Jayapura, Jubi- Sekretaris Persatuan Gerakan Pembebasan atau United Liberation Movement West Papua atau disebut ULMWP, Markus Haluk hadir sebagai pembicara tentang sekilas peliputan berita dan berkaca tentang pergerakan pembebasan West Papua pada Sekolah Jujur Bicara (SeJubi) Papua.
Pada pertemuan 120 menit itu, Haluk lebih berbicara sejarah peradaban orang Papua pada abad ke tujuh. Kata Haluk, sejarah Papua mengacu kepada sejarah bagian barat Pulau Papua dan pulau-pulau kecil lainnya. Bagian timur pulau tersebut merupakan Papua Nugini
“Sejarah orang luar datang di atas tanah Papua dengan berbagai kepentingan sudah berlangsung sejak lama. Jadi agar sejarah tetap hidup, adik-adik wartawan harus tulis dan ingat,” katanya dalam materi, Sabtu, (04/11/2023).
SeJubi adalah program in house training yang dirancang direksi Jubi bagi calon reporternya. Selain menghadirkan jurnalis sebagai mentor, sekolah jurnalistik untuk juga mengundang berbagai pihak berkepentingan untuk pengayaan para reporter Jubi. Baik dari unsur pemerintahan, LSM dan lain sebagainya.
Lanjut Haluk dalam menjelaskan peradaban bangsa lain di atas tanah Papua, permukiman manusia telah mulai antara 42.000 dan 48.000 tahun yang lalu. Kemudian menurutnya, perdagangan antara pulau Papua dan pulau-pulau lainnya Indonesia yang berdekatan terdokumentasi berlangsung sejak abad ketujuh, dan kekuasaan nusantara di pulau Papua sampai dengan abad ke-13. Belanda mengklaim daerah tersebut [Papua] mulai pekerjakan misionaris pada abad kesembilan belas.
Sekilas sejarah, koloni pertama Belanda di tanah Papua setelah berusaha mengabaikan Nusantara sebagian timur selama puluhan tahun, Belanda kembali lagi di penghujung abad ke-19. Kompetisi untuk memperluas daerah kekuasaan belanda mengambil tindakan terhadap Papua.
Selanjutnya pada 1895, Belanda teken perjanjian dengan Inggris yang isinya setuju untuk membagi pulau Papua menjadi dua bagian. Bagian barat (Papua Barat) menjadi milik Belanda, sedangkan bagian timur (Papua Nugini) diserahkan kepada Inggris. Sementara itu, bagian timur laut pulau Papua sudah berada di bawah kekuasaan Jerman selama kurang lebih 10 tahun.
“Pada masa itu, tiga negara kuasai betul di pulau Papua, Belanda, Inggris dan Jerman. (Papua) mereka bagi tiga.”
Selanjutnya, Haluk jelaskan, Belanda setuju untuk menyerahkan wilayah tersebut kepada pemerintahan sementara PBB, dengan menandatangani Perjanjian New York, yang mencakup ketentuan bahwa pemungutan suara akan diadakan sebelum tahun 1969. Militer Indonesia mengatur pemungutan suara ini, yang disebut Tindakan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera pada 1969.
Untuk menentukan pandangan masyarakat mengenai masa depan wilayah tersebut; hasilnya adalah mendukung integrasi ke Indonesia .
“Melanggar Perjanjian antara Indonesia dan Belanda, pemungutan suara saat itu merupakan pertunjukan angkat tangan depan militer Indonesia, dan hanya melibatkan 1.025 orang yang dipaksa di bawah todongan senjata untuk memilih integrasi,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, legitimasi pemungutan suara ini diperdebatkan oleh para aktivis kemerdekaan yang memprotes pendudukan militer di Papua oleh Indonesia.
Indonesia dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyerangan terhadap warga sipil simpatisan OPM dan menahan mereka yang mengibarkan bendera Bintang Kejora dengan tuduhan makar.
“Jadi, sekarang di Papua sudah kenal dengan konflik atas politik kemerdekaan tanah Papua. Selain itu perampasan tanah adat, investasi, ekspansi, eksplorasi dan tindakan kekerasaan terhadap masyarakat nampak, jadi wartawan mampu jaga integritasnya.” kata Haluk. (CR-12)