Makassar, Jubi – Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Paniai di Pengadilan Makassar berlangsung pada Kamis (13/10/2022). Ini adalah sidang keenam dari rangkaian sidang yang akan panjang ke depan.
Jaksa Penuntut Umum menghadirkan enam orang saksi atas tragedi penembakan yang menewaskan empat warga yang terjadi pada 8 Desember 2014.
Mantan Pangdam Cendrawasih, Mayjen TNI (Purn) Fransen Siahaan yang dihadirkan sebagai salah satu saksi, mengakui adanya pemukulan yang dilakukan oleh prajurit TNI di Pondok Natal, Gunung Merah pada 7 Desember 2014.
Pada sidang itu, hakim membagi tiga sesi pemeriksaaan saksi. Sesi pertama adalah Fransen Siahaan. Sesi kedua, tiga orang saksi yang tergabung dalam Tim Gabungan TNI Polri Pencarian Fakta (TGPF), dan sesi ketiga adalah mendengarkan dua saksi lainnya dari unsur TNI.
Fransen Siahaan, hadir dengan setelan kemeja putih dan celana berwarna gelap. Dia menjabat sebagai Pangdam Cendrawasih selama 11 bulan, antara tahun 2014 hinggga 2015. Jabatan trakhirnya sebelum pensiun sebagai Asisten Operasional Penglima TNI.
Pada Kamis siang, dalam persidangan itu, Siahaan mengaku mendapatkan informasi mengenai kejadiaan penganiayaan yang diduga dilakukan anggota Satgas Pam Rahwan, terhadap delapan warga di wilayah Pondok Natal, Gunung Merah, pada malam 8 Desember 2014.
Hakim anggota Robert Pasaribu, kemudian mencecar pertanyaan ke Siahaan. Bagi Pasaribu, jika sudah mendapatkan informasi awal bagaimana fakta awalnya. “Apa penyebab demo besar-besaran tanggal 8 (8 Desember 2014) itu?,” katanya.
“Jadi kejadian itu bermula, yang terjadi tanggal 7 malam (7 Desember 2014),” jawab Siahaan.
Apakah saudara dilaporkan, karena ada pemukulan yang diduga oleh oknum TNI?,” lanjut Pasaribu.
“Dilaporkan yang mulia,”
“Apakah terhadap mereka (prajurit yang diduga melakukan pemukulan) dilakukan pemeriksaan khusus?
“Dilakukan. Diperiksa. Dan diberikan tindakan disipliner militer,”
“Ketemu siapa pelakunya? Yang mukul warga itu?,”
“Yang lakukan itu yang prajurit Pam Rahwan itu,”
“Diketahui siapa pelakunya?,”
“Saya lupa,”
“Kalau itu dilakukan, hukuman disiplin. Apakah mereka terbukti?,”
“Seingat saya dilakukan.”
Pasaribu mengingatkan Siahaan, jika aksi pemalangan jalan pada 8 Desember 2014, karena warga kecewa dan menginginkan prajurit yang diduga melakukan penganiayaan terhadap delapan warga, agar diberikan hukuman. “Betul Yang Mulia,” kata Siahaan.
Awal mula tim pencari fakta
Siahaan yang awalnya mendapatkan informasi telat – setelah terjadi kerusuhan di lapangan Karel Gobay- memerintahkan semua unit melakukan pengamanan internal, terutama menjaga prajurit dan keselamatan masyarakat. Perintah itu lisan melalui telepon seluler kepada Komandan Korem, yang selanjutnya diteruskan ke Koramil.
Dia kemudian memerintahkan pembentukan tim awal internal. Malam itu juga, Komandan Kodim mendatangi kantor Koramil. Laporan awal menjelaskan, prajurit TNI dalam keadaan baik dan pasukannya tak mengeluarkan tembakan. “Saya juga bingung ini, tidak ada tembakan di koramil, sementara saksi yang sudah diperiksa mereka mengakui melakukan tembakan. Jangan sampai Pangdam dibohongi,” kata hakim anggota Robert Pasaribu. “Berani juga membohongi Pangdam.”
Pasaribu juga mengatakan, jika temuan proyektil hingga saat ini belum diketahui berasal dari senjata mana dan pemiliknya siapa. “Apakah proyektil itu tidak bisa dideteksi?,” lanjut Pasaribu.
“Jadi senjata dari TNI dan Polri juga yang digunakan KKB ada seperti itu. Saya tidak bisa menentukan itu. Intelijen hanya menyebutkan ada proyektil di lapangan bukan di Koramil.”
Siahaan dalam penuturannya mengungkapkan, senjata yang berada di Koramil Paniai Timur, hanya berisi peluru tajam. Meskipun dalam Protapnya, harus ada peluru karet dan hampa. Namun karena keterbatasan anggaran dan Paniai dianggap sebagai daerah rawan, maka dua jenis peluru itu tidak ada.
Siahaan meyakini, laporan tim internal TNI dan Polri menyatakan tidak menemukan ada kesalahan prosedur dari prajurit di lapangan. Laporan awal itu, kata Siahaan yang dipegangnya.
Meski demikian, Siahaan juga mengakui tim internal dua institusi ini, melakukan pengamanan diri masing-masing prajurit. “ Jadi laporan awal itu tidak ada saling menyalahkan,” katanya.
Bagi Siahaan, pasukan TNI dan Polri yang saling menjaga nama baik dan menjaga institusi, sebagai upaya untuk tidak membuat bentrok. “Jadi kalau mungkin mereka saling menyalahkan, yang kita takutkan anak buah di lapangan, akan saling bentrok,” lanjutnya.
“Jadi kita waktu dulu itu, bagaimana mencari solusi. Jadi kita tetap bekerja, bagaimana tetap menyampaikan kejadian. Kami (pangdam) dengan pak Kapolda waktu itu tidak bisa berbuat apa-apa,”
“Akhirnya, kita (Pangdam) laporkan kepada Panglima TNI. Panglima koordinasi dengan Kapolri, (yang) akhirnya menurunkan Tim Pencari Fakta Gabungan. Biar mereka melihat secara jeli, siapa yang salah. Begitu yang mulia.”
Setelah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), melakukan kunjungan ke Paniai, mereka menemukan beberapa fakta. Namun, tetap tak menemukan siapa pelaku penembakan. “Kalau di TNI, siapakah yang memutuskan prajurit bersalah? Apakah bisa dengan rekomendasi tim itu?,” kata Pasaribu.
“Tetap Panglima yang mulia. Tidak bisa tim,” kata Siahaan.
Laporan TGPF yang diperoleh Siahaan, melihat bagaimana tim bekerja dan juga tak menemukan pelaku penembakan yang menewaskan empat orang warga. Baginya, kondisi Papua yang saat itu masih rawan menjadi salah satu alasan.
Alasan itu jugalah yang dijadikan Siahaan untuk tidak berbicara banyak di muka umum. “Waktu itu kita diam. Tapi diam bukan karena tak ingin bicara sebenarnya. Ini supaya kita bisa meredam gejolak. Media juga banyak menyalahkan kami,” katanya.
“Kita saling menjaga nama institusi pada saat itu. Dan tidak juga menyalahkan prajurit siapa yang salah. Siapa yang melakukan penembakan. Yang kita khawatirkan di Papua itu lagi rawan, jangan sampai kita mengamankan, aparat ini berkelahi. Itu yang dibenak kita,” katanya.
“Tapi karena perkara ini ada, justru karena itu kan,” kata Pasaribu.
“Betul yang mulia.”
Pasaribu kemudian kembali mengingatkan Siahaan, jika dalam surat dakwaan, salah satu alasan kenapa persidangan HAM Paniai dilakukan, karena Komandan Militer saat itu, tidak menyerahkan pelakunya ke pejabat berwenang untuk dilakukan penyelidikan dan juga penuntutan.
Hingga sidang keenam ini, sudah ada 24 saksi dihadirkan. Tersangkanya masih satu orang yakni Mayor (Purn) Isak Sattu, Perwira Penghubung Kodim 1705 Paniai kala itu. Sidang pelanggaran HAM berat Paniai digelar dua kali sepekan. Setiap Senin dan Kamis. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!