Oleh: Markus Haluk*
114 tahun Kota Jayapura: Dimanakah engkau berada?
Sekiranya syair lagu musisi Black Brothers pada judul tulisan ini layak dilantunkan bersama ketika memperingati hari ulang tahun atau HUT ke-114 Kota Jayapura pada 7 Maret 2024. Sembari melantunkan syair lagu tadi, pertanyaan sederhananya adalah pada saat Anda memperingati 114 tahun, apa yang Anda pikirkan tentang nasib pemilik tanah Port Numbay? Dimanakah kini orang Port Numbay berada? Dimana posisi orang Papua lainnya di tanah ini? Bagaimana nasib suku-suku asli di berbagai belahan dunia lain setelah orang Eropa tiba di wilayah mereka?
Bertepatan HUT ke-114, saya coba membagikan tulisan ini sebagai bahan refleksi bersama, dengan mengacu pada fakta sejarah masa lalu, dan melihat masa depan orang asli Port Numbay di tanah leluhur mereka.
Pada 1903, Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya membuka pos pemerintahan di dekat kali Imbi, Kota Jayapura. Sejak dibukanya pos pemerintahan terjadinya migrasi warga Eropa dan Asia (Indonesia) masuk di Kota Jayapura. Migrasi semakin meningkat ketika pos penginjilan dan Zending dibuka di kota ini. Migrasi dalam rangka penginjilan warga dari beberapa wilayah basis Kristen dari Indonesia seperti Toraja, Manado, Sangir, Batak, Jawa Tengah, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, membantu para pendeta dan pastor di kota ini.
Sekalipun kesepakatan pembagian wilayah pelayanan di Papua antara Misi Katolik di wilayah gunung-selatan dan Zending GKI wilayah gunung-utara telah dicabut pada 1927, tetapi memasuki pada 1929 Gereja Katolik dilarang membangun pos di Kota Jayapura. Para misionaris Katolik diarahkan untuk membuka pos penginjilan di wilayah pedalaman, Arso dan Waris (Keerom). Memasuki 1930, Gereja Katolik mulai membuka pos penginjilan (Gereja) di Kota Jayapura.
Pada 1950 Pemerintah Belanda membuka masjid pertama di Kota Jayapura tepatnya di ujung Jalan Percetakan. Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda bagi warga migran dari Indonesia (Jawa dan Sulawesi).
Pada 1930 warga trans dari Jawa tiba di Jayapura dan ditempatkan di Sabron, yang kemudian dikenal dengan lokasi Kertosari.
Pada 1962, warga migran Indonesia dan Belanda di Kota Jayapura sekitar 2.200 orang. Pemerintah Belanda mulai 1949-1961 mulai menggalang pembangunan, dalam rangka mempersiapkan Papua merdeka.
Dalam kurun waktu tersebut pemerintah Belanda menggalang bidang pembangunan, pelatihan kerja bagi orang Papua. Pada 1961-1971 pemerintah Belanda berencana menyiapkan orang Papua dalam bidang politik dan pemerintahan. Pada 1971, pemerintah Belanda berencana menyerahkan sepenuhnya kedaulatan kepada orang Papua untuk merdeka dan berdaulat. Namun, rencana pemerintah Belanda digagalkan oleh pemerintah Indonesia dengan bantuan pemerintah Amerika Serikat melalui PBB.
Migrasi penduduk di Kota Jayapura dan Papua semakin meningkat pasca Mei 1963. Kota Jayapura sebagai ibu kota Provinsi menjadi tujuan migrasi penduduk dari Indonesia maupun migrasi lokal dari Papua.
Sampai dengan memasuki awal tahun 2024, akibat migrasi penduduk Kota Jayapura orang asli Port Numbay menjadi minoritas. Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Jayapura, saat ini jumlah penduduk orang asli Port Numbay hanya 2,84 persen, dari total penduduk di Kota Jayapura atau hanya ada 11.949 jiwa yang tersebar di 5 distrik. Diakui bahwa telah terjadi migrasi dan pembangunan selama 60 tahun ini, tetapi tidak membawa dampak perubahan positif bagi penduduk asli Port Numbay. Namun, sebaliknya membawa dampak positif kepada warga migran non-Papua dan non orang asli Port Numbay di tanah Port Numbay.
Kepemilikan tanah, 80% tanah lahan produktif yang ada di Port Numbay telah beralih tangan dan fungsi. Lebih dari 80 persen tanah di Kota Jayapura diduduki dan ‘dimiliki’ oleh penduduk migran non Port Numbay. Belakangan ini beberapa orang asli Port Numbay tinggal di rumah kontrakan/kos yang dibangun oleh orang non Port Numbay. Mereka juga semakin terisolasi dan tersingkir di pinggiran kota. Beberapa dari mereka terkepung di tengah bangunan ruko-ruko, pasar, dan bangunan lainnya. Semakin sulit ditemukan pemukiman asli orang Port Numbay.
Hak kepemilikan tanah sudah beralih tangan dan fungsi. Bertolak dari dari situasi demikian, pertanyaan refleksi saya ialah bagaimana nasib orang Port Numbay pada tahun 2124 atau pada 100 tahun yang akan datang? Migrasi dan pembangunan berdampak positif bagi orang Port Numbay?
Musnahnya suku-suku asli dunia oleh suku-suku Eropa
Pengalaman serupa sebagaimana yang dialami oleh orang Papua, khususnya orang asli Port Numbay, selama 114 tahun ini juga dialami suku bangsa lainnya di berbagai benua. Kami gambarkan musnahnya suku-suku asli di wilayah Benua Amerika (Amerika Latin dan Amerika Utara), Australia, dan Asia.
Musnahnya suku-suku asli ini terjadi setelah 50-100 tahun kontak dengan orang asing dari Eropa.
Amerika Latin
Pulau Hispaniola
Ketika Columbus menemukan pulau Hispaniola pada tahun 1492, ada kurang lebih 300 ribu penduduk asli di sana. Empat tahun kemudian, karena perampokan migran dari Eropa, orang asli di Hispaniola, hanya 200 ribu yang tersisa.
Lima puluh tahun kemudian, hanya lima ribu jiwa yang masih hidup. Sekarang hampir tidak ada yang dapat dihitung.
Brazil
Menurut perkiraan ahli sejarah, penduduk asli di Brasil berjumlah 4.000.000 jiwa sebelum bangsa Portugis masuk ke daerah itu pada abad keenam belas.
Pada tahun 1900 hanya 500.000 jiwa yang sisa dalam 230 suku. Di antara tahun 1900 dan 1957 mereka diselidiki lagi hingga tinggal hanya 80.000 jiwa yang tersisa dalam 143 suku; ini berarti bahwa di antara tahun 1900 dan 1957 ada 87 suku asli yang musnah di Brasil; dan ini berarti pula bahwa 1,5 suku asli musnah dalam setahun di satu negara.
Pada tahun 1971 jumlah penduduk asli telah menurun lagi menjadi 50.000 jiwa. Biasanya suku suku hilang/musnah dalam 50 tahun setelah kontak yang pertama dengan mereka.
Amerika Utara
Sejak para pionir dari Eropa mulai masuk pada abad ke-XVII, kira-kira 20 suku asli “have been pushed over the brink into extinction,” atau berada diambang kepunahan misalnya suku Iluron, suku Yahi, suku Yana dan lain lain.
Ada juga suku-suku lain yang hampir mati habis/musnah tetapi kira kira tahun 1900, Pemerintah Kanada dan USA lebih memperhatikan kebutuhan suku-suku tersebut sehingga mulai terselamatkan.
Menurut US Census Bureau (Biro Sensus AS) pada 2022 total populasi suku asli Amerika saat ini ada sekitar 6,79 juta orang dari 331,9 juta penduduk Amerika Serikat. Angka tersebut menyumbang sekitar 2,09 persen dari total jumlah penduduk Amerika.
Australia
Pulau Tasmania
Pada tahun 1803 pendatang dari Eropa telah mulai mengambil tanah suku asli yakni suku Aborigine di pulau Tasmania. Suku tersebut membalasnya dengan membunuh beberapa ekor sapi dari pendatang dari Eropa tersebut, sebagai ‘swan’ atas tanah yang diambil.
Tetapi di dalam penilaian orang migran Eropa, orang yang tidak berpakaian dan yang tidak berbahasa nasional, apalagi yang selalu berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tidak boleh disebut pemilik tanah (Walaupun nenek moyang mereka telah mendiami pulau itu ribuan tahun).
Akhirnya pendatang Eropa itu bangun dan membunuh segala yang berwarna hitam dan yang berjalan di atas dua kaki. Sebagai akibatnya kaum Aborigin (kurang lebih 5.000 jiwa) hilang dari Pulau Tasmania dalam 73 tahun. Saat ini satu pun sulit dijumpai.
Daratan Benua Australia
Suku Aborigin yang mendiami daratan Australia dulu berjumlah kira kira 300.000 jiwa. Sekarang hanya 115.000 jiwa yang tersisa. Dari 115.000 jiwa itu, akibat eksploitasi seksual, hanya 35.000 jiwa orang Aborigine yang dapat disebut sebagai ‘full-bloode’. Jumlah ini masih sedang ‘disedikiti” atau menuju pemusnahan. Bersambung. (*)
*Penulis adalah Sekretaris Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP
Discussion about this post