Oleh: Enchantè *
Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT merupakan masalah serius yang meresap ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk di Papua, yang memiliki konteks sosial dan budaya yang unik. Dalam menanggapi isu ini, sangat penting untuk menyelami kompleksitas situasi tersebut dan merenungkan dampaknya terhadap perempuan di Papua.
Saya besar di Kota Nabire. Saat itu, ibu saya membuka warung di daerah Pasar Karang Tumaritis. Hampir setiap hari saat saya membantu ibu menjaga warung. Hampir pasti juga selalu melihat kekerasan yang dialami oleh perempuan Papua. Ada yang dipukuli oleh suaminya di pinggir jalan, ada yang diteriaki saat berbelanja, bahkan ada satu mama penjual bumbu campuran yang kehilangan salah satu tangannya, karena ditebas oleh suaminya. Hal ini membuat miris bagi kita yang melihatnya.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius yang memengaruhi banyak perempuan di Papua. Sebagai seorang laki-laki, saya merasa penting untuk mengakui dan mengutuk segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, yang dialami oleh perempuan di Papua atau di manapun. Sikap ini didasarkan pada prinsip hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.
Penting untuk kita sadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh menjadi bagian dari budaya atau norma sosial. Sebagai masyarakat, kita harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.
Saya meyakini bahwa perubahan sosial yang positif dapat terjadi ketika kita mengedepankan nilai-nilai saling menghormati, empati, dan kesetaraan.
Dalam hal ini, peran laki-laki sangat penting untuk mendukung perempuan dan berkontribusi pada upaya pencegahan kekerasan rumah tangga.
Hal ini dapat melibatkan pendidikan dan kesadaran mengenai pentingnya keseimbangan kekuasaan dalam hubungan, serta pengembangan sikap-sikap yang menghormati dan mendukung perempuan. Laki-laki juga perlu terlibat aktif dalam mempromosikan kesetaraan gender dan menghapus budaya ketidaksetaraan yang mungkin ada di dalam masyarakat.
Isu publik menuju kesetaraan gender
Pertama, kita perlu memahami bahwa kekerasan rumah tangga bukan hanya merupakan isu individu, melainkan juga mencerminkan dinamika struktural yang melibatkan unsur sosial, budaya, serta ekonomi.
Papua, dengan keberagaman budaya juga tradisinya, menciptakan latar belakang yang kaya. Namun, seringkali juga dapat menjadi sumber ketidaksetaraan dan kekerasan, terutama terhadap perempuan.
Penting bagi kita untuk mencermati faktor-faktor budaya yang mungkin memperkuat norma-norma yang merugikan bagi perempuan. Beberapa kelompok di Papua mungkin masih mewarisi pola pikir patriarki, dimana peran perempuan terkadang terbatas pada ranah rumah tangga sehingga kekerasan dapat menjadi ekspresi dari ketidaksetaraan tersebut.
Oleh karenanya, upaya untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga di Papua harus mengakomodasi dan menghormati keanekaragaman budaya, sambil terus mengedepankan hak asasi manusia dan gender equality, serta gender justice.
Permasalahan ekonomi dapat menjadi faktor yang memperparah kekerasan dalam rumah tangga. Ketidaksetaraan ekonomi antara pasangan dapat menciptakan ketegangan dan kecemburuan yang mungkin berujung pada kekerasan.
Perlu ada upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesempatan ekonomi bagi perempuan. Juga untuk memperkuat kemandirian finansial mereka, dan mengurangi ketidaksetaraan ekonomi antara pasangan.
Perlu diingat bahwa penanganan kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya tanggung jawab individu atau keluarga, melainkan juga tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah. Kampanye penyadaran dan edukasi perlu ditingkatkan, tidak hanya untuk menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat diterima dalam masyarakat, tetapi juga untuk memberdayakan perempuan, agar berani melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Sistem dukungan dan layanan bagi korban kekerasan perlu ditingkatkan, terutama di wilayah yang mungkin sulit diakses seperti daerah pedalaman di Papua. Pemerintah setempat perlu memastikan bahwa terdapat fasilitas yang memadai untuk memberikan bantuan psikologis, hukum, dan medis kepada korban kekerasan.
Selain itu, pelibatan laki-laki sebagai mitra dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebuah langkah yang krusial. Laki-laki dapat berperan sebagai agen of change dalam masyarakat, memimpin dengan contoh positif, serta membantu menciptakan lingkungan yang mendukung gender equality dan gender justice. Pendidikan dan pelatihan kesetaraan gender dapat menjadi kunci dalam mengubah pola pikir dan perilaku yang merugikan.
Dalam menghadapi kompleksitas kekerasan dalam rumah tangga di Papua, pendekatan yang holistik dan terpadu sangatlah dibutuhkan. Ini mencakup upaya pencegahan, perlindungan bagi korban, pendidikan bagi masyarakat, dan perubahan budaya yang mendukung gender equality dan gender justice.
Dengan memahami dan mengakui kerumitan masalah ini, kita (laki-laki dan perempuan) dapat bersama-sama menciptakan perubahan positif menuju masyarakat yang lebih aman, adil, dan mendukung bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin. Jika semua itu terwujud, saya percaya bahwa kekerasan yang kerap kali dialami oleh perempuan Papua atau perempuan lainnya dimanapun akan dapat diatasi. (*)
*Penulis adalah anggota komunitas Swara Akar Papua (SWAP) dari Koalisi Kampus Untuk Demokrasi Papua, dan mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua. Tulisan ini dibuat dalam rangka kampanye “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP)” di Tanah Papua