Jayapura, Jubi – Legislator Papua, Namantus Gwijangge menyoroti cara penggunaan koteka, salah satu pakaian tradisional pria dari wilayah Pegunungan Papua pada perhelatan Papua Street Carnival di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Jumat,7/7/2023.
Acara Papua Street Carnival diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, berkolaborasi dengan Papua Youth Creative Hub (PYCH). Menampilkan parade Tarian Fuu dengan alat musik Tifa.
Parade wakil tujuh wilayah adat di Tanah Papua, hingga parade busana karnaval yang terinspirasi dari flora, fauna, dan kekayaan budaya Tanah Papua.
Namun sebagai anggota Komisi V DPR Papua, yang membidangi pendidikan, kesehatan dan budaya, Namantus Gwijangge mengkritik cara penggunaan koteka dalam iven itu.
Ia mengatakan, berdasarkan fakta keunikan, historis dan filosofi setiap pakaian adat dalam budaya masing-masing daerah, adalah kekayaan dan kekuatan bangsa.
“Bhineka Tunggal Ika. Papua Youth Creative Hub [dan Kementerian Pariwisata] menggelar parade budaya (parade busana karnaval). Namun kami menilai terkesan ada pelecehan dalam cara penggunaan pakaian adat [atau pakaian tradisional] koteka,” kata Namantus Gwijangge saat menghubungi Jubi melalui panggilan teleponnya, Jumat malam.
Ia menilai cara penggunaan koteka dalam acara itu terkesan melecehkan budaya masyarakat adat wilayah Lapago dan Meepago, sebab tidak sesuai dengan yang semestinya.
“Seharusnya, saat digunakan koteka tidak dimasukan ke dalam celana. Seluruh tubuh tidak dihiasi atau dibaluri arang, tidak dipasang tali dengan gelang sebagai pengikat, tidak dipegang-pegang. Ini terlihat konyol dan tidak asli,” ucapnya.
Anggota DPR Papua dari daerah pemilihan beberapa kabupaten di wilayah Lapago yang kini masuk Provinsi Papua Pegunungan itu menambahkan, setiap suku di masing-masing wilayah adat di Tanah Papua, termasuk wilayah adat Lapago dan Meepago punya ciri khas tersendiri yang mengandung beribu artikulasi makna dan filosofinya.
“Tidak seperti yang ditampilkan oleh binaan PYCH, terkesan melecehkan budaya dari wilayah adat tertentu. Penyelenggara harus mengklarifikasi tindakan yang terkesan melecehkan pakaian adat wilayah tertentu ini di ruang publik,” kata Namantus Gwijangge. (*)