Oksibil, Jubi – Masyarakat di Kampung Omban, Distrik Borme, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, harus mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah untuk ongkos pesawat. Pemerintah diminta mencari solusi mengatasi ongkos pesawat yang semakin mahal.
Pada Rabu (27/9/2023) pukul 09.03 WP, pesawat terbang maskapai penerbangan MAF mendarat di Kampung Omban, Distrik Borme, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Pagi itu pesawat MAF membawa barang beserta tiga penumpang dengan kapasitas 800 kilogram.
Satu persatu barang muatan seperti beras, air mineral, mi instan, dan rokok diturunkan dari pesawat. Sang pilot, Tom, lalu meminta penumpang menandatangani bukti penerimaan barang.
Aktivitas itu hanya berlangsung sekitar dua belas menit. “Terima kasih,” ucap Tom yang lantas menerbangkan pesawatnya kembali ke Sentani, Ibu Kota Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Penus Bamu mengatakan jika daya angkut pesawat yang mencapai 800 kilogram itu hanya dimanfaatkan untuk mengangkut barang, maka biaya pengangkutan barang itu mencapai Rp23 juta. Penus mengatakan biaya itu belum termasuk ongkos belanja barang, yang dijika dijumlahkan dengan biaya pesawat nilai totalnya bisa menembus Rp40 juta.
“[Biayanya] memang segitu,” kata Penus kepada Jubi di Kampung Omban, pada Kamis (28/9/2023).
Penus mengatakan setiap dua bulan sekali ia akan pergi ke Sentani untuk membeli barang jualan kiosnya di Kampung Omban, Ditrik Omban, Pegunungan Bintang. Barang-barang itu termasuk beras, garam, penyedap rasa, mi instan, minyak goreng, dan ikan kaleng.
Mahal, tapi tak ada pilihan
Penus mengatakan masyarakat biasa memakai maskapai AMA, Jayasi, MAF untuk keperluan transportasi dan pengiriman barang dari Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, ke Kampung Omban, Pegunungan Bintang. Ia mengatakan setiap maskapai tarif barangnya bervariasi. Maskapai Yajasi misalnya, mengenakan tarif Rp33 ribu per kilogram. Sedangkan maskapai penerbangan misionaris AMA mematok tarif Rp29 ribu per kilogram. Tarif termurah dipatok maskapai misionaris MAF, Rp27 ribu per kilogram.
“Tidak ada bantuan [atau subsidi] pemerintah. Itu [kami harus] bayar sendiri,” ujarnya.
Penus mengatakan barang-barang itu kemudian dijual dengan harga bervariasi. Sebungkus rokok yang di Jayapura dijual dengan harga sekitar Rp27 ribu akan dijual di kios Penus dengan harga Rp50 ribu. Mi instan yang dijual di Jayapura dengan harga Rp3.500 akan dijual di kios Penus dengan harga Rp10.000. Harga beras dalam kemasan karung 20 kilogram dijual di kios Penus dengan kisaran harga Rp1,2 juta – Rp1,5 juta.
“[Mau bilang saya ambil] untung, [nyatanya] juga tidak. Itu jualan untuk jamin keluarga, kelola sedikit, terus makan sedikit,” katanya.
Warga lainnya, Enos Dipur mengaku pernah mengeluarkan biaya hingga Rp23 juta untuk membayar satu tiket penumpang dan ongkos angkut barang 750 kilogram. Dipur mengatakan setiap maskapai memiliki patokan harga berbeda-berbeda.
“Satu penumpang dengan barang seberat itu dia bayar segitu. Itu mahal, tapi [karena kami sudah] dibiasakan, jadi tidak rasa,” katanya.
Dipur mengatakan masyarakat memilih membeli barang ke Sentani lantaran pilihan barang lebih banyak serta mudah didapat dan harga yang relatif terjangkau. Ia dan warga Kampung Omban lainnya harus membayar mahal untuk ongkos pesawat, karena mereka punya pilihan lain.
“Kami memilih beli di Jayapura karena lebih murah. Kalau belanja di Oksibil, [Ibu Kota Kabupaten Pegunungan Bintang], beda harga. Kalau garam kami beli di Oksibil harga Rp10 ribu, di Jayapura masih bisa beli dengan harga Rp5 ribu,” ujarnya.
Dipur mengatakan harga tiket pesawat menuju Kampung Omban juga mahal. Dipur mengatakan biaya tiket penympang pesawat MAF rute Sentani – Omban mencapai Rp1,6 juta, sementara tiket penumpang pesawat Jayasi untuk rute Sentani – Omban mencapai Rp1,250 juta. Harga tiket penumpang AMA rute Sentani – Omban berkisar Rp900 sampai Rp1 juta.
Dipur mengatakan harga ongkos pesawat naik lantaran disesuaikan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. “BBM naik, [ongkos pesawat] selalu ikut naik,” katanya.
Tak semua bersubsidi
Warga Kampung Omban memang tak punya banyak pilihan, karena tempat tinggal mereka memang hanya bisa dijangkau dari Sentani dengan penerbangan pesawat berukuran kecil. Warga Omban, Nepinus Bamu mengatakan pesawat memang membantu masyarakat.
Namun, Nepinus mengeluhkan ongkos pesawat terbang yang terus naik. “Kami seperti di siksa dengan harga ongkos pesawat yang mahal,” kata Nepinus.
Nepinus mengatakan sekitar tahun 2000 hingga 2015, ongkos angkutan barang dengan pesawat dari Sentani ke Omban masih berkisar Rp5 ribu hingga 10 ribu per kilogram. Sementara harga tiket penumpang berkisar Rp1 juta.
“Setelah 2018 ke atas, [ongkos itu] melambung tinggi sampai dengan saat ini,” katanya.
Enos Dipur mengatakan selama ini subsidi pemerintah diberikan untuk maskapai penerbangan komersial seperti Susi Air, dan tidak diberikan kepada maskapai penerbangan misi seperti MAF atau AMA. Dengan subsidi itu, harga tiket penumpang Susi Air berkisar Rp600 ribu sampai Rp700 ribu per penumpang.
Akan tetapi, Susi Air hanya melayani penerbangan dari Sentani menuju Kampung Borme, Ibu Kota Distrik Borme, Kabupaten Pegunungan Bintang. Jika warga Omban ingin menggunakan jasa penerbangan bersubsidi Susi Air, mereka harus berjalan kaki dua hingga tiga jam menuju Kampung Borme.
Selain itu, pesawat penumpang Susi Air yang bersubsidi juga tidak bisa digunakan untuk mengangkut barang. “Kalau butuh penerbangan subsidi, [kami] harus [berjalan kaki] ke Kampung [Borme], baru ke Jayapura. Jenis pesawat yang dapat subsidi hanya Susi Air,” katanya.
Jumlah penerbangan berkurang
Kepala Distrik Borme, Eria Wisal mengatakan Susi Air disubsidi langsung oleh Kementerian Perhubungan sejak 2016. Wisal mengatakan awalnya ada tiga pesawat Susi Air yang melayani masyarakat di Distrik Borme, Pegunungan Bintang.
Akan tetapi sejak Februari 2023 hanya ada satu pesawat Susi Air yang melayani masyarakat di Distrik Borme. Padahal, Distrik Borme hanya bisa dijangkau dari Sentani dengan pesawat berukuran kecil.
“Susi Air pernah melayani tiga kali dalam seminggu. Tetapi sekarang [mereka] hanya [melayani] satu kali [penerbangan] dalam seminggu, [sehingga] penumpangnya harus antre,” katanya.
Wisal mengatakan jumlah penerbangan Susi Air ke Distrik Borme berkurang setelah kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang dipimpin Egianus Kogoya membayar pesawat Pilatus milik maskapai Susi Air di Lapangan Terbang Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, pada 7 Februari 2023. Kelompok Egianus Kogoya juga menyandera pilot pesawat itu, Philip Mark Mehrtens, dan belum membebaskannya hingga kini.
Wisal mengatakan pasca insiden itu tiga pesawat Susi Air berhenti beroperasi selama satu bulan. Wisal mengatakan pesawat Susi Air kembali beroperasi karena masyarakat, tokoh adat, tokoh agama hingga Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang membuat surat pernyataan.
“Setelah sandera itu mereka berhenti satu bulan. Itu kami pergi menghadap maskapai Susi Air dan bikin surat pernyatan. Makanya dong kasih satu pesawat untuk layani satu minggu kali,” katanya.
Wisal berharap Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang dapat mengajukan permohonan ke maskapai Susi Air agar tiga pesawatnya bisa kembali melayani masyarakat di Distrik Borme. (*)
Ralat: Berita ini mengalami ralat pada 29 September 2023 pukul 23.53 WP. Pada pemberitaan awal, disebutkan bahwa Kampung Omban berada di Distrik Omban. Informasi itu diperbaiki, karena Kampung Omban berada di Distrik Borme. Kami memohon maaf atas kekeliruan tersebut.