Oleh: Ismail Asso
Akar persoalan Papua
Proses integrasi Papua cacat hukum. Aneksasi di bawah ancaman senjata. Pepera tanpa mekanisme PBB, one man one vote (satu orang satu suara), tapi tradisi Indonesia all man one vote (banyak suara diwakili satu orang). Semacam musyawarah-mufakat. (Yoman, 2010).
Indonesia dan Amerika menandatangani kontrak karya PT Freeport (tanpa melibatkan pemilik) sebelum Papua disahkan PBB. Badan dunia itu baru mengesahkan Papua Indonesia tahun 1969 (Ibid).
Sejak saat itu banyak rakyat Papua yang dibunuh hingga hari ini dengan dalih sebagai TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) atau KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata).
Pembunuhan dan pencurian SDA dialami rakyat Papua sepanjang integrasi (aneksasi). Pembunuhan rakyat di Wamena (1977), Mulia, Timika, Nabire, dan Biak (1999). Pembunuhan sistematis berbagai cara dialami rakyat Papua. (Yoman, 2020).
Setiap tokoh yang muncul untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran selalu dibunuh. Militer membatasi ruang kebebasan rakyat Papua.
Wajar kalau kemudian rakyat memberi predikat pembunuh dan pencuri bagi Indonesia. Pembunuhan dan pencurian terhadap kekayaan alam rakyat Papua merupakan fenomena umum.
Indonesia masuk Papua untuk membunuh dan mencuri kekayaan alam. Kepercayaan orang asli Papua terhadap negara Indonesia sangat rendah.
Pencurian dan pembunuhan
Atas dasar kesadaran subjudul ini perlawanan memasuki babak baru. Media pemerintah sebut sebagai KKB menyadari lalu menjawab dengan cara mereka.
Kurang lebih kesadaran itu dimunculkan begini: Kenapa tidak melawan penjajah yang membunuh dan mencuri harta kekayaan alam Papua? Mereka membunuh dan mencuri kekayaan alam Papua dengan mengajak AS, Inggris, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Cina, dan Thailand tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Pejabat Jakarta mengajak negara lain mencuri harta kekayaan Papua; emas, tembaga, perak, biji besi, aluminium, minyak, gas alam, kayu, ikan, udang, dan seluruh isi perut bumi dan laut Papua.
Kejahatan kemanusiaan lewat HIV/AIDS adalah prestasi kejahatan kemanusiaan abad ini. Bentuk kejahatan ini lebih berbahaya bagi eksistensi manusia Papua. Dilihat besarnya angka pengidap HIV/AIDS dan eksploitasi kekayaan alam yang diangkut keluar dari bumi Papua tak terkirakan, maka ini sesungguhnya genosida dan ekosida sekaligus.
Sejak tahun 1992, jumlah penderita HIV/AIDS hanya enam orang. Kini menembus angka abnormal 40.805 orang. Ribuan orang Papua telah merenggang nyawa virus ini (KPA Papua, 2019).
Kekayaan alam Papua diserahkan kepada asing. Amerika Serikat, PT Freeport. Pangeran Inggris British Petroleum Bintuni, Cina, Jepang diberi kuasa untuk mencuri Ikan, Korea, dan Malaysia diberi hak untuk mengambil kayu, dan lain-lain.
Ekosida yang kini berlangsung di Tanah Papua adalah bukti kejahatan dan ketidaktulusan Jakarta, tapi juga hanya sebagai alasan untuk mencuri dan membunuh masa depan kesejahteraan rakyat Papua.
Kita tidak mau ada kejahatan di Papua. Kita tidak ingin ada pencurian sumber daya alam Papua oleh siapapun dan darimanapun dengan dalih apapun, tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik sah hak ulayat.
Karena itu, wajar kita khawatir akan pelenyapan eksistensi ras Melanesia dan sumber daya kekayaan alam, dengan dalih apapun–sebagai pembenarannya, sulit masuk akal dan berlangsung lama.
Papua terbelakang
Pencurian SDA Papua sangat kaya raya sebagai surga dunia bagi penduduk sekitar 1,2 juta jiwa itu tidak seharusnya miskin. Papua tidak seharusnya ada kelaparan, koteka, tanpa jalan aspal, tanpa jalan trans sebagai sarana perhubungan darat, tanpa lampu penerang (listrik), dan lain-lain.
Apapun pembangunan itu tulisan ini harus dibuat untuk menyoroti bahwa orang Papua miskin dan terbelakang di atas kekayaan mereka sendiri. Hanya karena mereka punya kekayaan, orang lain mau menjajah dan membodohi penduduk Papua. Ini adalah hal yang sulit masuk akal sehat kita sebagai manusia. Sungguh!
Rakyat Papua sebagai pemilik sah dari apa yang dicuri oleh mereka. Mencuri harta kekayaan rakyat Papua, membawa pulang dan membangun negerinya dengan gedung pencakar langit sekian banyak di Jakarta dan kota lainnya, memiliki jalan bagus untuk dilintasi kendaraan, jalan tembus sampai ke desa-desa di pelosok Jawa, Sumatra, dan Sulawesi.
Tetapi kita di tanah ini, Tanah Papua beranggapan jangankan hanya sekadar untuk jalan atau gedung Indonesia tidak ada niat membangun, dan memperdulikan kesehatan penduduk Papua.
Buktinya Anda lihat!
Penyakit HIV/AIDS saat ini sangat luar biasa dengan tingkat risiko, hampir seluruh penduduk Papua mengidap penyakit ini. Konon penyakit ini sengaja dibawa masuk oleh militer Indonesia melalui Bupati Merauke Kol. Soekardjo.
Kolonel Soekardjo adalah ahli pembinaan teritorial, dengan mendatangkan pekerja dari Thailand yang telah terinfeksi penyakit mematikan ini pada awal dekade 1990-an. Para pengidap penyakit yang tidak ada obatnya itu didatangkan dari negeri Gajah Putih, untuk bekerja di perusahaan penangkapan ikan di Merauke.
Ini menjadi rahasia umum orang Papua, tapi penyebaran secara menyeluruh adalah suatu prestasi tersendiri bagi pembunuhan penduduk asli Papua. Apakah itu adalah tujuan dan keinginan melenyapkan orang Papua dari muka bumi?
Amerika Serikat memiliki pengalaman dan prestasi sama dalam usaha pembasmian penduduk asli Amerika yakni suku Indian. Australia juga memiliki pengalaman sama terhadap penduduk asli (Aborigin), dan Selandia Baru juga demikian terhadap suku Maori–suku serumpun orang Papua.
Tentang pembasmian ini, GKT Ninati, Nasionalis Papua yang kini bermukim di Den Haag, Nederland mengatakan, bangsa-bangsa Eropa yang dulunya merampok Amerika, Australia, dan Selandia Baru setelah membasmi penduduk aslinya, kini membantu Indonesia dengan menyediakan uang dan senjata guna mempercepat proses pemusnahan rakyat Papua, dengan tujuan merampok tanah dan kekayaan yang ada di atasnya.
Apa itu kejahatan? Apa yang sudah dipaparkan di atas adalah kejahatan. Apakah kejahatan selalu identik dengan senjata beramunisi dan bunyi dor dor dor? Tidak!
Rakyat Papua dibunuh dengan senjata lain, seperti, HIV/AIDS oleh Indonesia, tentu saja dengan dukungan bangsa-bangsa barbar, kanibal, dan vampir lainnya di bawah pimpinan Amerika Serikat. Kalau begitu bagaimana sikap rakyat Papua? Rakyat harus mengakhiri. Caranya?
Mereka harus mempertahankan diri dan lawan! Rakyat Papua angkat senjata melakukan perlawanan untuk mengakhirinya. Wajar logika mereka ‘mati terhormat atau hidup terhina’? (*)
Penulis adalah Ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPT)
Discussion about this post