Jayapura, Jubi – Pemerintah dan Administrasi Provinsi Sepik Barat atau Sandaun Province Papua Nugini berencana bekerja dengan Komisi Pendapatan Internal (IRC), mengumpulkan pajak barang dan jasa (GST) yang benar di perbatasan dengan Indonesia. Perdagangan di perbatasan Wutung antara Kota Jayapura dan Vanimo selalu ramai dikunjungi para pedagang untuk menjual bahan makanan terutama mie dan beras.
Hal ini dikatakan Administrator provinsi Sepik Barat Conrad Tilau sebagaimana dilansir The National
Dia mengatakan, operasi perbatasan normal dilanjutkan di pos perbatasan Wutung (Batas) ketika dibuka kembali untuk bisnis pada Oktober setelah kasus pandemi virus Corona menurun.
“Ketika gerbang perbatasan dibuka kembali, operasi perbatasan normal dilanjutkan termasuk pemungutan bea masuk bea masuk dan sebagainya,” kata Tilau.
“Pemprov ingin bermitra dengan IRC agar kami bisa memungut GST (barang dan jasa) 10 persen di Batas. Untuk menjaga kebersihan tempat, kami akan memungut biaya kepada pembeli.
Selain itu, perbatasan terbuka untuk bisnis normal.”tambahnya Namun kata dia, hal itu dilakukan secara perlahan.
Konsul jenderal Indonesia di Vanimo, Allen Simarmata, mengatakan pembukaan Batas memicu peningkatan kegiatan ekonomi.
Simarmata mengatakan orang-orang di kedua sisi perbatasan bergantung pada perdagangan di Batas.
“Sejak dibukanya kembali pos perbatasan Wutung pada 24 Oktober, perdagangan antara Indonesia dan PNG, terutama oleh masyarakat sekitar yang tinggal di wilayah perbatasan Skouw-Wutung, dengan cepat kembali normal,” katanya
“Orang-orang dari kedua negara di Batas dan daerah perbatasan bergantung pada pembukaan pos perbatasan Skouw dan Wutung, tidak hanya untuk melakukan perdagangan atau jual beli barang tetapi juga mata pencaharian petani subsisten untuk bekerja di tanah yang terletak di kedua sisi.”
Sekadar catatan jubi.id perdagangan di perbatasan RI-PNG ini, diharapkan akan menghidupkan aktivitas perekonomian masyarakat khususnya perdagangan perbatasan kedua negara. Perdagangan perbatasan melalui PLBN Skow pada tahun 2019 (sebelum pandemi Covid-19) senilai sekitar Rp55,9 miliar. (*)