Jayapura, Jubi – Puluhan mahasiswa dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Nduga se-Indonesia Kota Studi Jayapura, kembali menggelar demonstrasi di lingkaran Abepura, Kota Jayapura, pada Jumat (16/9/2022). Dalam aksi demonstrasi yang ketiga kali ini mereka menuntut oknum TNI yang diduga melakukan pembunuhan dan mutilasi harus diadili Pengadilan Negeri Kota Mimika.
Para mahasiswa itu masih membawa berbagai poster dengan berbagai tulisan untuk menuntut keadilan bagi korban.
Para demonstran juga membawa poster dengan gambar-gambar korban pembunuhan dan mutilasi di Mimika. Demonstrasi memulai aksi sekitar pukul 11 siang di lingkaran Abepura, Kota Jayapura. Demonstrasi itu dijaga pihak kepolisian ketat dengan dua mobil Dalmas dan Water Canon. Sejumlah polisi membawa rotan, senjata gas air mata, dan senjata api berjaga di lokasi demonstrasi.
Wakil Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Nduga se-Indonesia Kota Studi Jayapura, Lepania Dronggi dalam orasinya menyatakan proses pengadilan terhadap 6 prajurit TNI harus dilakukan di Papua. Mereka menolak pelaku diadili di pengadilan militer baik di Makassar maupun di pengadilan militer Jayapura karena dinilai tidak akan transparan.
“Proses hukum harus di Papua (Pengadilan Negeri Kota Mimika) itu yang kami minta,” kata Dronggi dalam orasinya.
Dronggi menyatakan pembunuhan dan mutilasi merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi. Pihaknya juga meminta agar pihak terkait terus melakukan pencarian terhadap bagian tubuh korban yang belum ditemukan.
Orator lainnya, Agus Kossay menyatakan, pembunuhan dan mutilasi itu merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut Kossay negara harus bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap empat warga Nduga di Kabupaten Mimika.
Ketua Umum KNPB Pusat tersebut menilai selama ini masyarakat Papua selalu menjadi korban. Tetapi tidak mendapat jaminan hukum yang adil. Kossay menyoroti kasus pembunuhan Brigadir Joshua di Jakarta yang mendapatkan sorotan serta diusut hingga tuntas.
“Kami berharap Presiden Jokowi membentuk tim (mengusut kasus Mimika) seperti yang dilakukan terhadap kasus pembunuhan terhadap Brigadir Josua,” kata Kossay.
Orator lainnya Benny Murib menyatakan aksi demonstrasi Jumat ini merupakan aksi damai meminta keadilan dan sebagai bentuk duka cita bagi keluarga korban.
“Hari pihak rumah sakit serahkan jenazah korban kepada keluarga. Jadi kita sebagai bagian dari keluarga korban di Jayapura kami turun aksi,” kata Murib.
Para demonstran sempat bersitegang dengan pihak kepolisian. Lantaran mahasiswa meminta untuk berorasi ke kantor DPR Papua guna menanyakan tindak lanjut dari tuntutan mereka.
Akan tetapi pihak kepolisian tidak mengizinkan dan meminta perwakilan hanya sebanyak 15 orang untuk ke DPR Papua. Akhirnya mahasiswa bersepakat mengutus perwakilan untuk mengantarkan aspirasi ke DPR Papua.
Pantuan Jubi dilapangan, hingga pukul 14.18 WP mahasiswa masih bertahan di kantor DPR Papua. Mereka meminta agar DPR Papua hadir untuk menerima aspirasi mereka. Namun, hingga saat ini belum satu pun anggota DPR Papua menemui mahasiswa.
“Saya ada koordinasi dengan pak ketua DPR, pak ketua sementara koordinasi dengan anggota DPR lain untuk menemui kalian. Kita tunggu dulu. Bapak-bapak silahkan orasi,” kata salah satu anggota staf DPR Papua tersebut kepada massa.
Sebelumnya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Prof Dr Melkias Hetharia SH MHum menyatakan para tersangka pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika harus diadili melalui peradilan koneksitas. Jika mengikuti ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, pada prinsip dasarnya keenam prajurit TNI yang menjadi tersangka kasus itu seharusnya diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Kota Timika.
Menurut Prof Dr Melkias Hetharia SH MHum, jika suatu kejahatan dilakukan secara bersama-sama oleh pelaku yang berlatar belakang prajurit TNI dan warga sipil, maka penanganan perkara itu dilakukan melalui peradilan koneksitas.
“Perkara koneksitas yaitu peristiwa [tindak pidana] yang dilakukan oleh pelaku TNI dan sipil [secara bersama-sama], sehingga tidak bisa dipecah,kata Prof Hetharia kepada Jubi, saat ditemui di Kampus Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih (Uncen), Kota Jayapura, Rabu (14/9/2022).
Ia membenarkan bahwa ketentuan mengenai perkara koneksitas diatur Pasal 89 ayat (1) KUHAP. Pasal itu menyatakan “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”
Dengan mengacu ketentuan Pasal 89 ayat (1) KUHAP, Prof Hetharia membenarkan bahwa pada prinsip dasarnya perkara keenam prajurit TNI yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi di Mimika harus diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri Timika Kota.
“Ya, itu betul. Jadi penyelesaian kasus pembunuhan dan mutilasi itu bisa mengenakan prosedur peradilan koneksitas,” kata Prof Hetharia.
Hetharia menyatakan hal terpenting dari penanganan kasus itu adalah proses pro justitia berjalan. Sejumlah enam prajurit Brigade Infanteri Raider/20 Ima Jaya Keramo telah dijadikan tersangka dalam kasus itu, yakni Mayor Hf, Kapten Dk, Praka Pr, Pratu Ras, Pratu Pc, dan Pratu R. Selain itu, ada empat warga sipil yang dijadikan tersangka dalam kasus itu, yaitu APL alias Jeck, DU, R, dan RMH yang hingga kini masih menjadi buronan polisi.
Menurut Hetharia, masyarakat akan mengikuti proses itu, dan perlu ada transparansi kinerja kepolisian maupun Polisi Militer TNI. Ia menyatakan proses Pro Justitia itu akan mengungkap apakah kasus pembunuhan dan mutilasi ini terjadi karena ada perintah dari pimpinan.
“Kita lihat kasus mutilasi itu berkaitan dengan sepak terjang militer. Tapi, kita belum tahu apakah itu inisiatif dari pribadi oknum TNI, atau sudah tugas dari institusi (perintah) untuk melakukan itu. Nanti di dalam proses Pro Justitia itu akan terungkap. Jadi proses itu berjalan,” kata Hetharia.(*)