Jayapura, Jubi – Ketua Himpunan Alumni Se-jawa Bali dan Sumatera atau HA-JABASU di Yahukimo, Elius Pase mengatakan, sudah dua Tahun Tragedi Yahukimo Provinsi Papua Pegunungan, yang menewaskan Yakob Meklok dan Esron Weipsa.
Pihaknya menilai Komnas HAM RI, Perwakilan Papua, Kompolnas, POLRI dan Kapolda Papua serta Polres Yahukimo “Gelapkan” Fakta dan tidak memberikan rasa Keadilan bagi keluarga Korban Penyerangan di Ruko Simpang Tiga Pangkalan Cenderawasih pada 2022 silam.
Keduanya tewas tertembak. Yakob Meklok meninggal karena luka tembak di bawah ketiak kanan. Sementara Esron Weipsa meninggal karena luka tembak di punggung kiri.
Dalam peristiwa itu, terjadi rentetan kekerasan. Penangkapan, persekusi dan penahanan paksa hingga korban luka tembak. “Briptu Muhammad Aldi (luka di bagian kepala), Itos Hitlay (luka tembak di paha kiri), dan Luki Kobak (luka tembak di paha kanan),” katanya, saat menggelar jumpa pers di salah satu Café di Kota Jayapura, Jumat lalu (15/3/2024).
Pase mengecam sikap diam oleh Kompolnas, Polri, Kapolda Papua, Kapolres Yahukimo dan Komnas HAM Papua.
“Kami mengingatkan bahwa Kompolnas, Polri, Kapolda Papua, Polres Yahukimo dan Komnas HAM RI serta Komnas HAM Papua, masih memiliki hutang berupa kewajiban untuk menyelidiki dan memastikan proses hukum untuk para pelaku, serta pemulihan untuk 5 korban dan para keluarga korban dalam peristiwa dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Ruko Simpang Tiga Pangkalan Cenderawasih, kecamatan Dekai, kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, pada, 15 Maret 2022,” katanya.
Pase mengatakan, berdasarkan data, fakta dan beragam informasi yang berhasil dikumpulkan dan dianalisis oleh Ha-jabasu, hingga update perkembangan kasus, Ha-jabasu menemukan dugaan kuat telah terjadi pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat; berupa dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Kami meminta pertanggungjawaban kepada Bupati Didimus Yahuli, Propam dan Polda Papua, selaku institusi kepolisian RI daerah Papua, Kepolisian daerah Yahukimo dan bupati, selaku pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam kasus ini untuk membuktikan sejauh mana Propam Polda Papua mengetahui atau terlibat dalam peristiwa ini,” katanya.
Pase mengatakan, dari hasil investigasi Ha-jabasu, tercatat kesatuan polisi yang terlibat penyerangan di antaranya, Pasukan huru-hara (PHH), Brimob, Dalmas, dan Polisi.
“Dalam investigasi kami ditemukan pula, kuat dugaan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penyerangan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil yang melakukan aksi di Ruko, Simpang Tiga, Pangkalan Cenderawasih,” katanya.
Pase mengatakan, dalam penyerangan ini terdapat unsur bahwa penyerangan yang dilakukan mengandung unsur niat jahat [mens rea], bukan merupakan spontanitas belaka, apalagi sekedar disederhanakan menjadi dampak dan pelanggaran individu anggota polisi di lapangan.
“Jadi ada Niat yang melatari serangan oleh polisi teridentifikasi dari pengerahan kekuatan berlebih , penggunaan senjata mematikan [berupa peluru tajam], penembak jitu. Fakta penting lainnya adalah warga sipil yang menjadi target serangan sama sekali tidak bersenjata / mempersenjatai diri [bukan milisi / paramiliter / kombatan],” katanya.
Pase mengatakan, selain kejahatan kemanusiaan, aparat keamanan juga melakukan pelanggaran hak-hak lainnya, berupa pelanggaran hak atas rasa aman, pelanggaran rasa aman terhadap hak-hak anak, pelanggaran atas hak kesehatan, dan perusakan properti masyarakat setempat.
“Laporan pemantauan Komnas HAM, hari Selasa tertanggal 6 Juni 2022 (setebal 49 halaman), tidak satupun menyebut kata penyelidikan lebih lanjut dan dugaan pelanggaran HAM/pelanggaran HAM berat. Komnas HAM menyederhanakan fakta dan solusi untuk para korban/satu orang reputasi kakinya, rujukan dari RSUD Yahukimo ke Jayapura, pendekatan dialogis dan memperbaiki dampak kerusakan,” katanya.
Pase merasa aneh bin ajaib, lembaga seperti Komnas HAM yang memiliki mandat penyelidikan terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM berat, melihat fakta dan korban dalam peristiwa di Ruko Simpang Tiga Pangkalan Cenderawasih, tidak lebih sebagai peristiwa biasa, dimana semua pihak baik warga, pemerintah dan DPRD Kabupaten Yahukimo dan DPR Papua sama- sama khilaf alias lepas kendali, sehingga harus saling mengoreksi dan berekonsiliasi satu sama lain.
“Lebih celaka lagi, tidak nampak upaya lanjutan dari Komnas HAM, terhadap para korban luka tembak, mereka yang trauma, kerugian masyarakat dan keberlanjutan upaya pengobatan bagi korban yang mengalami luka serius,” katanya.
Pihaknya menilai, situasi ini turut diperburuk dengan rendahnya komitmen Polri, dalam memastikan proses hukum pidana, terhadap anggotanya yang diduga kuat terlibat dalam kasus penyerangan di Ruko Simpang Tiga Pangkalan Cenderawasih.
“Polisi (anggota Polisi di Yahukimo) tidak mengetahui proses hukuman berupa teguran tertulis dan etik. Brimob (anggota Brimob) yang menyelesaikan tugasnya di Yahukimo saat terjadi peristiwa terlibat dalam peristiwa ini dan berangkat kembali ke Surabaya tidak diketahui juga proses hukum berupa teguran tertulis dan etik. Propam dan Polda Papua (tidak ada yang dilakukan) berupa tindak tegas hukuman teguran tertulis dan etik pada pelaku. Kapolres Yahukimo (tidak upayakan proses hukum kepada anak buahnya) dijatuhi berupa hukuman pidana atau teguran tertulis dan etik,” katanya.
Pase mengatakan, berdasarkan data dan fakta pihaknya mengeluarkan beberapa rekomendasi. Pertama, Komnas HAM RI Perwakilan Papua harus segera melakukan penyelidikan pro-yustisia, berdasarkan ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedua, Pemerintah kabupaten Yahukimo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Yahukimo dan DPRP Provinsi Papua komisi I melaksanakan upaya proses hukum pada pelaku serta serangkaian upaya lainnya terkait kasus ini.
Ketiga, Kepolisian RI dan Kompolnas secara khusus Polres Yahukimo dan Kapolda Papua, dan segenap pihak yang patut diduga kuat terlibat dalam penyerangan terhadap penduduk sipil di Ruko Simpang Tiga Pangkalan Cendrawasih dan rangkaian peristiwa setelahnya, agar bekerjasama dengan baik, terhadap segala bentuk pemeriksaan dan proses hukum, sebagai bentuk akuntabilitas penegakan hukum.
Jubi mencoba menghubungi Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, untuk meminta konfirmasi. Ramandey membalas pesan melalui layanan WhatsApp. Dia menyatakan “Kami sudah beberapa kali jawab surat mereka,”. (*)
Discussion about this post