019 hingga terakhir saat aktivis Pembebasan Nasional Papua Barat yang juga anti rasisme, Victor Yeimo, bebas setelah dia ditahan selama delapan bulan itu menceritakan tentang bagaimana peran pengacara dalam proses advokasi dan pendampingan terhadap korban rasisme, salah satunya Victor Yeimo.
“[dalam film potret rasisme di balik layar] Kami tidak menunjukkan kasus tapi kami [mau] menunjukkan bagaimana peran orang-orang untuk mengadvokasi kasus. Proses perjuangan bagaimana orang Papua bisa betul-betul marah itu kitong kas tunjuk de pu di balik layar,” ujarnya.
Lebih lanjut Rumbarar mengatakan film Rasisme di Balik Layar itu bercerita tentang bagaimana peran pengacara yang berjuang melakukan pendampingan dan mengadvokasi terhadap Victor Yeimo dan korban rasisme lainnya. Hal itu yang ditonjolkan di dalam film dokumenter yang rencananya akan launching tahun ini.
Menurutnya, event tahunan itu pertama kalinya digelar di Merauke pada 2017 silam dengan mengusung tema ‘Tanah Leluhur Manusia Marind’. Sementara itu pada 2023 lalu, Festival Film Papua dan kompetisi film digelar pada 7-9 Agustus di Kota Jayapura, Provinsi Papua dengan mengusung tema ‘Dari Kampung Kitong Cerita’.
Lebih lanjut dia mengatakan film dokumenter hasil karya Papuan Voices tidak hanya ditampilkan dalam Festival Film Papua namun sempat menjadi bahan yang dipresentasikan dalam beberapa kali Sidang Umum PBB dan bahan penelitian oleh seorang produser film yang juga sebagai penggagas festival film internasional Yamagata di Jepang yang datang meneliti tentang kekuatan film di Tanah Papua pada November 2023 lalu.
“Kitong [buat film dokumenter] bukan sekedar buat untuk bikin festival tapi ternyata karya kita yang ceritanya sederhana untuk orang di kampung yang harus nonton tapi ternyata di tempat lain itu menjadi sebuah pembelajaran,” ujarnya.
“Jadi, ternyata karya yang kitong buat ini, jangan kitong berpikir bahwa kitong harus tunggu bagus, [meskipun] sesederhana mungkin tapi di tempat lain itu menjadi bahan informasi, bahan edukasi untuk orang lain. Itu baru sa juga sadar, ternyata kitong lihat de sederhana, gambar goyang, tapi [bisa menjadi bahan informasi, edukasi, dan advokasi]. Itu yang sa bilang ke teman-teman, kitong pu gambar boleh goyang, [dan] buram tapi, kitong pu cerita jang goyang,” ujarnya.
Selain event tahunan itu, Rumbarar juga mengatakan Papua Voices tidak seperti komunitas-komunitas lain di Papua. Papua Voices kerap melakukan pelatihan-pelatihan seperti pelatihan membuat film dokumenter, jurnalisme video, dan berbagai materi yang relevan dengan situasi di Tanah Papua.
“Banyak komunitas di Jayapura, cuman mereka [itu] kan, sekali bikin [membuat komunitas dengan] lima orang, lima orang sudah yang kerjanya [melakukan] produksi-produksi [film], begitu-begitu saja. [Sementara,] kami ini kan organisasi yang dibentuk untuk bagaimana di seluruh Tanah Papua, masing-masing [orang Papua] menciptakan dia punya cerita sendiri,” ujarnya. (*)
Discussion about this post