Jayapura, Jubi – Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP yang melakukan pemantauan independen pada Pemilu 2024 menyimpulkan bahwa pemahaman politik peserta pemilu, penyelenggara pemilu maupun masyarakat, sangat minim dalam melaksanakan Pemilu 2024 di Provinsi Papua dan Papua Pegunungan. Tak heran kalau demokrasi yang jujur, aman, dan damai tidak terwujud dalam proses pemungutan suara, karena sosialisasi pemilu saja tidak dilakukan kepada masyarakat.
Hal itu ditegaskan oleh Koordinator Tim Pemantau Independen Pemilu dari ALDP, Antoni Ibra kepada Jubi di Kota Jayapura, Papua pada Senin (11/3/2024).
Antoni Ibra menjelaskan kesimpulan tersebut berlandaskan pada hasil pemantauan yang dilakukan tim pemantau sejak 11 Februari 2024 dimulai pada tahap distribusi logistik pemilu, kemudian pemungutan suara, perhitungan perolehan suara di TPS hingga tahap pleno distrik.
Ketidakpahaman tersebut bahkan bisa dibilang fatal. Dia mencontohkan, ada calon legislatif atau caleg di Kabupaten Nduga yang tidak mengetahui dirinya caleg dari partai politik apa. Hal itu menunjukkan pendidikan politik kepada caleg tidak ada.
“Parpol-parpol ini juga mencalonkan calon-calon legislatif tidak ada [memberikan] pendidikan politik sama sekali sehingga kita lihat hari ini masyarakat baku bunuh hanya untuk memenangkan salah satu caleg. Mereka [caleg] tidak peduli masyarakat baku bunuh, bertengkar dan bermusuhan, yang mereka [caleg] peduli adalah bagaimana bisa maju jadi DPRD, itu saja,” kata Koordinator Tim Pemantau Pemilu ALDP itu.
“Ada satu Mama [maju] caleg DPRD Kabupaten Nduga mengaku suaranya dibawa lari dan tidak tahu dibawa kemana. Ketika ditanya dari partai mana, Mama itu mengaku tidak tahu dari partai mana, yang hanya mama itu tahu adalah dirinya caleg saja,” kata Ibra menirukan percakapan dengan salah satu caleg perempuan dari Nduga.
Hal serupa walau tak sama juga terjadi pada penyelenggara pemilu tingkat bawah yang tidak mengerti, misalnya, menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap, lanjut Ibra. Sebagai contoh di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua Pegunungan masih ditemukan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tidak mampu mengisi Sirekap.
“Jangankan di Papua Pegunungan, di Kota Jayapura saja ditemukan di Kelurahan Wahno [Distrik Abepura] itu KPPSnya tidak bisa mengisi Sirekap sehingga masyarakat yang membantu KPPS mengisi Sirekap itu,” ujarnya.
Menurut Ibra contoh-contoh itu adalah sebagian fakta bahwa sosialisasi pemilu untuk membangun pemahaman masyarakat, peserta pemilu, dan juga penyelenggara pemilu, yang mestinya dilakukan satu tahun sebelum pemilu, tidak berjalan. Menurut dia seharusnya minimal tiga kali sosialisasi dengan melibatkan Kesbangpol, KPU, dan Bawaslu.
“Masyarakat juga perlu mendapatkan pemahaman politik. Untuk mendapatkan proses pemilu yang bersih dan demokratis harus sosialisasi melibatkan masyarakat. Jangan heran kalau hari ini pemilu banyak konflik, terjadi perang, palang memalang, dan banyak kecurangan. Itu sudah [akibat] kurangnya sosialisasi,” ujarnya.
Ini semua menjadi catatan penting bagi penyelenggara pemilu untuk memperbaiki dan memperbanyak sosialisasi dan membangun pemahaman politik kepada masyarakat, kata Ibra. Hal yang sama juga berlaku bagi peserta pemilu. Sebab, lanjut Ibra, pemilu yang demokratis hanya bisa terwujud jika masyarakat telah mendapatkan pendidikan politik yang memadai sehingga akan punya kapasitas dan kedewasaan dalam berpolitik.(*)
Discussion about this post