Jayapura, Jubi – Masyarakat Papua Barat di Port Moresby yang menghadiri Hari Keluarga Papua Barat, yang diselenggarakan atas dukungan Gubernur Distrik Ibu Kota Negara Powes Parkop, diperingatkan oleh polisi untuk tidak mengibarkan Bintang Kejora.
Padahal selama ini Bintang Kejora menjadi simbol keinginan Papua Barat untuk bertekad Berdiri Sendiri. Jurnalis Fidelis Sukina dari insidepng.com melaporkan pada 7 Februari 2024, bahwa Frank Makanuey, Tokoh Komunitas Komunitas Papua Barat di Port Moresby hadir pada perayaan Hari Keluarga Papua Barat, 1 Desember 2023 di Port Moresby.
Frank Makauey merasa sangat tidak senang, ketika polisi mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tidak diperbolehkan mengibarkan bendera bintang Kejora Papua Barat.
“Bagi warga Papua Barat di Indonesia yang mengibarkan Bendera Papua Barat, mereka ditangkap karena makar, bendera tersebut pertama kali dikibarkan pada tanggal 1 Desember 1961,” demikian dikutip Jubi dari insidepng.com, Senin (12/2/2024).
Dilaporkan bahwa masyarakat Papua Barat menggunakan bendera tersebut untuk mewakili kebangsaan mereka kepada dunia, menerjemahkan keinginan mereka akan kebebasan dan harga diri.
Family Day diadakan di Drill Hall Universitas Papua Nugini, pada Sabtu ( 2/12/2023) lalu dan Gubernur NCD Powes Parkop menjadi Pembicara Tamu pada acara tersebut. Hari itu sangat berfungsi sebagai tempat berkumpulnya Komunitas Papua Barat, di Port Moresby untuk mempromosikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan warisan mereka.
BK dilarang sejak kunjungan Presiden RI ke Port Moresby
Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora juga pernah saat kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Port Moresby pada Senin (10/7/2023) ke Port Moresby, ibukota Papua Nugini. Waktu itu jurnalis benarnews.org di Port Moresby Harlyne Joku melaporkan pada 3 Juli 2023 sebelum Presiden Jokowi tiba di Port Moresby, petugas dari Organisasi Intelijen Nasional (NIO) Papua Nugini mencopot bendera Bintang Kejora dan spanduk pro-kemerdekaan di kamp pengungsi Rainbow di ibu kota Port Moresby pada Sabtu (1/7/2023). Para pendukung penentuan nasib sendiri Papua sedang memperingati deklarasi kemerdekaan 1 Juli 2023( 1 Juli 1971-1 Juli 2023).
“Pemerintah Papua Nugini mengambil tindakan tegas terhadap pengibaran bendera kemerdekaan Papua menjelang kunjungan Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke negara kepulauan Pasifik itu pekan ini,” demikian tulis Harlyne Joku koresponden Benar News dari Port Moresby kala itu.
“Kami tidak akan membiarkan pengibaran bendera Papua Barat,” kata salah satu petugas tersebut, yang mengaku kepada BenarNews sebagai anggota Organisasi Intelijen Nasional. “Tetapi kalian dapat melanjutkan acara kalian,” kata petugas tersebut, yang enggan memberikan namanya, kepada warga di kamp tersebut.
Pemerintah Indonesia sedang mencoba melebarkan pengaruhnya ke wilayah Pasifik Selatan, dan diperkirakan akan menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2045. Secara militer, ekonomi, dan jumlah penduduk, Indonesia jauh lebih besar daripada Papua Nugini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah memberikan bantuan dan bimbingan teknis kepada negara-negara Melanesia di Pasifik termasuk Papua Nugini, Vanuatu, Fiji, dan Kepulauan Solomon dalam upaya meredam kritik terhadap kurangnya kesejahteraan dan kehadiran militer besar-besaran di Papua. Wilayah Papua disebut sebagai Papua Barat di negara-negara kepulauan Pasifik dan oleh para pendukung kemerdekaan.
Petugas agen intelijen tiba di kamp pengungsi di Port Moresby dengan dua kendaraan putih tanpa tanda pengenal dengan jendela berlapis.
Kegiatan mereka menyebabkan keributan dan beberapa perempuan dan laki-laki menangis sambil menyanyikan lagu kebangsaan Papua sebagai bentuk protes.
“Meskipun mereka membuang bendera kami, mereka tidak dapat membuang kami. Kami adalah bendera itu,” kata Samuel Inggamer, seorang pemimpin warga. “Saya mendesak Presiden Jokowi untuk memberi kami kemerdekaan. Jika beliau melakukannya, itu akan menjadi peristiwa bersejarah.”
Vincent Manukayasi, direktur kelompok masyarakat sipil PNG Trust, mengatakan bahwa tindakan agen intelijen tersebut menimbulkan pertanyaan terhadap kemandirian sebuah institusi negara.
“Sebagai negara berdaulat, NIO tidak boleh terlihat diperintah oleh pemerintah asing lainnya,” katanya.
Ribuan Warga Papua Barat di Port Moresby
“Hampir sebagian besar warga Papua Barat tinggal di Kamp Hohola one West Papua hanyalah salah satu dari tiga kamp besar, termasuk satu di Rainbow, Waigani, dan kamp-kamp lainnya yang tersebar di Port Moresby yang menakjubkan dengan fitur modernnya untuk dipamerkan kepada dunia,”demikian dikutip Jubi dari caritas.org.pg, Senin (12/2/2024).
“Sebagian besar anak perempuan dan laki-laki ini tidak bersekolah dan janji akan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang lebih baik untuk membebaskan kita dari kondisi saat ini sangatlah suram. Kami mengandalkan pasar pinggir jalan yang bisa Anda lihat di luar,” kata Sonny Karubaba yang sudah tinggal di Port Moresby selama 40 tahun sejak pengungsian besar-besaran pada April 1984 dari Jayapura.
“Hampir 99 persen dari kita tidak bekerja, kita harus mencukupi kebutuhan hidup kita,” lanjut Sonny seraya menambahkan seolah-olah masa depan belum cukup suram bagi anak-anak ini, sebidang tanah yang setidaknya memberikan sedikit harapan akan seperti apa rumah mereka nantinya sedang dalam sengketa sejak 2016.
Dia hanya berharap mereka sangat merindukan sebidang tanah untuk bisa membangun rumah dan keluarga di pinggiran Kota Port Moresby. Yang kedua adalah permohonan pengakuan dan identitas sebagai orang-orang yang bermartabat dan bebas dalam penghidupan.
“Kami bahkan tidak bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (NID) dengan status pengungsi kami. Untuk membuka rekening bank memerlukan NID, untuk bepergian ke luar negeri memerlukan paspor. Kebanyakan dari kami tidak memiliki identitas apa pun, dan kami masih dibatasi dalam mengakses layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan yang memerlukan identitas formal,” kata pengungsi Sonny Karubaba.
“Sungguh tak terbayangkan, perlakuan paling kejam terhadap manusia yang bisa saya bayangkan,” tambahnya.
Dia hanya bilang mama-mama dan anak-anak pengungsi dari Papua Barat keluar dari tempat penampungan darurat sambil tersenyum.
“Sebuah harapan untuk hari esok yang lebih baik, meski tampaknya tidak ada yang menjanjikan kehidupan terbaik di ibu kota Papua New Guinea Port Moresby,” kata Sonny Karubaba yang cukup beruntung bisa bekerja di Port Moresby sekarang. (*)