Jayapura, Jubi – Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura pada Kamis (6/7/2023) menggelar sidang kasus gugatan masyarakat adat Suku Awyu dari Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan atas izin kelayakan lingkungan perkebunan kelapa sawit yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu atau DPMPTSP Provinsi Papua. Dalam sidang itu, kuasa hukum Masyarakat Adat Awyu mengajukan 50 alat bukti surat.
Perkara Tata Usaha Negera (TUN) itu terkait dengan izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan DPMPTSP Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Izin itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Penggugat menyatakan izin itu diterbitkan tanpa sepengetahuan masyarakat adat Suku Awyu.
Gugatan TUN atas izin kelayakan lingkungan perkebunan kepala sawait itu terdaftar di PTUN Jayapura dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Perkara ini diperiksa dan diadili majelis hakim yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusuf Klemen SH dan Donny Poja SH.
Pada sidang Kamis itu, Tim Kuasa Hukum Advokasi Selamatkan Hutan Papua selaku kuasa hukum Masyarakat Adat Awyu mengajukan 50 alat bukti surat. Berbagai dokumen itu diperiksa majelis hakim mulai pukul 10.30 – 11.45 WP.
Bukti dokumen yang diajukan termasuk bukti bahwa masyarakat adat Suku Auwy selaku penggugat telah melakukan upaya administrasi, dan gugatan masih dalam tenggang waktu. Penggugat juga mengajukan bukti kedudukan dan kepentingan penggugat, bukti kedudukan tergugat, bukti izin lokasi perkebunan kelapa sawit telah daluwarsa dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan berbagai dokumen lainnya.
Tim Kuasa Hukum Advokasi Selamatkan Hutan Papua juga mengajukan bukti bahwa izin kelayakan lingkungan perkebunan kelapa sawit yang menjadi objek gugatan diterbitkan berdassarkan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang bermasalah secara prosedur dan substansi. AMDAL itu dinilai penggugat bermasalah, karena disusun tanpa melibatkan penggugat.
Penggugat menyatakan penyusunan AMDAL itu mengabaikan penolakan masyarakat adat atas rencana perkebunan kelapa sawit, dan melanggar prinsip Free Prior Informed Consent atau FPIC dalam proses AMDAL. Dokumen AMDAL itu juga dinilai disusun tanpa analisa konservasi tinggi, dan objek gugatan bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim.
Setelah memeriksa bukti dokumen yang diajukan penggugat, Ketua Majelis hakim Merna Cinthia SH MH meminta Tim Kuasa Hukum Advokasi Selamatkan Hutan Papua melengkapi alat bukti mereka dengan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.
Majelis hakim juga meminta agar penggugat melengkapi alat buktinya dengan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.5/KSDAE/SET/KUM.1/9/2017 tentang Petunjuk Teknis Penentuan Areal Bernilai Konservasi Tinggi di Luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru serta Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan. “Kami memberikan kesempatan kepada penggugat untuk melengkapi P31, P32, P35, P36, dan P50,” kata Merna dalam persidangan.
Majelis hakim juga memberikan kesempatan kepada pihak tergugat untuk menyerahkan alat bukti surat mereka. Advokat William Sinaga selaku tim kuasa hukum tergugat meminta waktu untuk menyerahkan alat buktinya.
Sinaga juga meminta majelis hakim agar nanti dokumen alat bukti yang di upload di e-court tidak boleh diunduh publik. Pihaknya beralasan dokumen nanti bisa disalahgunakan.
Permintan ini diprotes advokat Emanuel Gobay selaku Tim Kuasa Hukum Advokasi Selamatkan Hutan Papua. Gobay menyatakan perlu ada pembatasan dokumen seperti apa yang tidak boleh diakses. Majelis hakim kemudian menyarankan masing-masing pihak untuk mengakses dokumen dan memeriksa dokumen di PTUN Jayapura, dan tidak diperkenankan membawa dokumen para pihak keluar pengadilan.
Usai persidangan, Emanuel Gobay menyatakan pihaknya telah menyerahkan peta wilayah masyarakat adat, peta sungai, serta peta keanekaragaman hayati yang akan terdampak apabila perkebunan kelapa sawit PT IAL beroperasi. Ia menyatakan alat bukti yang kurang akan dilengkapi pihak penggugat dan akan diserahkan pada sidang berikutnya. (*)