Jayapura, Jubi – Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP menilai dasar hukum penentuan nilai ganti rugi pembebasan tanah untuk proyek Pelabuhan Tol Laut Depapre oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura tidak jelas. Hal itu disampaikan Divisi Keadilan AIDP, Latifah Buswarimba Alhamid, di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Selasa (7/11/2023).
Temuan itu merupakan bagian dari temuan investigasi yang dilakukan AlDP atas kebijakan pembangunan Pelabuhan Tol Laut Depapre di Kabupaten Jayapura, Papua, pada Juli 2021 hingga Oktober 2023. “Tidak ada aturan yang jelas [untuk menentukan nilai ganti rugi tanah pelabuhan],” ujar Alhamid.
Ia mengatakan proses pembayaran dilakukan empat kali. Pembayaran kali pertama senilai Rp1.378.500.000 untuk tanah seluas 27.570 meter persegi. Ganti rugi itu diberikan kepada Lukas Tonggroitouw, Isak Yarisetouw, Petrus Soumilena, Simon Somisu dan Albertina Soumilena/Demetouw pada 10 Oktober 2008.
Alhamid mengatakan Pemerintah Kabupaten Jayapura kembali melakukan pembayaran pada 23 November 2010 dan 5 April 2011, dengan besaran Rp7.967.659.000 untuk tanah seluas 159.353,18 meter persegi. Ganti rugi kedua itu dibayarkan dalam dua tahap. Pada 23 November 2010, ganti rugi senilai Rp3.500.000 dibayarkan kepada Lukas Tonggroitouw, Petrus Soumilena dan Isak Yaerisetouw.
Pada 5 April 2011, dibayarkan sebesar Rp.4.467.659.000 sebagai pembayaran tahap kedua atas kesepakatan pada 23 November 2010. Ganti rugi itu dibagi dengan prosentase bagi setiap marga pemangku hak ulayat, dan bukan didasarkan luasan hak ulayat masing-masing marga. Rincian prosentase itu, marga Tonggroitouw mendapatkan bagian 40 persen, marga Soumilena mendapat bagian 40 persen, dan marga Yaerisetouw mendapat bagian 20 persen.
“Tidak jelas 20 persen itu dihitung dari nilai berapa? Tidak dijelaskan dasar pembayaran yang diberikan kepada setiap pemilik hak ulayat,” ujar Alhamid.
Alhamid mengatakan pembayaran tahap terakhir pada 22 November 2013 dibayarkan sebesar Rp.3.068.150.000 untuk tanah seluas 61.363 m2 kepada pemilik hak ulayat yang menerima adalah Lukas Tonggroitouw, Petrus Soumilena dan Isak Yaerisetouw. Marga Tonggroitouw menerima Rp.2.618.900.000. Marga Soumilena dan marga Yarisetouw masing-masing menerima Rp224.625.000.
Menurutnya, pembayaran dari 2008-2013 tetap memakai rujukan yang sama dengan nilai ganti rugi Rp50.000 per meter persegi. Setelah dipotong pajak, ganti rugi yang diterima masyarakat adat hanya Rp30.000 sampai Rp40.000 per meter persegi. “Penetapan harga tanah Rp50 ribu per meter persegi itu tidak pakai dasar hukum apa-apa,” katanya.
Alhamid mengatakan total nilai ganti rugi pembebasan tanah seluas 24 hektare dari total kebutuhan 74 hektare tanah untuk proyek Pelabuhan Tol Laut Depapre mencapai Rp.12.414.309.000. Ia menyatakan tidak ada dasar hukum yang jelas dalam menjalankan kebijakan itu.
Ia mengatakan pelepasan hak ulayat untuk pelabuhan peti kemas sangat kompleks, karena pelabuhan dibangun dengan menggunakan wilayah darat, wilayah laut, dan wilayah laut yang direklamasi. Alhamid menekankan perlu dilakukan pengukuran ulang untuk merumuskan jumlah dan bentuk ganti rugi yang disepakati bersama.
“Ukur ulang untuk memastikan dengan jelas batasan tanah yang sudah dibayar 24 hektare itu wilayah mana saja,” ujarnya.
Lukas Tonggroitouw mengatakan masyarakat adat meminta ganti rugi tanah sebesar Rp500.000 per meter persegi, namun tuntutan itu ditolak Pemerintah Kabupaten Jayapura. Tonggroitouw mengatakan pihaknya tidak setuju jika nilai kompensasi pembebasan tanah yang dibayarkan Rp50.000 per meter persegi.
Tonggroitouw mengatakan harga ganti rugi tanah sebesar Rp50.000 per meter persegi sangat tidak layak. Ia berharap Pemerintah Kabupaten Jayapura membayar ganti rugi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
“Mari kita duduk di para-para menyelesaikan ini. Itu [Pemerintah Kabupaten Jayapura] harus besar bayar tanah. Masa mereka main-main bayar. Soal NJOP itu kami tidak tahu,” ujarnya. (*)