Makassar, Jubi – Sidang kasus dugaan pelanggaran HAM Paniai pada kali keempat, Kamis (6/12/2022) menghadirkan Kompol (purn) Hanafiah, mantan Wakil Kepala Polres Paniai pada 2014 silam , ketika peristiwa penembakan empat orang warga hingga meninggal dunia dan mengakibatkan puluhan orang lainnya luka-luka.
Sidang keempat digelar dari pukul 10.00 hingga jelang pukul 21.00 WITA di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan itu menghadirkan empat orang saksi, masing-masing dua orang dari unsur kepolisian Kompol (purn) Hanafiah Wakapolres Paniai, AKBP (Purn) Daniel T Prionggo Kapolres Paniai, serta dua masyarakat sipil Pius Gobay, Kepala Distrik Paniai Timur dan Jhon Gobay, Dewan Adat Paniai.
Agenda pertama sidang mendengarkan kesaksian Kompol Hanafiah, yang mengenakan tutup kepala hitam putih dan batik lengan panjang merah. Saat peristiwa penembakan Senin 8 Desember 2014, Hanafiah menjadi pucuk pimpinan perintah anggota kepolisian dalam wilayah Paniai, sebab Kapolres tak berada di tempat.
Perintahnya jelas, kata Hanafiah, pendekatan pada massa adalah persuasif dan dialogis. Saat pemalangan jalan di Gunung Merah 8 Desember 2014, di ruas jalan utama yang menghubungkan Eranotali – Madi, dia berada di tempat itu. Bersama Wakil Bupati Paniai, Yohanis Youw, dia meminta warga untuk membuka akses jalan yang telah ditutup dengan menggunakan tumpukan kayu dan batu.
Namun, ketika perundingan sedang berlangsung tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah bukit. Dia memerintahkan semua personel kepolisian mundur beberapa puluh meter. Tapi kerumunan warga jadi panik. Mereka berlari menuju pusat kampung Eranotali, sejauh 2 km. Hanafiah meminta Yohanis bersama warga membuka palang untuk memudahkan akses mobilisasi aparat keamanan.
Beberapa saat kemudian, melalui radio komunikasi yang digunakan kepolisian, Hanafiah mendengar permintaan bantuan dari Polsek Paniai Timur. “Massa sudah menyerang komandan,” kata Hadiman Sirait, dari saluran radio itu.
“Tembakan peringatan tapi tetap humanis,” jawab Hanafiah.
Selanjutnya, Hanafiah memerintah regu Pengendali Massa (Dalmas) yang dipimpin Brigadir Kepala Riddo Bagaray menuju Polsek yang bersisian dengan Lapangan Karel Gobay. Hanafiah bertahan beberapa saat di lokasi Gunung Merah, kemudian menyusul ke Polsek. begitu tiba tiba, kerumunan mulai berpencar, tapi membentuk kumpulan kecil di beberapa sudut lapangan, serta halaman rumah-rumah warga sekitar. Saat itu, baginya suasana sudah kondusif.
Dia menyaksikan beberapa kerusakan bangunan Polsek Paniai Timur; pecahan kaca, potongan kayu dan batu berserakan. Belakangan informasi yang diterimanya menyatakan ada empat orang meninggal dunia. Tiga karena luka tembak dan satu orang karena tusukan sangkur.
Hakim Ketua Sutisna Sawati, meminta kejelasan pada Hanafiah, mengenai perintah tembak peringatan, salah satunya yang dilakukan Riddo Bagaray pada kesaksiannya di sidang kedua (28/9/2022). “Dia tidak ada laporan ke saya, jika dia lakukan tembakan dan lari ke lapangan,” kata Hanafiah.
Perintah Hanafiah pada tim pengendali massa dari Polres menuju Polsek Paniai Timur berjumlah 20 orang. Mereka semua menggunakan senjata SS1 dan F2. Perintah itu, kata dia, sebab massa semakin beringas. “Masyarakat kami duga sudah disusupi,” katanya.
Senjata anggota kepolisian dalam susunan pelurunya, paling atas adalah peluru hampa, karet kemudian tajam. Dalam situasi diskresi, kata Hanafiah, yang disebutkan sebagai keadaaan yang sudah chaos, anggota kepolisian bisa menggunakan senjata itu dengan peringatan dan terukur. “Semua peluru itu bisa digunakan tapi bukan langsung ke sasaran, tapi ke bawah dan ke atas,” katanya.
Hakim anggota Robert Pasaribu, kemudian meminta penjelasan jika seorang anggota kepolisian melanggar prosedur ,apakah yang bertanggung jawab adalah pemimpinnya. “Bukan ke komandannya pak, tapi ke personal anggota. Karena perintahnya jelas,” kata Hanafiah.
Dua hari setelah perisitwa di lapangan Karel Gobay, tim Polda Papua dan Laboratorium Forensik Polri melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Tim ini juga mengumpulkan senjata dan menemukan beberapa selonsong peluru di lapangan. “Pemeriksaan soal amunisi, saya tidak tahu. Karena sudah ada kapolres di tempat, jadi saya tidak mengikutinya lagi,” katanya.
Di Paniai, Hanafiah bertugas sebagai Wakapolres Paniai tahun 2013 hingga 2015. Setelah peristiwa Paniai berdarah Desember 2014, pada Februari 2015, dimutasi ke Manokwari.
Pada persidangan itu, dia tak menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Jaksa, Penasehat Hukum, dan Hakim dengan rinci. Dia memilih untuk mengatakan, tidak tahu ataupun lupa.
Membawa korban penganiayaan ke rumah sakit
Peristiwa Paniai berdarah adalah rentetan yang bermula pada malam 7 Desember 2014, di Gunung Merah ruas jalan utama yang menghubungkan Eranotali – Madi.
Beberapa orang yang diduga dari anggota TNI menganiaya delapan anak muda yang menegur, karena berkendara tanpa menggunakan lampu. Korban penganiayaan itu diketahui Hanafiah, sebab kepala Distrik Paniai Timur. – setingkat kepala Kecamatan – Pius Gobay, membawa korban menuju kantor polisi dan membuat laporan kepolisian.
Hanafiah kemudian menyarankan, tiga korban penganiayaan dibawa ke rumah sakit karena mengalami luka berat. Setelah itu, para korban diantar ke rumah masing-masing karena harus beristirahat. “Kami tidak lakukan pemeriksaan malam itu, karena kondisi korban,” katanya.
Keesokannya, pemeriksaan pada korban penganiayaan, tidak dilakukan karena jelang dini hari pukul 02.00 terjadi kebakaran di kantor KPU Paniai, dan petugas kepolisian berkonsentrasi . “Saya sudah berada di tempat pemalangan, jadi belum bisa menindaklanjuti kasus penganiayaan,” katanya.
Sidang Pengadilan HAM atas kasus Paniai yang sudah keempat kalinya ini,dijadwalkan digelar dua kali seminggu, setiap Senin dan Kamis. (*)