Wamena, Jubi – Pembunuhan warga sipil atas nama Michelle Kurisi Doga pada 28 Agustus 2023 di Distrik Kolawa, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga dan warga yang peduli perdamaian di Papua.
Pasca peristiwa pembunuhan tersebut telah beredar luas pernyataan dari kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) melalui juru bicaranya Sebby Sambom menyatakan bertanggung jawab terhadap pembunuhan Michelle Kurisi Doga. Korban dinilai terlibat bekerjasama dengan aparat keamanan dan kunjungannya ke Nduga dalam rangka mengambil data-data pengungsi sekedar termasuk kegiatan mata-mata untuk pembebasan sandera warga negara Selandia Baru.
Klaim tersebut kemudian dengan cepat menjadi alasan pembenar aparat keamanan dengan membangun narasi bahwa aktivis perempuan dan anak tersebut dibunuh oleh kelompok TPNPB. Yang bersangkutan bukan intelejen TNI maupun Polri.
Ketua Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia Papua atau PAHAM Papua, Gustaf R. Kawer, SH, M.Si mengatakan subtansi dari pengungkapan kasus ini bukanlah narasi kambing hitam atau kambing putih, seharusnya mengedepankan penyelidikan yang independen mulai dari aktifitas sehari-hari korban, pekerjaannya, relasi dalam bekerja, termasuk misi yang bersangkutan ke Nduga untuk mengurus pengungsi atas perintah dan kerjasama dengan lembaga atau pihak mana, termasuk siapa yang bersama-sama dengan korban hingga yang bersangkutan dibunuh secara sadis.
“Dari pemantauan dan penelusuran jejak digital yang dilakukan oleh PAHAM Papua, korban mempunyai relasi cukup dekat dengan beberapa petinggi Polri di Papua, termasuk dalam beberapa konflik di Papua, yang bersangkutan secara aktif terlibat dalam aksi-aksi tersebut,” kata Gustaf Kawer dalam siaran pers PAHAM Papua yang diterima redaksi jubi.id pada Sabtu (2/9/2023).
Untuk itu penyelidikan yang independen dan profesional atas kematian Michelle Kurisi Doga sangat perlu dilakukan secara mendalam dilakukan oleh pihak yang netral, guna menghindari klaim mengklaim dengan narasi-narasi yang sarat kepentingan politik.
“Menjadi penting saksi-saksi dan alat bukti yang dapat membantu pengungkapan kasus tersebut adalah jejak digital korban, mulai dari aktivitas korban terakhir ini, komunikasi dengan pihak-pihak siapa saja, dan saat melakukan perjalanan ke Nduga atas perintah dan bersama dengan siapa,” ujar Kawer.
Selain itu jejak digital yang bisa digunakan untuk menelusuri motif pembunuhan yang bersangkutan adalah hadirnya korban dalam webinar dalam Paradox yang dibawakan oleh Bishop Joshua Tewuh dengan judul, “Indonesia Walk Out Why?”. Dalam acara tersebut korban mengapresiasi delegasi ULMWP dan mendukung perjuangan Papua menjadi anggota MSG serta berbalik mengkritisi pemerintah Indonesia cukup keras.
Melihat track record korban akhir-akhir ini, terdapat berbagai spekulasi tentang pembunuhannya, bukan saja korban dibunuh oleh kelompok TPNPB, tetapi bisa saja sengaja dihilangkan oleh kelompok yang sakit hati terhadap pernyataan korban yang kontra dengan kepentingan mereka di Tanah Papua, atau sengaja menciptakan narasi konflik Papua.
“Berdasarkan uraian tersebut, untuk pengungkapan kasus terbunuhnya Michelle Kurisi secara independen, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui Komnas HAM RI perlu membentuk tim independen guna pengungkapan kasus di luar hukum [extra judicial killing] dan menghindari klaim mengklaim yang tidak bertanggung jawab, baik di kalangan TPNPB maupun TNI-Polri, yang menimbulkan korban berjatuhan di kalangan masyarakat sipil di Tanah Papua,” kata Gustaf Kawer. (*)