Jayapura, Jubi – Komunitas Tuli Jayapura atau KTJ menggelar festival pertama di Hena River Coffee, Jalan Raya Airport Sentani Gang Hena II, Kabupaten Jayapura, Sabtu (16/9/2023). Festival diadakan selain untuk memperkenalkan komunitas itu, juga memperkenalkan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) bagi yang berminat belajar bahasa isyarat.
Festival Komunitas Tuli Jayapura berlangsung sehari, mulai pukul 10.00 WP hingga 15.00 WP. Lokasi festival di sebuah kafe bernuansa pekarangan rumah yang asri. Beberapa pohon yang rindang sangat menyejukkan dan pada satu sisinya terdapat kali kecil berair jernih.
Festival dibuka dengan tampilnya Ketua Komunitas Tuli Jayapura Stephani Chrisma Lydia Woen memberikan sambutan. Vany, panggilan akrabnya, didampingi Juru Bahasa Isyarat (JBI) Naomi. Vany mengatakan KTJ memasuki usia lima tahun pada 15 September 2023 dan ini kali pertama dirayakan dengan festival.
“Tujuan kegiatan festival ini untuk memperkenalkan kepada masyarakat bagaimana cara berkomunikasi dengan teman-teman tuli dan menghargai identitas mereka,” katanya.
Vany berharap pemerintah bisa menyediakan fasilitas umum untuk teman-teman tuli. Misalnya di bioskop diputar film yang dilengkapi subtitle, meskipun filmnya produksi orang Indonesia.
“Terus di rumah sakit kalau ada teman-teman tuli sedang berobat ada fasilitas seperti orang yang bisa menolong untuk berkomunikasi menanyakan keperluan atau keluhan dari teman-teman tuli,” ujarnya.
Ada beberapa kegiatan di festival itu, yaitu Pameran Budaya Tuli, Kelas Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia), Kopi Tuli, dan Pangan Lokal. Para pengunjung dipersilakan memesan kopi gratis dan beberapa makanan lokal, serta camilan. Camilan itu tertata rapi di atas meja. Makan siang juga disediakan teman-teman tuli untuk disantap bersama pengunjung.
“Pameran Budaya Tuli nanti dibawakan oleh teman Lenny dan juru bahasa isyaratnya Grace, juga ada kelas Bisindo yang akan dibawakan saya sendiri dengan juru bahasa isyaratnya teman Miftha,” kata Vany.
Lenny, anggota KTJ didampingi teman JBI Grace menjelaskan beberapa perbedaan budaya tuli dan budaya dengar dalam melakukan komunikasi. Ia menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan teman-teman dengar dalam berkomunikasi dengan teman-teman tuli.
Budaya tuli atau hal yang dilakukan teman-teman tuli dalam berinteraksi setiap hari mengandalkan visual motorik atau gerakan.
“Seperti pada saat tidur getaran alarm atau handphone digunakan untuk membangunkan teman-teman tuli, beda halnya dengan teman-teman dengar, handphone dan alarm bisa ditaruh jauh, karena dapat mendengar suaranya,” katanya.
Berikutnya lambaian tangan. Jika bertemu dengan teman-teman tuli, teman-teman dengar tidak bisa memanggil nama, tapi harus menepuk bahu atau melambaikan tangan, karena teman-teman tuli sadar akan visualisasi.
“Teman-teman tuli bisa berkomunikasi sambil makan, karena menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Beda dengan teman-teman dengar yang harus menyelesaikan makannya dulu baru dapat berkomunikasi,” kata Lenny.
Teman-teman tuli, jelasnya, juga punya nama panggilan bahasa isyarat. Jika ada teman-teman tuli yang punya nama panggilan isyarat yang sama dapat diakali nama panggilannya.
“Seperti menggabungkan huruf depan hobi, nanti akan dibuat nama isyaratnya berdasarkan huruf dan hobi tersebut,” ujarnya.
Teman-teman tuli juga harus bertatap muka untuk melakukan komunikasi. Jika menggunakan handphone harus melakukan panggilan video call untuk membantu dalam berkomunikasi. Beda halnya dengan teman-teman dengar yang bisa memainkan handphone sambil mengobrol.
Selain itu teman-teman tuli juga harus berkomunikasi di tempat terang. Beda halnya dengan teman-teman dengar, karena teman-teman tuli menggunakan bahasa isyarat dan harus dilakukan di tempat terang. Saat berinteraksi dengan orang rumah pun, teman-teman tuli dibantu dengan cahaya lampu atau bisa juga menggunakan cahaya lampu di handphone.
“Kalau di rumah ada orang normal bertamu dan teman tuli sedang beraktivitas, maka teman yang normal harus memberi kode dengan menyalakan lampu, supaya teman tuli sadar kalau ada orang,” kata Leny.
Kemudian jika teman tuli sedang mandi atau di kamar dan mengunci pintu kamar, kemudian ada salah satu anggota keluarga yang mengajak mengobrol dapat menggunakan cahaya lampu atau cahaya di handphone untuk memberikan kode.
“Jangan pernah melemparkan sesuatu ke teman-teman tuli pada saat ingin mengajak ngobrol atau ingin menyampaikan sesuatu,” katanya.
Lenny mengatakan jika teman-teman normal ingin belajar bahasa isyarat, teman-teman tuli bersedia untuk mengajarkan dan dibantu teman-teman JBI. “Kita semua sama kok, yang membedakan cara kita berkomunikasi,” katanya.
Komunitas Tuli Jayapura dibentuk oleh Dewi [teman dengar] setelah membaca buku milik Ibu Rachmita dari Jakarta. Kemudian Gilang, anggota KTJ, membentuk pengurus baru KTJ seperti ketua, sekretaris, dan bendahara. Vany terpilih sebagai ketua dari 2018 sampai sekarang.
Anggota KTJ awalnya 17 orang, kemudian tujuh orang keluar karena kesibukan. Tahun ini anggotanya 20 orang. Sedangkan anggota Juru Bicara Isyarat (JBI) waktu awal terbentuknya JKT ada dua orang, Dewi dan Maya Fingkreuw. Mereka biasa membantu menerjemahkan pada saat acara atau ada kegiatan. Saat ini JBI berjumlah 11 orang.
Untuk tempat belajar bahasa isyarat atau Kelas Bisindo, teman-teman tuli biasanya menumpang di SLB Negeri 1 Jayapura di Kotaraja, Kota Jayapura.(*)