Jayapura, Jubi – Anggota Koalisi Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Yohanis Mambrasar mendorong penerapan hukum humaniter dalam penyelesaian konflik Papua sebagai ruang baru menyelamatkan manusia Papua dalam konflik Papua, dan juga alat kuat mengadvokasi penyelesaian konflik Papua.
Dalam rilis tertulisnya yang diterima Jubi, Selasa (26/3/2024), Mambrasar menyatakan publik tidak bisa terus menerus ditipu dengan narasi-narasi tunggal TNI, yang mendefinisikan berbagai macam konflik Papua dalam pandangannya, sebab pola itu juga yang terus menjadi alat TNI menjalankan operasi-operasi militer dan melakukan kekerasan di Papua.
“Mestinya kelompok-kelompok pembela HAM Papua, Indonesia dan Internasional sudah harus berani mendesak penerapan hukum perang internasional (humaniter) dalam konflik Papua, agar adanya mekanisme yang adil dalam melihat dan mengadvokasi semua peristiwa kekerasan terhadap masyarakat sipil dan objek-objek sipil yang terjadi dalam konflik Papua,” ujarnya.
Menyikapi video penyiksaan warga sipil di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, Mambrasar berpendapat selain mengadvokasi dengan mengunakan mekanisme HAM nasional maupun proses hukum melaui mekanisme pengadilan militer, kasus itu juga harus diadvokasi menggunakan hukum humaniter agar adanya narasi seimbang (benar) dalam suatu peristiwa.
“Saya pikir kita harus mendorong penerapan hukum humaniter dalam konflik Papua sebagai ruang baru menyelamatkan manusia Papua dalam konflik Papua, dan juga alat kuat mengadvokasi penyelesaian konflik Papua,” tegasnya.
Mambrasar mengatakan, pernyataan Kepala Pusat Penerangan TNI dan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XVII Cenderawasih selalu menyampaikan telah membekali prajuritnya SOP sesuai dengan hukum humaniter, namun pada kenyataannya pola operasi di lapangan (Papua) dan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil masih saja terjadi.
Ini menunjukkan adanya pembohongan publik, sengaja dibagun melegalkan dan memutuskan tindakan-tindakan brutalnya di Papua. Bahkan dirinya melihat hal ini merupakan strategi politik kebijakan keamanan Negara Indonesia di Papua, yaitu TNI menampilkan wajah humanisme kepada publik dan tetap mempraktikkan operasi brutal, dengan pola praktik kekerasan terhadap masyarakat sipil, yang dilegalkan melalui defenisi-defenisi konflik di luar hukum humaniter.
“Misalnya saja seperti warga sipil yang didefinisikan sebagai Kombatan TPNPB, atau fasiltas sipil yang digunakan TNI lalu dibakar oleh Kombatan TPNPB,” katanya.
Yohanis Mambrasar mengatakan jika tidak ada standar baku sebagai acuan dalam mendefinisikan berbagai tindakan dalam peristiwa-peristiwa konflik di Papua, di situlah jalan panjang tanpa akhir konflik Papua.
JIka demikian, advokasi HAM Papua hanya akan berfungsi sebagai alat legitimasi perlengkapan alusista operasi militer di Papua dalam bingkai keamanan dan pertahanan NKRI. Bahkan di situlah narasi-narasi tunggal TNI dibangun kuat, TNI selalu mendefinisikan masyarakat sipil Papua sebagai TPN (Kombatan), Teroris, dan KKSB.
“Selalu saja narasi tunggal TNI menjadi kebenaran tunggal tentang peristiwa-peristiwa kekerasan TNI terhadap masyarakat sipil di Papua. Bahkan situasi ini terjadi begitu saja berulang-ulang ketika terjadinya peristiwa kekerasan yang muncul ke publik dan mendapat sorotan publik, TNI membuat pernyataan dan klarifikasi bahwa tindakan itu dilakukan oleh oknum anggota yang tidak patuh, pelaku akan diproses hukum, TNI melindungi rakyat Papua, dan TNI minta maaf atas perbuatan ini,” ujarnya. (*)
Discussion about this post