Jayapura, Jubi – Kondisi mental anak dan remaja di Papua harus benar-benar diperhatikan. Orang tua harus lebih peka dalam mengasuh anaknya. Cara pengasuhan kanak-kanak 5-11 tahun dan remaja 12-18 tahun itu berbeda.
Demikian disampaikan dr Manoe Bernd Paul SpKJ(K)AR MKes, dokter spesialis kedokteran jiwa dan subspesialis konsultan anak dan remaja di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Abepura, Papua dan Rumah Sakit Provita Jayapura, Papua ketika diwawancarai Jubi pada Kamis (7/9/2023).
Dr Manoe mengingatkan orang tua masih boleh mengarahkan anaknya ketika masih berusia kanak-kanak. Namun pada usia remaja orang tua harus sering mengajak anaknya berdiskusi.
“Kalau orang tua masih sering mengatur dan mengekang anaknya yang berusia remaja, anak tersebut akan semakin menjauh dari kedua orang tuanya,” ujar dokter yang juga berpraktik di Apotek Sinar Bahari, Jalan Ahmad Yani No. 44 Kota Jayapura, Papua itu.
Orang tua, kata dokter Manoe, memiliki andil besar dalam mendidik anak mereka. Jika mulai dari masa kanak-kanak hingga memasuki masa remaja terjadi pola asuh yang salah, maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Bahkan berbagai hal negatif lainnya akan terjadi kepada anak.
“Peranan orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak mereka sangat penting dalam menentukan masa depan anak tersebut. Pembentukan karakter sejak dini dapat menolong seorang anak untuk memiliki masa depan yang baik,” katanya.
Di Papua, kata dr Manoe, banyak ditemukan anak dengan masalah penyalahgunaan zat, seperti alkohol atau ganja. Kemudian ketergantungan kepada gadget, gangguan perilaku, dan bahkan menjadi pelaku kriminalitas.
Faktor penyebab dari semua ini, menurutnya bisa dipicu dari genetik, kesalahan ibu semasa kehamilan, kekerasan fisik terhadap anak seperti memukul anak, menghina, dan membandingkan anak dengan orang lain.
“Pada saat anak mengalami kekerasan dan penolakan dari lingkungan keluarganya, maka pada saat remaja, anak tersebut akan memilih untuk melakukan hal-hal yang merugikan dirinya, seperti mengkonsumsi alkohol, menggunakan ganja, dan menjadi pelaku kekerasan,” ujarnya.
Ketika anak perlu penanganan dan orang tua ingin membawanya berkonsultasi dengan dokter psikiatri atau psikolog, kata dr Manoe, mengghadapi kanak-kanak dengan remaja juga berbeda. Untuk kanak-kanak orang tua gampang menghadapinya. Tapi untuk anak remaja orang tua harus mengajaknya berdiskusi.
Sebab pada usia remaja anak akan mengalami perubahan pola pikir dan pemahaman tentang diri sendiri. Ia juga sedang pembentukan identitas diri, emosi mudah berubah, dan persiapan masa depan yang ditandai dengan mulai merasakan pentingnya sebuah pencapaian dan penempatan perannya di lingkungan sosial.
“Contohnya seorang ayah boleh memulai dengan pembicaraan ringan seperti, akhir-akhir ini Ayah lihat kamu kurang berkonsentrasi, bagaimana kalau kita ke dokter, psikolog,” katanya.
Jika anak menolak, lanjut dr Manoe, dan ia berkata saya tidak gila atau mental saya tidak terganggu, maka orang tua bisa menjelaskan kalau ke dokter atau psikolog itu sama saja kita berobat ke dokter yang lainnya, seperti dokter spesialis penyakit dalam dan dokter umum.
“Sekarang kita lihat nih, anak usia 12 hingga 18 tahun bagaimana keadaan kesehatan mental mereka, apakah mereka baik-baik saja atau tidak sedang baik-baik saja? Bisa dibayangkan 5 hingga10 tahun ke depan anak-anak SMP dan SMA, mereka ini yang akan memegang masa depan Tanah Papua nanti, jika mental mereka terganggu bagaimana nasib Tanah Papua nanti?” katanya.
Bermacam gangguan pada anak dan remaja
Dr Manoe menjelaskan ada beberapa macam gangguan mental yang dialami anak dan remaja, di antaranya gangguan spektrum autisme, ADHD, gangguan kecemasan, gangguan belajar disleksia, CAPD, lumpuh otak, conduct disorder, keterbelakangan intelektual, dan TORCH.
Gangguan Spektrum Autisme yang mempengaruhi sistem syaraf adalah gangguan perkembangan serius yang mengganggu kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi. Sedangkan Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD sering dimulai pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan sampai dewasa. ADHD dapat menyebabkan rendah diri, hubungan bermasalah, dan kesulitan di sekolah atau dalam pekerjaan.
Gangguan kecemasan merupakan gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perasaan khawatir, cemas, atau takut yang cukup kuat untuk mengganggu aktivitas sehari-hari. Contoh gangguan kecemasan adalah serangan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan stres pascatrauma.
Kemudian gangguan belajar disleksia adalah gangguan proses belajar yang berpengaruh pada kemampuan membaca, menulis, dan berbicara. Ini merupakan gangguan syaraf pada bagian otak yang memproses bahasa yang membuat penderita disleksia kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata. Disleksia dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa.
Central Auditory Processing Disorder atau CAPD adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan untuk memahami pembicaraan. Saat ini, tidak ada penyebab yang pasti diketahui dari gangguan proses pendengaran. Mungkin berhubungan dengan infeksi telinga, kelahiran prematur, atau trauma kepala.
Cerebral palsy atau lumpuh otak adalah gangguan perkembangan otak yang seringkali terjadi saat anak masih dalam kandungan. Namun gangguan perkembangan otak ini juga bisa terjadi ketika proses persalinan atau bahkan hingga satu tahun sejak lahir.
Conduct disorder adalah gangguan emosi pada anak yang menimbulkan pola perilaku mengganggu, agresif, kasar, dan sulit mengikuti aturan. Kondisi ini bisa dialami sebelum anak berusia 10 tahun, namun lebih sering terjadi pada remaja berusia 10 hingga 19 tahun.
Kemudian, jelas dr Manoe, keterbelakangan intelektual, yaitu keterbelakangan mental pada anak yang perlu dipahami dengan seksama. Sebab keterbelakangan ini merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual dan adaptasi sosial anak yang berada di bawah standar perkembangan usia mereka.
“Penyebab keterbelakangan intelektual yaitu konsumsi alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat, dan merokok. Ini bisa juga disebabkan oleh penyakit selama kehamilan, seperti TORCH, hipertensi, dan paparan radiasi,” ujarnya.
TORCH adalah singkatan untuk kumpulan beberapa penyakit infeksi yang terkait dengan meningkatnya resiko terjadinya abortus atau kelainan atau cacat bawaan pada janin akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan. Kepanjangan TORCH adalah Toxoplasmosis, Rubella (campak Jerman), Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes simpleks.
Dr. Manoa Bernd adalah lulusan Spesialis Kedokteran Jiwa, Fakultas Kesehatan, Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Sub Spesialis Psikiatri Anak dan Remaja Fakultas Kesehatan, Universitas Indonesia (UI).(*)