Oleh: Marselino W. Pigai
Saya memulai perjalanan dari Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai pada 30 Januari 2024. Lebih dari dua minggu, saya habiskan waktu untuk mengamati suasana politik praktis Pemilu 2024, mulai dari pertengahan kampanye hingga puncak pemilihan.
Tulisan ini pun fokus pada pemilihan di Provinsi Papua Tengah, khususnya Paniai. Dalam tulisan ini saya tidak berposisi sebagai kader partai atau politisi. Tapi dalam urusan politik praktis, saya meyakini tidak jauh dari watak dan budaya politik yang sama dan terus dimainkan serupa pada dewasa kini.
Ada asumsi yang mendasari bahwa politik praktis sudah menjadi salah satu akar dari perpecahan dan perusakan hubungan-hubungan sosial dan kekerabatan antarakeluarga, marga, suku dan bangsa di Tanah Papua.
Ada temuan-temuan berdasarkan pengamatan di lapangan, dan menerima laporan dokumentasi melalui media sosial. Saya termangu-mangu menyaksikan adegan politik praktis melalui pemilu yang mencederai hak asasi manusia (HAM). Itu semua menjadi kausalitas konflik, yang berujung pada perpecahan hubungan sosial. Dan justru menjadi lahan subur terbangunnya kelompok-kelompok sosial baru, berdasarkan prasangka dan emosi.
Maka sebenarnya tulisan ini merupakan suatu pergumulan dan tanggung jawab moril saya bagi manusia Papua, yang selalu saya harapkan hidup dalam kesadaran sebagai kesatuan keluarga, suku, marga dan kebangsaan. Manusia Papua harus dibebaskan dari politik praktis yang menghancurkan kontestasi hubungan sosial dan HAM.
Politik praktis ini merupakan ruang yang disediakan kepada rakyat, untuk menentukan nasibnya ke depan, melalui pemimpin yang dipilih.
Ada sekitar 432 bakal calon legislatif (caleg) di tingkat kabupaten, 70 di tingkat provinsi dan 52 di pusat, yang terdaftar dalam 18 partai politik. Dan ada tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Caleg level provinsi dan kabupaten lebih dominan dalam penggunaan kekuatan dari pada caleg DPR RI. Kekuatan ini berbarengan dengan kepentingan memenangkan partai, sebagai strategi perebutan kekuasaan di Kabupaten Paniai. Sehingga kepentingan perebutan kekuasaan legislatif diboncengi dengan kepentingan merebut kekuasaan eksekutif.
Sementara kepentingan merebut gubernur Provinsi Papua Tengah sejauh pengamatan saya, belum ada peran dominan yang mencolok. Kepentingan itu tidak hanya terbatas pada persaingan antara caleg, tapi melibatkan intelektual, politisi praktis, birokrat dan pebisnis.
Mereka mengendarai politik praktis, untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, dengan menghalalkan dan menggunakan semua alat atau media.
Kampanye yang dusta
Selama dua minggu kampanye di lapangan Karel Gobai Enarotali sudah ada jejak kelam yang disinyalir kampanye di masa lalu. Ribuan masyarakat dari empat penjuru mata angin dan pelosok-pelosok berbondong-bondong.
Masyarakat memakai kosmetik lokal, berbusana tradisional, mewarnai tubuh dan mengotorinya dengan oil sembari memegang alat tajam. Berirama dengan tarian dan nyanyian, Yuu-Waita (semacam seruan yang mengandung makna sesuatu yang sudah sedang atau akan terjadi bagi mereka yang Yuu-Waita) dan wiwisi/sapusa (semacam dens tradisional dari masyarakat Moni dan lapogo)
Kehadiran masyarakat kemungkinan memiliki dua pesan.
Pertama, masyarakat berpartisipasi karena memahami caleg sebagai figur yang disegani atau memiliki rekam jejak yang baik, selain mempunyai hubungan kekeluargaan.
Kedua, partisipasi masyarakat didorong oleh money politics. Masyarakat menyadari bahwa kehadiran mereka dapat mendatangkan uang saat kampanye dan masa mendatang. Oleh karenanya, kampanye menjadi ruang interaksi bisnis-uang dan tenaga sebagai komoditas jasa.
Kehadiran massa saat kampanye adalah suatu harapan yang tinggi bagi caleg dan partai politik. Ini kesempatan pertunjukan massa pendukung partai politik dan keunggulan caleg, untuk merebut hati nurani masyarakat.
Maka caleg menerjemahkan kata-kata dan bahasa, yang paling tidak, bisa menghipnotis massa yang menghadiri kampanye.
Ruang kampanye kurang lebih merekognisi apa yang akan dilakukan kedepan. Tapi ada caleg yang belum mempunyai visi dan misi. Ada juga hanya mempunyai motonya. Sementara caleg yang mempunyai visi dan misi berusaha menghadirkan masalah yang dijejaki pemimpin sebelumnya.
Memberikan keterangan saling menundukkan dan mencoret cerita-cerita pemimpin legislatif masa lalu dan membangun narasinya yang lebay.
“Saya sendiri akan bangun pembangunan di daerah saya karena selama ini tidak [di]perhatikan,” kata salah seorang caleg dalam kampanye.
Ungkapan semacam ini didengungkan para caleg lainnya, yang selama ini merasa dianaktirikan dalam proses pembangunan.
Sebaliknya ada bekas legislatif juga yang mengklaim memiliki rekam jejak yang baik.
“Saya sudah buat perdana di Paniai,” kata caleg lainnya.
Caleg lainnya juga berkata, “Saya ini aktornya yang mendatangkan pembangunan jalan”.
Selain itu ada caleg yang memberikan keterangan yang menunjukkan sikap netral. “Naimipa na ena, tenaimipa na ena, aniki naineka” (boleh dipilih, boleh juga tidak dipilih karena kepentingan saya).
Ada caleg lainnya yang berkata, “Ani naimai aniya mobil kaca gelap ga uwina, Jakarta too Nota uwoo umi tou koo taitakao” (berikan suara kepada saya untuk makan minum di Jakarta).
Basa-basi kampanye cukup banyak memberikan napas panjang sepertinya. Masyarakat menerima dengan suka cita. Tidak sedikit apresiasi yang dipantulkan dari masyarakat.
Masyarakat sepertinya mendapatkan harapan baru dengan narasi-narasi kampanye. Ada yang memilih diam sepulang kampanye dan ada yang meneruskan janji kampanye kepada masyarakat yang lainnya.
Ada kontak komunikasi yang kerap kali menghadirkan suasana diskusi yang cukup alot dan mengaktifkan ruang perdebatan yang potensial memisah antarsesama masyarakat. Ini merupakan akibat dari dukungan masyarakat kepada sosok caleg yang diidolakan.
Satu hal yang paling menonjol adalah dukungan masyarakat berjalan di atas emosinya. Ini bukan reproduksi pengetahuan dari masyarakat, tapi akibat dari munculnya pemikiran mendapatkan kedudukan dan kekuasaan parlemen.
Maka masyarakat terbagi-bagi menjadi pro caleg A versus pro caleg B. Selama masa kampanye saya menemukan tidak sedikit masyarakat mendirikan kesadaran sebagai pihak yang berbeda terhadap masyarakat lain di luar pendukungnya. Sekalipun satu keluarga, marga atau suku, apalagi bangsa tidak dapat menyatu.
Pemilu sebuah panggung sandiwara
Politik praktis ini sudah menjadi tradisi/budaya dan pendekatan menuju seorang tonawi (baca: pemimpin atau pengusaha). Banyak manusia Papua dan Paniai berbondong-bondong mencari menjadi seorang tonawi, baik yang sekolah, maupun yang tidak pernah sekolah (menggunakan ijazah pinjaman).
Memang menjadi tonawi tidak punya persyaratan yang ketat untuk diperoleh siapa saja. Tapi selama ini menjadi tonawi seolah-olah hanya melalui politik praktis yang sudah terbangun dan disediakan negara.
Ruang pemilu dimainkan serupa dengan adegan-adegan atau periode pemilu sebelumnya. Tapi periode ini cukup berbeda sejauh pengamatan saya.
Satu hal yang berbeda terlihat dari boncengan kepentingan merebut kekuasaan eksekutif di Paniai. Ada kekuasaan intervensi dari boncengan kepentingan dalam urusan merebut legislatif. “Ada tiga kekuatan besar sudah masuk di kampung-kampung,” kata seorang kawan diskusi.
Hasil pengamatan itu tidak jauh berbeda dengan pengamatan masyarakat lainnya.
Saya menemukan ada empat kelompok yang kuat dan besar yang bermain. Masing-masing kelompok memiliki strategi penguasaan masyarakat dan memenangkan suara terbanyak. Khususnya wilayah barat Paniai, paling aktif bermain adalah tiga kekuatan.
Masing-masing kekuatan itu berusaha menjaring suara yang banyak untuk memenuhi banyak kursi, dengan berbagai pendekatan dan alat, termasuk media sosial. Berdasarkan narasi yang berkembang dalam obrolan masyarakat dan mengobservasi langsung terindikasi ada beberapa pendekatan.
Pertama, mereka memanfaatkan dan fasilitasi penyelenggara dengan menempatkan PPD, TPS dan KPSS. Proses pemilihan umum berlangsung dengan menyalahi kode etik dan sumpah janji yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ada semacam keberpihakan kepada caleg tertentu dan pro terhadap partai politik tertentu. Memang tidak semua penyelenggara ada keberpihakan.
Kedua, caleg dan komplotan partai pemenang pemilu melibatkan masyarakat dan pemuda. Masyarakat dan pemuda adalah tangan panjang. Mereka ini menghadapi badai alam dan tamparan cerita atau sentimen yang mencoreng harkat dan martabat. Ramai-ramai masyarakat saling menyerang, termasuk antara komplotan tangan panjang itu.
Selain itu, ada indikasi dukungan dari pembina politik tingkat kampung. “Garuda ageya nidimemegaika, idibi nake naimai menineka,” kata seorang pengurus kampung.
Potret keberpihakan itu terdesain secara sistematis. Sistem pemilu yang tidak bersih dari kotoran elitis yang mau terus berkuasa di masyarakat. Akibatnya terbangun kelompok-kelompok dan komplotan yang bersaing secara ketat dan menciptakan perpecahan komunikasi masyarakat.
Perpecahan ini diperparah dengan konflik sosial. Pada 16 Februari 2024 Frit menjadi korban akibat konflik prebutan suara antara masyarakat pro satu caleg dan pro kepada caleg lainnya di Kelurahan Enarotali. Di tempat lain, konflik prebutan suara antara caleg dan masyarakat mengemuka. Keadaan ini justru mencipta perpecahan masyarakat sebelumnya yang satu.
Uang memisahkan kawan
Uang tidak punya tulang, bisa menembak mati seorang manusia. Tapi uang memiliki kekuatan mengajak dan memerintah. Siapa saja akhirnya bisa tunduk dan menuruti, melaksanakan kerja sesuai kehendak pemilik uang.
Dalam urusan pesta pemilu uang menjadi alat pelaksana untuk merampok dan memeras hati nurani manusia. Arti sebuah kebebasan atau tindakan bebas memilih masyarakat kepada caleg bukanlah prioritas.
Memang peran uang di beberapa kampung tidak menonjol. Tapi kasus pemilihan umum susulan beberapa distrik, termasuk Distrik Muye bisa jadi sampel. Menurut keterangan yang saya terima, C1 dan hologram model baru dibawa kabur PPD Distrik Muye. Tindakan ini kendalikan salah satu caleg yang menyuplai dana sekelompok orang yang bertugas mengamankan.
“Penyelenggara pemilu orientasinya uang,” kata Kepala suku Paniai Barat (termasuk sebagai caleg provinsi Papua Tengah) pada 18 Februari 2024.
“Paniai Barat kouko sudah main dengan uang, dibayar dengan uang”. Pernyataan itu disampaikan seorang caleg salah satu partai pada 20 Februari 2024.
Dalam obrolan masyarakat mendapati keterangan yang serupa. Ada seorang warga dari Kampung Epoo Obano memberikan keterangan, adanya tawaran-tawaran dana dari seorang caleg untuk mendapatkan suara. Tidak hanya tawaran tapi di tempat lainnya caleg dan politisi, terutama yang memiliki rencana merebut eksekutif terang-terangan belanja suara dengan sejumlah dana.
“Paniai uang ita tapa” (artinya uang beredar cari suara),” kata seorang warga di pelabuhan Aikai pada 16 Februari 2024.
Pilihan uang menjadi urusan primer. Sekalipun memiliki hubungan sosial, kekerabatan dan hubungan kawan yang harmonis. Ada penyelenggara pemilu orientasinya uang, lebih memilih memihak.
Saluran-saluran komunikasi yang memupuk solidaritas antar kawan tersumbat. Ada pemuda bersumpah hendak memisahkan dirinya dengan kawannya yang menduduki sebagai penyelenggara, oleh karena tidak memberikan perhatian terhadap kepentingannya.
Money politics tidak sekadar memuaskan keserakahan manusia. Tapi jauh dari itu, berhasil menempatkan harga diri dan martabat manusia dalam urusan politik uang.
Ada unsur manipulasi kebebasan memilih menjadi komoditas politik. Bukan soal hati nurani masyarakat yang dihadirkan dalam pesta pemilu, tapi penyerangan terhadap kontestasi hak sipil politik.
Uang menjadi urusan pertama disoalkan. Maka tidak dipungkiri kemungkinan kemungkinan orientasi pembangunan kedepannya masih diteruskan pola dan budaya pembangunan yang cenderung prioritas kepentingan pribadi atau lebih menitikberatkan kepada kehendaknya.
Melebihi relasi sosial
Kekayaan sosial yang tak dapat diganti dan apalagi dibayar dengan money politics adalah persatuan. Persatuan sebagai akumulasi dari kekayaan hubungan-hubungan sosial yang terdidik dan terlatih secara baik dan harmonis selama berabad-abad lamanya.
Akan tetapi, politik praktis justru menjadi satu kausalitas dan senjata ampuh yang melumpuhkan keberadaan hubungan antarasesama manusia, khususnya manusia Papua.
“Saya ini Amoye paa kamu tahu, dorang itu ibopa” (pernyataan pembedaan antara warga akibat klaim bukan sebagai pendukung caleg dari sekampung) kata seorang warga Kampung Mogeya pada 18 Februari 2024.
Kesadaran bermusuhan ditempatkan di depan wajah. Ekspresi-ekspresi pembedaan dihadirkan dalam perdebatan merebut suara.
“Aniya mude pekaida umite keike uwi etinega keii epa keike,” kata seorang caleg pada 16 Februari 2024.
Pernyataan ini menjelaskan akan menciptakan konflik baru dalam hubungan sosial antara caleg dan masyarakat, yang terus saling menyerang sentimen negatif.
Pernyataan ini punya basis pemikiran yang menempatkan hubungan sosial bukanlah sesuatu yang berharga daripada urusan politik praktis, yang seolah sebagai satu-satunya pendekatan mendapatkan kedudukan sebagai seorang tonawi.
Ancaman dan saling serang pernyataan itu tidak hanya hadir dari kaum rakyat. Intelektual yang memiliki cara pandang yang seharusnya berbeda pun ikut mereproduksi narasi-narasi yang saling menyerang.
“Intelek ini penuh dengan taii. Aki kii epa kike peu epa”. Tidak sedikit mengurangi amarah yang berlebihan dari lawan narasi.
Hubungan-hubungan yang dibangun dengan harmonis dan ditempatkan dengan teduh, bisa dalam sekejap menjadi carut-marut. Bahkan mengklaim bukan sebagai satu keluarga atau marga yang sama. Akibatnya basa-basi ini diingat dan disimpan dalam memori pribadi, bahkan secara kolektif. Maka terciptalah jarak antara sesama. Jarak ini punya potensi yang terus dipupuk dalam kehidupan mendatang.
Konstruksi pikiran baru
Temuan-temuan yang dituliskan dalam tulisan ini, ada satu asumsi yang mendasari bahwa politik praktis sebagai alat jitu yang terbangun, untuk membongkar hubungan-hubungan persatuan sebagai keluarga suku dan bangsa. Barangkali negara memberikan kebebasan dan ruang politik kepada masyarakat Papua. Namun, justru dibaliknya berhasil menciptakan perpecahan.
Cara pandang manusia Papua sebagai satu asal-usul suku bangsa, tapi mereproduksi jiwa-jiwa manipulatif yang menonjol. Membangun pemahaman melihat diri didalamnya ada kelompok-kelompok baru yang berbeda. Maka dibentuk identitas dan jati diri baru berdasarkan kepentingan merebut kekuasaan legislatif dan eksekutif di tanah air ini.
Sebenarnya pembangunan kelompok dan identitas baru itu sebagai pemahaman sepintas yang hadir secara spontanitas. Sebagai akibat dari merespons masalah dan strategi perebutan kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Tapi dalam fenomena keterpilihan relasi sosial ini justru ada yang menguntungkan, ada kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar yang datang dan menduduki posisi beruntung. Mereka berdansa dan bertepuk sembari senyum-senyum di belakang. Para pebisnis dan penguasa yang menjajah dan menguasai tanah air selama ini.
Maka ubahlah perspektif kita yang saling serang dan menekan yang berujung pada perpecahan hubungan keluarga. Tidak hanya dalam hubungan masyarakat sipil, tapi juga termasuk sesama intelektual.
Semestinya politik praktis diciptakan sebagai alat dan media yang dapat menghasilkan pemimpin, yang siap menyelamatkan manusia dan tanah air dari incaran kepentingan yang tidak pernah merekognisi dan memproteksi orang Papua. (*)
Penulis adalah aktivis kemanusiaan, aktivis sosial dan mantap koordinator Amnesty Internasional chapter Universitas Papua periode 2021-2023
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!