Jayapura, Jubi – Sidang lanjutan dengan terdakwa Victor Yeimo dengan agenda pembuktian kembali digelar, Selasa (7/2/2023), di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura dengan agenda pembuktian yang menghadirkan tiga orang saksi dari Jaksa Penuntut Umum.
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua, Mathius, SH, MH bersama Andi Asmuruf, SH, MH dan Linn Carol Hamadi, SH saksi yang dihadirkan sebanyak tiga orang, dua orang merupakan anggota kepolisian dan seorang mahasiswa.
Koalisi Penasehat Hukum terdakwa Victor Yeimo, Emanuel Gobay, usai sidang menyebut jika saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Victor Yeimo sejauh ini sangat diragukan semuanya.
Pasalnya, dari keterangan saksi pertama yang merupakan anggota polisi yang mengaku melihat langsung di lapangan pada kejadian 29 Agustus 2019 di Kota Jayapura, ternyata tidak melihat secara pasti.
“Bahkan jaraknya saksi itu jauh dari pantauannya saat aksi 29 Agustus 2023 itu kurang lebih 20 meter. Ini juga kemudian keterangannya diragukan,” kata Gobay.
Bahkan, katanya, ada beberapa hal yang saat penasehat hukum terdakwa bertanya terkait kepastian tentang baju apa dan warna apa yang saat itu terdakwa gunakan, kemudian saat itu berdiri sedang apa tidak disampaikan secara maksimal, sehingga ia meragukan keterangan saksi tersebut.
Berikutnya dengan saksi petugas kepolisian yang menangkap kliennya juga tidak masuk pada fakta, sehingga menurutnya tidak menjawab fakta yang terjadi.
Bahkan, saksi kedua tidak mampu menunjukkan surat tugas, bahkan surat penangkapan. Bukan hanya itu, saksi juga mengakui jika surat penangkapan itu ia berikan setelah kliennya dibawa ke Polda Papua, semestinya langsung diberi.
“Saksi juga sampaikan secara langsung berdasarkan pengalaman dia melakukan penangkapan di orang lain itu harus surat tugas duluan. Ketika kita tanya apakah itu bertentangan dengan pasal dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, saksi juga akui itu,” katanya.
Sedangkan dari keterangan saksi ketiga yang merupakan mantan Ketua BEM Uncen, tim penasehat hukum mendapatkan banyak keterangan yang pertama adalah disampaikan aksi 19 Agustus 2019 itu murni aksi menolak tindakan rasisme di Surabaya.
Dimana, tidak ada satu pun isu yang mengarah pada Papua merdeka. Kemudian ia mendapat satu keyakinan bahwa tuduhan makar terhadap kliennya lari jauh dari fakta yang sebenarnya.
“Secara definisi kita juga bisa mendapatkan satu kesimpulan tersendiri, bahwa dafinisi rasisme maupun makar dua definisi sangat berbeda. Ketika kemudian rasisme bisa diartikan sebagai makar, itu sangat luar biasa. Ini fakta yang sedang kita lalui, dan menurut kami ini akan menjadi satu peradilan yang keliru jika kemudian rasisme diartikan sebagai makar,” katanya.
Sementara itu, Victor Yeimo menyebut jika sebenarnya proses hukum ini diarahkan untuk blaming victim atau mempersalahkan korban.
“Biarkan saja pengadilan ini membuktikan bahwa kita sudah sebagai korban yang dikatakan sebagai monyet, lalu dihukum lagi. Saya pikir dengan beberapa kali pengadilan ini, kalau dibuka terang benderang, membuktikan bahwa ini betul-betul sedang terjadi blaming victim,” katanya.
Untuk itu seperti apa yang ia katakana berulang kali jika ada rasisme struktural yang ada di dalam watak penguasa. Padahal, aksi rasis itu sakit hati semua orang Papua, bukan hasil hasutan darinya maupun siapa pun. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!