Jayapura, Jubi โ Aliansi Jurnalis Indepnden atau AJI Indonesia meluncurkan catatan tentang laporan serangan digital terhadap jurnalis maupun media selama 2022 di Indonesia, yang semakin meningkat dibandingkan 2021.
Anggota AJI Indonesia bidang internet, Adib Muttaqin Asfar saat diseminasi laporan situasi keamanan jurnalis di Indonesia via zoom meeting, Senin (16/1/2023) mengatakan, selama 2022 terdapat 15 kasus serangan digital menyasar pada jurnalis.
Jumlah kasus itu melonjak dibandingkan 2021 yang tercatat hanya 5 kasus. Lonjakan tersebut terjadi karena peristiwa peretasan terhadap alat kerja sebanyak 37 pekerja media dan DDoS attack pada situs berita Narasi pada 24 hingga 29 September 2022.
โJika dibandingkan 2021, ada peningkatan yang cukup tajam, dari 15 kasus menyasar 9 media masa dan 43 awak media atau redaksi,โ katanya.
Serangan yang terjadi seperti pengambilalihan akun, serangan terhadap media komunikasi seperti Whatsapp dan telegram, DDoD (ada tren peningkatan dari tahun sebelumnya). Juga peretasan terhadap sosial media jurnalis.
Kasus ini merupakan serangan digital terbesar yang dicatat AJI Indonesia dalam empat tahun terakhir. Ada dua tren utama serangan digital selama 2022 yakni peretasan yang menyerang individu jurnalis atau pekerja media, dan serangan DDoS pada situs organisasi media.
โDari data AJI Indonesia, terdapat 6 kasus peretasan dengan 43 jurnalis dan pekerja media yang menjadi korban. Peretasan itu menargetkan platform komunikasi Whatsapp, email, Facebook dan Instagram milik para korban,โ katanya.
Selain serangan digital yang dapat menghambat kebebasan pers saat ini, ada pula pengesahan sejumlah undang-undang yang dapat menjerat jurnalis ke kasus hukum seperti undang-undang nomor 19 tahun 2006 tentang ITE atau Informasi dan Transaksi Elektronik masih menjadi ancaman serius, dimana ada pasal-pasal karet yang sering kali menjerat jurnalis dalam setiap peliputannya.
Seperti pasal 27 ayat 3, pasal 45 ayat 3 terkait pencemaran nama baik, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45 ayat 2 terkait SARA, dimana hal itu sering kali menjadi pasal karet atau cela untuk mengkriminalisasi jurnalis dan media di Indonesia.
Lalu ada undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana terutama pasal 14 dan 15 terkait berita bohong juga menjadi ancaman serius, undang-undang nomor 27 tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi yang tertuang di pasal 4 ayat (2d). pasal 64 ayat 4, pasal 65 ayat 2 dan pasal 67 ayat 2.
Ada pula peraturan menteri Komunikasi dan Informatika nomor 5 tahun 2020 tentang penyelenggara sistem elektronik privat, undang-undang nomor 1 tahun 2023 tentang kitab undang-undang hukum pidana memuat 17 pasal yang dapat mempidana jurnalis serta undang-undang cipta kerja dan Perppu cipta kerja terkait klaster ketenagakerjaan dan klaster penyiaran.
โHal ini berkaitan erat dengan pembatasan kebebasan berkekspresi, bukan hanya terhadap jurnalis namun juga terhadap masyarakat sipil lainya,โ kata Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas.
Ia memisalkan, laporan Amnesty yang mendokumentasikan setidaknya ada 328 kasus serangan fisik atau digital terhadap masyarakat termasuk di dalamnya pembela HAM, aktivis, mahasiswa, selama rentan 2019-2022 dengan total 834 orang.
Hal itu membuat masyarakat merasa khawatir dan takut untuk mengekspresikan dirinya baik itu secara dalam jaringan atau online maupun secara luar jaringan atau offline.
โTiga undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna ini, akan menjadi tantangan yang semakin besar yang mengancam serius tidak hanya bagi jurnalis tetapi juga masyarakat sipil pada umumnya,โ ucap Ika. (*)