Jayapura, Jubi – Masyarakat hukum adat Sawoi Hnya di Distrik Kemtu Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua, berjuang selama tiga tahun untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan mengantongi Sertifikat Hak Pengelolaan atau HPL. Penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan itu dinilai lebih menjamin hak atas tanah masyarakat adat Sawoi Hnya atas tanah ulayat mereka.
Ketua Dewan Adat Suku Klisi, Dorteis Udam mengatakan proses masyarakat adat Sawoi Hnya mendapat sertifikat Hak Pengelolaan dimulai pada 2021, ketika mereka membuat pemetaan partisipatif atas tanah ulayatnya. Pemetaan partisipatif itu melibatkan Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
“Itu di wilayah saya, saya ikut dampingi. Tahun 2021 kami mulai dengan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Pemetaan partisipatif itu melibatkan GTMA Kabupaten Jayapura bersama Badan Registrasi Wilayah Adat atau BRWA,” kata Udam kepada Jubi melalui panggilan telepon, pada Selasa (23/7/2024).
Udam mengatakan hasil pemetaan kemudian diajukan untuk mendapat pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Jayapura. Udam mengatakan proses pengakuan membutuhkan waktu yang lama.
Pemerintah Kabupaten Jayapura baru menerbitkan pengakuan hutan adat Sawoi Hnya melalui Keputusan Bupati Jayapura Nomor 188.4/435 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat Sawoi Hnya Kampung Sawoi Distrik Kemtuk Gresi Kabupaten Jayapura. “Sampai kita peroleh SK Bupati Jayapura,” ujarnya.
Udam mengatakan pemberian sertifikat Hak Pengelolaan bermula ketika pemerintah pusat hendak menjadikan Kabupaten Jayapura sebagai kabupaten percontohan untuk penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan. Menurut Udam, Pemerintah Kabupaten Jayapura kemudian memilih masyarakat adat Sawoi Hnya sebagai penerima sertifikat Hak Pengelolaan itu.
“Sawoi masuk dalam HPL itu dipilih dan itu juga setelah ada diskusi sama-sama dengan masyarakat. Kabupaten Jayapura dicanangkan oleh pemerintah pusat sebagai kabupaten percontohan di Indonesia, sehingga penyerahan sertifikat HPL secara nasional di Kabupaten Jayapura,” katanya.
Udam mengatakan masyarakat adat kemudian mengajukan permintaan sertifikat Hak Pengelolaan atas tanah ulayat mereka ke Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Petugas ATR/BPN kemudian melakukan pemetaan kembali untuk mencocokkan data yang telah dipetakan GTMA dan BRWA, yang kemudian mendapatkan sertifikat HPL. Pada 17 Oktober 2023, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan tiga sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Sawoi seluas 699,7 hektare untuk 130 kepala keluarga.
“Masyarakat mengusulkan juga kepada Kanwil ATR/BPN Provinsi Papua untuk dibuat dilakukan pemetaan lagi. Dilakukan pemetaan lagi [untuk mencocokan], hasil itu sama dengan pemetaan yang dilakukan GTMA Kabupaten Jayapura. Pengajuan ke ATR/BPN itu cuma syarat pemetaan dan SK Bupati. Suku Sawoi menjadi pertama yang terima sertifikat HPL di Papua. Menteri ATR/BPN yang diserahkan langsung di kampung,” ujarnya.
Bukan kawasan hutan
Udam mengatakan masyarakat adat mengajukan permintaan sertifikat Hak Pengelolaan karena tanah ulayat yang diajukan untuk mendapat sertifikat hak atas tanah itu bukan lagi kawasan hutan. Sebagian dari tanah ulayat itu merupakan permukiman transmigrasi. Menurut Udam penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan itu memberikan jaminan akan kekuatan hukum bagi masyarakat adat Sawoi.
“Itu kan tidak ada [di] kawasan hutan, jadi HPL saja. Itu kan sudah daerah transmigrasi, ada [yang tersebar di] Besum, Kwansu dan Nimbokrang,” katanya.
Udam mengatakan dengan memiliki sertifikat maka investor tidak akan masuk seenaknya menggarap lahan masyarakat adat Sawoi. Udam mengatakan dengan sertifikat tersebut, setidaknya pihak ketiga yang hendak menggarap lahan harus meminta izin dari pemiliknya ulayat.
Ia mengatakan penggunaan tanah ulayat yang telah bersertifikat oleh pemerintah maupun investor harus meminta izin kepada marga Sawoi Dguino, Swen Samon, Sawoi Sma, Sawoi Sma Kati dan Sawoi Iwang.
“Pemanfaatan bisa dikelola pihak ketiga tapi harus ada persetujuan dari lima ondoafi sebagai pemilik subjek hak, kalau mereka [semua] setuju. Kalau empat setuju, terus satu tidak setuju, investasi juga tidak bisa jalan. Selama ini, tidak ada sertifikat HPL, tidak ada peta wilayah adat, sehingga [investor pemegang] Hak Guna Usaha masuk saja sesuka hati. Mereka tidak berpikir bertahun-tahun, berabad-abad hutan itu punya masyarakat adat. Atas nama negara, pemerintah, mereka babat saja, atas nama kesejahteraan mereka babat saja,” ujarnya.
Melindungi masyarakat adat
Udam yakin penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan atas tanah ulayat masyarakat adat Sawoi Hnya dapat melindungi hutan dan tanah adat masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat adat sangat berhubungan erat dengan tanah dan hutan, dan adanya sertifikat Hak Pengelolaan menjamin bahwa sesuatu yang dilaksanakan di atas tanah ulayat masyarakat adat harus dibicarakan dengan masyarakat adat.
“Kalau tanah, hutan diambil untuk investasi menurut kami membunuh masyarakat secara langsung karena masyarakat tidak mempunyai keahlian. Tidak punya teknologi meracik sesuatu untuk menjadi bahan yang menghidupkan mereka. Masyarakat [adat] hanya bisa meramu di hutan dan membuka lahan secara tradisional, dan mereka hidup dari situ. Mereka hidup dari dusun sagu. Kalau dusun sagu dibabat untuk pembangunan, sama dengan membunuh masyarakat adat,” katanya.
Kini ia berharap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membantu masyarakat memberdayakan hutan mereka. Ia mencontohkan program pemberdayaan yang telah berjalan di Kampung Syugkue Woi Yansu.
“Di wilayah adat Klisi Woi Yansu, hari Sabtu baru selesai penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa. Kami sudah dapat bantuan dari Kementerian Tenaga Kerja [berupa] alat satu unit balai pelatihan komunitas dengan peralatan mesin agroforestri, mesin bubuk kopi, mesin bubuk jahe. Tahun 2023, kami dapat bantuan Rp220 juta [yang] dibagi [untuk] 11 kelompok tani. Tiap kelompok tani dapat Rp20 juta,” ujarnya.
Kepala Suku Sawoi Dguino, Yunus Kiki mengatakan ada tiga sertifikat Hak Pengelolaan yang diterbitkan bagi masyarakat adat Sawoi Hnya. Yunus mengatakan memiliki 5 hektare dari 699,7 hektare. Ia memiliki lahan Hak Pengelolaan itu di daerah Besum. “Bapak punya di sertifikat [HPL] itu ada 5 hektare,” kata Yunus pada Selasa.
Ia juga merasa penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan itu bermanfaat bagi masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat berencana berkumpul untuk membicarakan pemanfaatan hutan tersebut. Yunus mengaku sudah tidak mampu mengelola lahannya sendiri, dan hendak menyewakan kepada pihak lain.
“[Saya] sudah tua begini, lebih baik kami kasih pihak ketiga yang olah. [Setelah] penerimaan sertifikat itu sampai sekarang belum ada pertemuan dengan masyarakat. Kami mau duduk bersama untuk bicarakan dengan masyarakat, supaya kami cari pengusaha mana untuk ternak sapi, buka untuk lahan padi, [atau] lahan jagung kah? Daripada sertifikat kami simpan di rumah, kan tidak berguna. [Saya ingin] cari pengusaha untuk kelola itu lahan,” ujarnya.
Solusi persoalan tanah di Papua?
Daniel Koromath dari Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Papua mengatakan penerbitan Hak Pengelolaan bisa mengatasi persoalan kepemilikan tanah di Papua. Koromath mengatakan dengan adanya sertifikat Hak Pengelolaan, masyarakat adat akan memiliki kekuatan hukum dan terhindar dari konflik yang disebabkan investasi.
“Solusinya itu HPL. Ke depan, ada investasi, tidak perlu berkonflik. Tanah-tanah di Papua itu dimiliki secara komunal, [dan tanah ulayat] itu bisa dibuatkan sertifikat HPL, secara aturan itu disahkan hukum. Masyarakat adat punya ribuan hektar, kami kasih sertifikat HPL di situ. Khusus [untuk tanah ulayat] masyarakat adat, [walaupun bidang tanah itu telah dibebani] Hak Guna Usaha, [tetap bisa diterbitkan Hak Pengelolaan untuk masyarakat adat. Kalau nanti masa berlaku] HGU habis, [tanah] kembali kepada masyarakat,” katanya.
Akan tetapi, Kanwil Kementerian ATR/BPN akan berlaku pasif dalam proses penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan untuk masyarakat adat. Koromath mengatakan pemetaan wilayah adat merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah bersama masyarakat pemilik hak ulayat. Koromath mengatakan ATR/BPN hanya membantu mendaftarkan, untuk bisa menerbitkan sertifikat hak atas tanah, termasuk sertifikat Hak Pengelolaan.
“Kami tugas mendaftarkan. Di Kabupaten Jayapura baru terbit [sertifikat Hak Pengelolaan untuk] Suku Sawoi, itu atas pengelolaan masyarakat hukum adat. Saya pikir pola itu sebagai jalan keluar untuk kita. Secara kepastian hukum, masyarakat adat punya batas-batas dari [tanah ulayat] mereka. Kami BPN cuma mendaftarkan, [tapi] proses [awal pemetaan] bisa melalui pemerintah daerah,” ujar Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah ATR/BPN Papua tersebut.
Akan tetapi, pendaftaran dan penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan bukanlah cara untuk menyelesaikan segala keruwetan sengketa tanah di Papua. Pendaftaran dan penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan juga bukan solusi atas berbagai tuntutan ganti rugi tanah yang diajukan masyarakat adat atas bangunan fasilitas umum seperti rumah sakit atau sekolah.
Koromath mengatakan masalah tumpang-tindih kepemilikan lahan ataupun sertifikat—kasus yang banyak terjadi di Kabupaten dan Kota Jayapura—hanya dapat diselesaikan melalui jalur hukum, misalnya digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Sebab, kata Koromath, Kementerian ATR/BPN tidak serta merta bisa membatalkan sertifikat yang sudah diterbitkan.
“Kalau tumpang tindih, kami mediasi. Kalau tidak [bisa diselesaikan dengan] mediasi, proses jalur hukum. Kami tidak bisa semata-mata terima masyarakat adat datang, lalu hapuskan/batalkan sertifikat itu. Jadi, [kalau ada tumpang tindih sertifikat], harus digugat [melalui] PTUN. Kalau masyarakat punya bukti [bahwa hak atas tanahnya dilanggar] silahkan digugat. Kalau digugat, [dan gugatan itu dikabulkan PTUN], pemerintah pasti akan bayar berdasarkan putusan pengadilan itu,” katanya.
Namun, pemetaan wilayah adat dan penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan dapat mencegah terjadinya konflik agraria pada masa mendatang. Koromath mengatakan pemerintah daerah harus memiliki program kerja pemetaan wilayah adat, dan membuat peraturan daerah perlindungan bagi masyarakat hukum adat.
“[Contoh] di Kabupaten Jayapura, itu mereka melalui pihak ketiga mereka buat Gugus Tugas Masyarakat Adat [atau GTMA], itu berjalan lebih dari lima tahun itu baru bisa [mengurus penerbitan Hak Pengelolaan]. Teman-teman di GTMA itu kerja jatuh-bangun [untuk memetakan wilayah adat hingga mendapat pengakuan]. [Pemetaan di] daerah Sentani Kota itu susah [dilakukan].Di Nimbokrang, Genyem dan sekitarnya, [masyarakat adat] masih punya tanah, mereka masih bisa tunjuk batas-batasnya,” kata Koromath.
Tetap harus hati-hati
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengakui bahwa penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan bisa menjadi solusi upaya memberikan kekuatan hukum bagi pengusahaan tanah ulayat oleh masyarakat adat. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa penerbitan Hak Pengelolaan atas tanah ulayat masyarakat adat bukan tanpa kepentingan yang justru bisa merugikan masyarakat adat.
Menurut Franky, langkah penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan bagi masyarakat adat bisa dimuati kepentingan agar pihak ketiga bisa mengelola tanah ulayat tersebut. Baginya, sertifikat Hak Pengelolaan seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, penerbitan Hak Pengelolaan memberikan pengakuan hak atas tanah masyarakat adat, namun di sisi lain hal itu juga memudahkan pihak ketiga untuk menguasai tanah tersebut.
Franky berpendapat pengakuan hak atas tanah masyarakat haruslah diatur secara komprehensif. Proses pemetaan wilayah adat pun harus dilakukan secara partisipatif dan menyeluruh, tidak terpisah-pisah, karena masyarakat adat mengenal hutan dan tanah itu satu. “Masalahnya, oleh negara, [hak atas tanah] itu dipandang berbeda,” katanya.
Ia juga menyoroti dualisme cara pemerintah memberikan pengakuan hak atas tanah masyarakat adat. Pertama, pengakuan hutan adat yang datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kedua, penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan dari Kementerian ATR/BPN.
“Kritik kami terhadap dua mekanisme itu, mestinya ada kesatuan [dalam hal mekanisme pengakuan hak atas tanah masyarakat adat. Pengakuan hak ulayat seharusnya] tidak secara terpisah-pisah, karena bagi masyarakat adat semua [hutan dan tanah adat] satu dalam wilayah adat,” ujarnya.
Kewenangan kedua kementerian itu belumlah selaras dalam menjalankan proses pengakuan hak atas tanah masyarakat adat. “Nah, dua-dua [kementerian] itu memiliki sistem yang berbeda, objek juga yang berbeda. KLHK mengurusi kawasan hutan, sedangkan tanah di luar kawasan hutan diurus oleh [Kementerian] ATR/BPN. [Padahal masalah tanah ulayat dan hutan adat] terkait dengan bagaimana masyarakat adat punya hak dan kedaulatan. Itu mesti harus dipenuhi negara,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!