Oleh: Fernando Klemens Sorowat*
Deforestasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu penebangan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) menegaskan deforestasi adalah perubahan secara permanen areal hutan menjadi tidak memiliki hutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Salah satu kegiatan manusia yang akan dibahas dalam kasus ini adalah aktivitas perusahaan kelapa sawit yang membabat lahan secara besar-besaran di Boven Digoel, Papua Selatan dan perjuangan masyarakat adat untuk menyelamatkan hutan adat dari deforestasi.
Suku Awyu adalah salah satu suku di Papua, tepatnya di Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Perjuangan yang masih berlanjut dari suku Awyu adalah melindungi hutan adat dari korporasi yang ingin membuka perkebunan kelapa sawit.
Masalah tersebut perlu diatasi karena sumber kehidupan mereka bergantung pada alam atau hutan. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti berburu, mencari kayu bakar, dan menjadi tempat untuk mencari obat-obatan alami.
Perlindungan hutan adat yang dilakukan oleh negara tercantum dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Peraturan tersebut tentunya mengatur tentang hutan adat.
Hutan adat merupakan hutan yang berada di bawah pengawasan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Hutan adat dimanfaatkan oleh masyarakat suku Awyu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Aturan yang dibuat oleh pemerintah sepertinya tidak berlaku ketika perusahaan sawit beroperasi dan membabat habis hutan Papua. Perusahaan yang sekarang mengancam kelestarian hutan adat suku Awyu adalah PT Mega Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Kedua perusahaan tersebut telah membabat hutan seluas 8.828 hektare untuk membuka perkebunan kelapa sawit, sedangkan hutan yang tersisa seluas 65.415 hektare yang masih bisa diselamatkan.
Tujuan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit adalah membantu perekonomian negara dan menekan angka pengangguran. Namun, mereka tidak berpikir bahwa hutan adat suku Awyu ada pemiliknya.
Walaupun sudah memperoleh izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perusahaan harus berpikir bahwa hutan adat masyarakat Awyu adalah hutan yang menopang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan harus hati-hati dalam menjalankan usahanya. Bila perlu izinnya segera dicabut.

Dampak lain dari pembabatan hutan secara besar-besaran adalah terancamnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan masalah-masalah serius lainnya. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk menekan kerusakan hutan akibat kehadiran perusahaan-perusahaan kelapa sawit.
Pertama, perwakilan masyarakat adat suku Awyu, Hendrikus Franky Woro dan Gregorius Yame, menyuarakan kepada pemerintah untuk mencabut izin-izin perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah mereka. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit tersebut beroperasi di Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Boven Digoel tentu saja mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat.
“Kami tidak ingin ada perusahaan-perusahaan mana pun yang masuk dan merusak hutan kami. Hutan itu sangat penting bagi kami masyarakat adat. Kami mau makan, mau minum, mau ambil kayu, semua tergantung kepada alam,” kata Gregorius Yame, perwakilan masyarakat adat suku Awyu dalam media briefing dan diskusi publik bertajuk “Litigasi Iklim dan Evaluasi Perizinan, Dua Ikhtiar Demi Hutan Adat Papua”.
Kedua perusahaan—PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama yang mempunyai konsesi di hutan adat suku Awyu—menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta Timur. Mereka menggugat tentang masalah surat keputusan Menteri LHK menyangkut penertiban dan penataan pemegang izin pelepasan kawasan hutan di Boven Digoel.
Terobosan baru dari masyarakat adat suku Awyu untuk menanggapi gugatan kedua perusahaan adalah membuat permohonan sebagai tergugat intervensi ke PTUN di Jakarta Timur, Selasa (9/5/2023). Perjuangan mereka semata untuk melindungi hutan dan kelangsungan hidup masyarakat suku Awyu.
Mereka adalah pejuang lingkungan hidup yang fokus pada kemanusiaan dan memikirkan masa depan bumi dan ancaman krisis lingkungan. Mereka tidak ingin masyarakat suku Awyu hidup miskin dan melarat di tanah sendiri.
Salah satu pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Franky Woro, menegaskan meskipun belum mendapat persetujuan dari negara, mereka mendukung negara untuk melindungi hutan adat dan hak-hak masyarakat dari korporasi yang beroperasi di Boven Digoel. Mereka berharap kepada pemerintah supaya permohonan tersebut bisa diterima dan ditindaklanjuti.
“Meski belum mendapatkan pengakuan dari negara, kami jauh-jauh datang ke Jakarta dan mendukung negara untuk melindungi hutan kami dari perusahaan yang ingin merusaknya. Gugatan kedua perusahaan tersebut akan berdampak pada kehidupan suku Awyu, kami harus terlibat untuk mempertahan hak-hak kami,” kata Hendrikus Woro.
Kedua, mereka mengunjungi Komnas HAM untuk melaporkan persoalan yang terjadi akibat ulah kedua perusahaan tersebut. Masyarakat suku Awyu memohon kepada Komnas HAM untuk membentuk sebuah tim yang bisa memantau masalah lingkungan di sana. Semoga Komnas HAM menjadi Amicus Curiae dalam menyikapi masalah hutan adat ini.
Dalam perkembangan kasus ini, beberapa izin anak perusahaan telah dicabut karena membuat pemalsuan izin. Masalah tersebut disampaikan oleh anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Sekar Banjaran Aji.
“Kedua perusahaan ini merupakan bagian dari skandal Proyek Tanah Merah yang ditengarai memperoleh izin secara melawan hukum. Dalam perkembangannya, beberapa izin anak perusahaan dicabut oleh pemerintah provinsi akibat skandal pemalsuan izin,” kata Sekar Aji.
Sebelum Hendrikus Franky Woro dan kawan-kawan ke Jakarta, dia menggugat Dinas Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua ke PTUN Jayapura, 13 Maret 2023. Woro menggugat dinas terkait karena terkesan bermain kotor dalam memberikan izin lahan seluas 39.190 hektare.
Oleh karena itu, munculah pertanyaan-pertanyaan, mengapa dinas terkait tidak melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan? Apakah kalian ingin mencari keuntungan sepihak dengan memanfaatkan izin penggunaan lahan tersebut? Pemberian izin penggunaan lahan harus melibatkan masyarakat adat dan bukan keputusan sepihak.
Apakah perusahaan tega melihat masyarakat adat kehilangan hutan adatnya? Seharusnya perusahaan sadar bahwa hutan mempunyai pemiliknya yaitu masyarakat adat.
Hak-hak masyarakat adat sudah jelas diakui dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Masyarakat Adat (UNDRIP). Deklarasi tersebut telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Indonesia juga mempunyai aturan tentang hutan. Oleh karena itu, masyarakat adat yang menemukan ancaman terhadap hutan adat, khususnya yang dialami oleh suku Awyu, tidak boleh menyerah untuk mengusir perusahaan yang mencari keuntungan sekaligus merusak hutan adatnya.
Masyarakat adat jangan terkecoh dengan iming-iming uang miliaran rupiah. Daripada menerima uang, lebih baik bertindak untuk melindungi hutan dari ancaman perusahaan kelapa sawit.
Masyarakat adat suku Awyu harus mempelajari undang-undang mengenai hutan adatnya. Tujuannya untuk menghindari penipuan dari perusahaan. Dengan demikian, masyarakat adat suku Awyu bisa melihat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang tidak menyetujui beberapa ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat, yang terdapat dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan. (*)
*Penulis adalah mahasiswa program studi Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua