Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan sepanjang 2023 sebanyak 14 orang dipidana karena memperdagangkan senjata api dan amunisi secara ilegal di Tanah Papua. Hal itu disampaikan Anum di Kota Jayapura, Papua, pada Selasa (23/1/2024).
Anum mengatakan keempat belas orang ini diantaranya diadili di Pengadilan Negeri Wamena (9 orang), Pengadilan Negeri Merauke (3 orang), Pengadilan Negeri Nabire (1 orang), dan Pengadilan Negeri Jayapura (1 orang). Anum mengatakan dari belasan orang yang dipidana ini diantaranya warga sipil (5 orang), warga sipil teridentifikasi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (7 orang), Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (1 orang), dan Aparatur Sipil Negara (1 orang).
“Data [kasus] perdagangan senjata api dan amunisi ilegal itu kami himpun dari berbagai sumber yang akurat,” ujarnya.
Anum mengatakan dari sejumlah perkara pidana transaksi perdagangan senjata api dan amunisi itu terdapat barang bukti 14 pucuk senjata api dan 628 butir amunisi. Selain itu juga barang bukti berupa uang senilai Rp64 juta dan 300 gram emas dari transaksi perdagangan senjata api dan amunisi.
“[Dari kasus itu] 5 kasus kepemilikan. Kalau dia bukan aparat keamanan dia harus mempunyai izin kepemilikan senjata api dan amunisi. Sepanjang tidak mempunyai izin dia dianggap kepemilikan ilegal [serta] dikategorikan sebagai transaksi makanya dia di proses,” katanya.
Anum mengatakan alasan ekonomi yang sangat menguntungkan membuat para pelaku tergiur melakukan transaksi perdagangan senjata api dan amunisi.
Dalam laporan investigasi AlDP tentang perdagangan senjata api yang diluncurkan pada 2022 lalu mengungkapkan harga sebutir peluru ilegal di Papua bisa mencapai kisar Rp150 ribu hingga Rp500 ribu.
Jenis senjata api yang diperdagangkan di Papua pun beragam, termasuk senjata api M16 dan M4 dengan harga berkisar Rp90 juta hingga Rp330 juta per pucuk, ataupun pistol yang dijual dengan harga berkisar Rp15 juta sampai Rp100 juta per pucuk.
“Motif ekonomi [dan] ada kebutuhan dari kelompok TPNPB, [dan] ada kebutuhan uang yang menjanjikan. Ada barang ada uang. Hukum ekonomi yang berlaku,” ujarnya.
Namun, Anum mengatakan berbagai perkara perdagangan senjata api/amunisi ilegal yang diputus pengadilan hanya menjangkau para pelaku di lapangan. Anum mengatakan seharusnya dalam persidangan majelis hakim dapat menggali hingga penyedia barang maupun penyedia dana.
“Proses hukum hanya menyisir orang-orang di lapangan. Mata rantainya ini belum sampai kepada sumber senjata. Sumber senjata itukan selain di luar negeri dan dalam negeri. Makanya majelis hakim bisa menelusuri sampai kepada siapa pemilik utama senjata. Nah, majelis hakim tidak menelisik sampai kesitu makanya pembuktian kepemilikan hanya pada warga sipil,” katanya.
Anum mengatakan memutus mata rantai adalah salah satu upaya agar bisa menghentikan transaksi perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua. Ini kan mata rantai harus dihentikan, misalnya sipil mau kemudian pasarnya tidak, penyedia tidak ada gak akan mungkin [ada transaksi]. Ini kan penyedia ini kan ada. Motifnya uang. Selama penyedia ada barang ada tetap. Harus diatasi bukan hanya pembeli tetapi jaringan yang menyediakan senjata api dan amunisi. Ini kan sama dengan Narkoba kamu suruh hentikan/larang [pakai] tapi pengedarnya banyak. Harganya mahal, dan uang besar. [Disini] hukum ekonomi berlaku,” ujarnya. (*)