Opini  

Jalan dekolonisasi pengetahuan untuk Papua (1/2)

Papua
Foto ilustrasi, mural peta Tanah Papua di salah satu kafe yang ada di Kota Jayapura. - Jubi/Theo Kelen

Oleh: Soleman Itlay

Konstruksi pengetahuan selalu merupakan bagian dari praktek kuasa (Michael Falcoult, 1926-1984) . Senada dengan Erward Said (1935-2003), bahwa pengetahuan yang diproduksi tentang masyarakat tertentu selalu berangkat dari dan untuk menghasilkan satu praktik kuasa dan kontrol tertentu.

Paul-Michel Foucault (15 Oktober 1926 – 25 Juni 1984) atau lebih dikenal sebagai Michel Foucault adalah seorang filsuf Prancis, sejarawan ide, ahli teori sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra. Teori-teorinya membahas hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dan bagaimana mereka digunakan untuk membentuk kontrol sosial melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, terutama penjara dan rumah sakit.

Meskipun sering disebut sebagai pemikir poststrukturalis dan postmodernis, Foucault menolak label-label ini dan lebih memilih untuk menyajikan pemikirannya sebagai sejarah kritis modernitas. Pemikirannya telah sangat berpengaruh bagi kedua kelompok akademik dan aktivis.

Pemikiran Foucault sangat dipengaruhi Nietzsche, tetapi dia tidak sepenuhnya merupakan pengikut Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal. Begitu pun dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Dia tidak jarang tidak sependapat dengan filsuf pujaannya itu. Hal ini terdapat dalam teori Genealogi Foucault. Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam “apa yang ditulis” dan “apa yang menjadi tafsirnya”, keduanya saling terjalin tanpa pemisahan.

Sedangkan  Erward Said adalah seorang pemikir dan akademisi Amerika Serikat berketurunan Palestina. Ia terkenal sebagai pemikir yang mendirikan bidang pemikiran pascakolonialisme.Said lahir dan besar di Yerusalem dan Kairo era pendudukan Inggris. Ia kemudian pindah ke Amerika Serikat dan meraih gelar akademis dari Princeton dan Harvard. Sejak 1963, ia mengajar di Columbia, dengan kepakaran khusus dalam bidang perbandingan sastra.

Baca juga :   21 ribu kasus malaria di Kota Jayapura, tertinggi di Distrik Muara Tami

Ia mulai terkenal karena karyanya, Orientalism, yang terbit pada 1978. Dalam buku ini, Said menganalisis aspek-aspek budaya yang menjadi batu tumpuan pemikiran orientalis. Ia menafsir ulang konsep tersebut sebagai cara pandang dunia Barat terhadap dunia Timur. Menurut Said, orientalisme tidak dapat lepas dari masyarakat imperial yang menjadi asalnya.

Peranan dunia akademis

Bagi penguasa, dunia akademis menjadi salah satu wadah yang sangat strategis dalam memproduksi corak pengetahuan tentang masyarakat. Lembaga ini sangat menjanjikan karena memiliki peranan penting untuk memberikan legitimasi produk pengetahuan kepada penguasa.

Dunia akademis tidak lain, di Indonesia berkaitan dengan perguruan tinggi, sebuah lembaga yang memiliki tingkat legitimasi produk pengetahuan sangat tinggi untuk mendapatkan kepercayaan publik.

Penguasa dimanapun pasti sudah mengetahui posisi dan nilai tawar dunia akademis yang mempunyai potensi sebagai tempat memproduksi pengetahuan dalam rangka mendapatkan legitimasi produk formal akademis di khalayak umum.

Karena itu tidak heran apabila pada satu sisi para penguasa selalu ingin mengontrol sistem akademis, agar pada sisi lain atau dalam urusan tertentu mendapatkan legitimasi akademis yang dapat memperkuat posisi penguasa di mata masyarakat.

Dunia akademis memiliki tugas dan tanggung jawab moral social, untuk melakukan kajian-kajian ilmiah yang dapat mengelola data dan informasi secara independen, dengan metodologi penelitian yang diperlukan guna memproduksi pengetahuan dan legitimasi akademis.

Hampir seluruh dunia, atau negara sebagai penguasa memiliki kemitraan yang sangat baik dengan dunia akademis. Para akademisi pun sebaliknya memiliki hubungan baik dengan penguasa.

Baca juga :   Melintasi jalan darat dari Wutung ke Vanimo

Hubungan ini menjadi jalan masuk keluar kedua belah pihak untuk saling mendukung satu sama lain. Karena itu tidak diragukan lagi apabila kedua belah pihak dalam banyak hal saling berkomunikasi, mendukung, sepakat dan merencanakan untuk memproduksi pengetahuan tentang suatu kejadian, kebijakan politik, dan lain sebagainya.

Posisinya sangat strategis, karena itu lembaga ini akan lebih mudah untuk selalu diminta untuk melahirkan produk pengetahuan melalui kajian ilmiah untuk melegalkan suatu kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya.

Legitimasi akademis

Dari segi metodologis akan nampak jelas untuk dapat dipertanggungjawabkan, dipercaya, diterima, dan dilaksanakan. Aspek-aspek inilah yang penguasa akan sering meminta lembaga akademis untuk melakukan penelitian ilmiah dan meminta untuk mendapatkan legitimasi produk pengetahuan.

Corak produk pengetahuan akademis yang mendukung penguasa tersebut dapat dilihat dari penelitian, analisis, evaluasi dan lain sebagainya di dunia akademis dalam mendukung rencana ataupun kebijakan penguasa dengan produk data dan informasi yang komprehensif.

Banyak kasus untuk mendapatkan benang tentang produk pengetahuan untuk menekan masyarakat melalui penguasa. Misalnya, beberapa mahasiswa akan diminta oleh seorang tenaga akademisi untuk melakukan penelitian tentang suatu isu yang berhubungan dengan masyarakat dan kebijakan penguasa.

Kasus seperti ini bukan sesuatu yang baru dalam dunia akademis, apalagi di dalam ruang lingkup dunia realitas yang memiliki basis pendudukan di dunia ini. Di Indonesia, termasuk di Tanah Papua, praktik macam ini sangat marak dan masif sekali.

Tidak perlu ragu untuk mengatakan apabila hampir semua lembaga akademik di Tanah Papua, baik kampus-kampus negeri maupun swasta memiliki relasi kuat dengan penguasa. Lembaga-lembaga ini menjadi rahim produksi pengetahuan bagi dan untuk penguasa untuk mengontrol, sekaligus mendapatkan legitimasi akademis dalam menjalankan kebijakan politik pendudukan.

Baca juga :   Ancaman degradasi di daerah konservasi Tambrauw

Konsekuensinya memang sangat besar mengingat praktik macam ini sangat tentu mereduksi sikap independensi dunia akademis dalam pandangan khalayak umum di Tanah Papua. Reduksi sikap independensi akademis di Indonesia, termasuk di Tanah Papua dapat dirasakan oleh masyarakat kelas paling bawah (marginal).

Dalam kebijakan DOB dan otsus Papua 

Salah satu kasus produk pengetahuan akademis di Indonesia, khususnya di Tanah Papua yang dapat dipelajari adalah dari dinamika politik etis tentang kebijakan pemerintah pusat tentang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat yang disingkat Otsus Papua dan Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua pada 2021-2022.

Beberapa akademisi, termasuk dari kalangan orang asli Papua sendiri menjadi objek corak produksi pengetahuan dalam mengevaluasi kinerja pemerintah pusat tentang Otsus Papua. Pemerintah meminta beberapa kampus, termasuk Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk melakukan evaluasi, sekaligus meminta legitimasi akademis sebelum mengesankan kebijakan tersebut. Bersambung. (*)

Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Jayapura, Papua.

Komentar
banner 728x250