Jayapura, Jubi – Sidang pembacaan dakwaan perkara korupsi kasus pengadaan pesawat jenis Cessna Grand Caravan dan helikopter Airbush H-125 yang melibatkan pelaksana tugas Bupati Mimika, Johanes Rettob dan Direktur Asian One, Silvi Herawaty Kembali digelar di Pengadilan Negeri Jayapura, Selasa 6/6/2023.
Hal itu dilakukan setelah Jaksa Penuntut Umum Kembali mengajukan perkara itu kembali, meskipun dakwaan sebelumnya telah dibatalkan oleh majelis hakim lewat putusan sela di persidangan 27 April 2023.
Persidangan pembacaan dakwaan yang dipimpin hakim ketua Thobias Benggian, SH Bersama hakim anggota Linn Carol Hamadi, SH dan Andi Asmuruf, SH, MH itu dihadiri langsung oleh terdakwa Johanes Rettob dan Silvi Herawaty.
Dari pembacaan dakwaan oleh JPU itu, penasehat hukum terdakwa, Iwan Niode menyebut setelah adanya putusan sela atas perkara yang membatalkan dakwaan JPU, namun jaksa mengajukan kembali ke pengadilan.
Setelah dakwaan itu dibacakan jaksa, memang ada perubahan dimana jika dulu dakwaanya pertama menyangkut kasus korupsi, dakwaan kedua dan ketiga itu menyangkut kolusi, korupsi dan nepotisme atau KKN.
Namun menurut tim penasehat hukum terdakwa, berdasarkan dakwaan yang diajukan jaksa, setelah mencermati, mengkaji dan mempelajari secara lebih dalam dan ternyata PH berpendapat bahwa ada hal-hal yang sangat prinsip yang sebetulnya dilanggar oleh jaksa dalam proses pembuatan surat dakwaan.
“Menurut kami dakwaan yang sekarang ini bukan kelanjutan dari proses perkara dimana dakwaannya itu sudah dibatalkan oleh majelis hakim lewat putusan sela di persidangan 27 April 2023,” kata Iwan Niode.
Sehingga ia beranggapan jika dakwaan JPU sangat keliru sebab tim PH menganggap dakwaan baru yang diajukan oleh jaksa kemudian merubah dakwaanya dengan dakwaan primer pasal 2 subsider pasal 3 dengan indikator nomor perkara dari jaksa berbeda dengan nomor register dakwaan lama, juga nomor perkara di pengadilan berbeda juga majelis hakim yang memimpin sidang berbeda.
“Seharusnya untuk mencegah disparitas persidangan putusan atas perkara ini, maka kalau kemudian kalau ini kelanjutan dari perkara lama maka hakimnya yang mengadili harus sama, supaya mencegah jangan sampai ada terjadi kesenjangan,” katanya.
Pertimbangan bahwa hal ini adalah dakwaan baru, katanya, pertama register perkara berbeda, dimana register perkara pertama itu nomor 02 sedangkan yang kedua berbeda, dan begitu juga nomor register perkara untuk di pengadilan ketika pelimpahan berkas perkara itu juga berbeda.
“Kalau register berkas perkara yang sekarang untuk Johanes Rettob itu nomor 9, kalau dulu itu nomor 3 dan 4 untuk Silvi dan Johanes Rettob,” katanya.
Pertimbangan kedua ialah majelis hakimnya berbeda, kalau ini kemudian merupakan kelanjutan perkara sebelumnya, seharunya register perkaranya tidak berubah, majelis hakimnya tidak boleh berubah.
“Sehingga kami anggap, dakwaan ini diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan dakwaan baru, bukan dakwaan perkara lama sehingga kami meminta kepada majelis hakim bahwa atas eksepsi kami terhadap dakwaan yang tadi harus ada putusan sela,” katanya.
Pasalnya, menurut putusan Mahkamah Konstitusi jika misalnya ada putusan sela terhadap dakwaan jaksa yang membatalkan dakwaannya dan batal demi hukum, maka ketika penasehat hukum mengajukan kembali eksepsi maka majelis hakim bisa memutus eksepsi itu pada perkara akhir atau putusan akhir.
“Tetapi menurut pendapat kami ini tidak masuk dalam konteks putusan mahkamah konstitusi terhadap perbaikan dakwaan, dan ini bukan perbaikan dakwaan makanya kami tetap berkeras pada majelis hakim dan pada persidangan berikutnya tetap kami akan meminta harus ada putusan sela,” katanya.
“Apalagi dakwaan ini menyangkut dakwaan Ne Bis In Idem terhadap perkara yang sudah diputus kemarin yang kemudian hanya menghilangkan dakwaan kedua ketiga kemudian diajukan kembali,” sambungnya.
Berikutnya ialah soal sprindik, dimana sprindik perkara ini perkara KKN bukan korupsi, karena perkara KKN dan korupsi itu berbeda. Dimana sprindik dan berita acara penyitaannya berdasarkan tindak pidana Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, tidak ada tindak pidana lain yang disebutkan di dalam dakwaan itu.
“Oleh karena itu kami berpikir bahwa eksepsi kami terhadap sprindik itu harus dipertimbangkan oleh majelis hakim. Dan sekali lagi ini adalah dakwaan baru bukan lanjutan dari perkara sebelumnya yang sudah diputus majelis hakim lewat putusan sela,” katanya.
Menanggapi hal itu Kepala Bagian Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Papua, Aguwani, SH menyebut jika penuntut umum bekerja sesuai mekanisme yang ada.
Menurutnya, terkait penyangkaan pasal yang sama dengan dakwaan yang sama, jelas itu sesuatu hal yang berbeda. Karena memasukan pasal sangkaan berbeda dengan dakwaan sebelumnya.
“Kalau dikatakan mengada-ada dan keliru oleh penasehat hukum itu sah-sah saja, bagian dari pendapat penasehat hukum. Prinsipnya penuntut umum hanya membuktikan dakwaan yang dilimpahkan ke pengadilan Jayapura,” ucap Aguwani. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!