Jayapura, Jubi- Selama 60 tahun di tanah Papua telah terjadi berbagai bentuk kekerasan melalui operasi militer dengan berbagai sandi operasi terus menerus dilakukan secara silih berganti. Akibatnya dampak dari operasi dengan berbagai sandi operasi itu tidak hanya berdampak kepada Tentara Nasional Papua Papua Barat atau TPNPB tetapi juga korban masyarakat sipil terutama orang tua, anak anak dan kaum perempuan.
“ Situasi di tanah Papua saat ini sangat mengkhawatirkan,” kata Markus Haluk Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP saat memantik materi tematik bertajuk ULMWP dalam Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik Sekolah Jujur Bicara di Kantor Redaksi Jubi di jalan SPG Taruna, Waena, nomor 15B, Waena, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (4/11/2023).
Dia mengatakan bahwa penindasan secara terlihat maupun tidak terlihat dalam bentuk kebijakan secara masif dan terstruktur sedang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua.
“Imbasnya dirasakan oleh masyarakat sipil,” katanya.
Haluk juga mengatakan, Otsus hanya merugikan orang Papua. dia juga mengatakan, banyak undang-undang yang dibuat dari waktu ke waktu yang tidak mengakomodir kepentingan orang Papua akan tetapi hanya mengakomodir kepentingan pemerintah Indonesia dan investor, salah satunya undang-undang omnibus law.
Alumnus Sekolah Tinggi Fajar Timur atau STFT Jayapura itu mengatakan, pemerintah Indonesia selalu beranggapan Papua tidak ada pemilik dan tidak ada manusia sehingga, pemerintah pusat dan investor melakukan kesepakatan dan paksa masuk ke Papua.
“Pemerintah tanpa bicara dengan masyarakat Intan Jaya, Migani, dan Moni sebagai pemilik. Pemerintah menyetujui Blok Wabu,” katanya.
Selain itu, dia juga mengatakan miras yang tidak mau dicabut izinnya oleh pemerintah pusat dan daerah sementara itu menurutnya, miras akan berdampak ke perilaku seks bebas yang beresiko terkena HIV/AIDS, KDRT dalam rumah tangga, psikologi anak terganggu, dan membuat anak tidak menempuh pendidikan. Selain itu, mahasiswa bilang uang ini dan itu padahal habis dengan miras. Ujung-ujungnya pulang mayat.
“Ini bentuk penindasan yang tidak kelihatan tapi orang Papua terjerumus disitu dan sedang mati,”
Selain itu, Haluk yang juga mantan Sekjen AMPTI itu mengatakan, penindasan lainya juga larangan pemasaran buku yang ditulis intelektual Papua, larangan demonstrasi sementara, undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kebebasan berekspresi dijamin.
Sementara itu, menurut data Sekretariat Keadilan dan Perdamaian atau SKP Gereja Katolik se-Tanah menunjukkan 49.926 warga sipil telah mengungsi akibat operasi militer dan kontak tembak antara TNI/Polri dan TPNPB di Nduga, Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, dan Yahukimo dalam kurun waktu 2018 hingga 2023.(*)