Oleh: Siorus Degei
Paul Zode Hilapok, seorang tapol (tahanan politik), meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah Yowari, Jayapura, Sabtu dini hari, 22 Oktober 2022. Jenazahnya lalu dikirim ke Wamena, Jayawijaya.
Karena sakit, berkas perkara makar Hilapok tidak dilanjutkan atau dibatalkan, sehingga mereka yang menjalani proses sidang hanya tujuh orang.
Sejak di rutan Polda Papua, Zode Hilapok sempat menjalani pemeriksaan dan menginap di Rumah Sakit Bhayangkara selama seminggu.
Selama di Lapas Abepura, Hilapok dibawa ke RSUD Jayapura. Selama dua minggu di rumah sakit ini akses kunjungan ditutupi.
Setelah keluar dari RSUD Jayapura, ia tinggal bersama keluarga di Sentani. Di ibu kota Kabupaten Jayapura ini Hilapok mengalami kesakitan yang sama, sehingga dia harus dibawa ke RSUD Yowari. Sekitar sebulan dia dirawat di sini.
Koordinator aksi pengibaran Bintang Fajar pada 1 Desember 2021 di GOR Cenderawasih Jayapura, Malvin Yobee, mewakili kedelapan tapol, sebenarnya sudah siap menjadi jaminan demi kesehatan dan keselamatan Hilapok di rutan Polda Papua.
Yobee bercerita bahwa kondisi kesehatan Hilapok selama di rutan Polda Papua sedang tidak baik. Karenanya dia membutuhkan pengobatan intensif.
Malvin Yobee juga mengalami hal serupa. Dia menderita sakit paru-paru, tuberkulosis (TB).
Akan tetapi, kondisi Hilapok lebih parah daripada Yobee. Oleh karena itu, Hilapok membutuhkan pertolongan dan perhatian khusus untuk menjalani pemeriksaan.
Saat itu kondisi Zode Hilapok tidak stabil. Mukanya pucat. Berat badannya turun drastis. Buang air besar dengan campuran darah dan nanah. Badannya lemah. Tidak kuat berdiri dan harus banyak beristirahat. Namun, dia tidak bisa tidur selama di rutan Polda Papua, hingga giginya juga sakit.
Pada Kamis (16/12/2021), Zode Hilapok hendak ke toilet untuk buang air. Namun sesampai di depan toilet ia jatuh pingsan, hingga tak sadarkan diri sekitar satu jam. Beruntung, satu tahanan asal Papua Nugini (PNG) langsung menolongnya dan membaringkan Hilapok di samping Malvin Yobee.
Malvin dan kawan-kawan pun tidak mengeluh. Mereka juga tidak mengharapkan belas kasihan. Mereka sadar dan tahu akan konsekuensi logis dari aksinya pada 1 Desember 2021.
Yobee dan kawan-kawan bersikukuh bahwa mereka hanya memperingati hari ulang tahun ke-60 kemerdekaan negara West Papua, sehingga harus mengibarkan Bintang Fajar. Jadi, mereka siap bertanggung jawab secara moril dan hukum dalam peradilan Indonesia.
Akan tetapi, Yobe dan kawan-kawan meminta kepada pihak berwenang di Indonesia agar memperhatikan kesehatan mereka, termasuk almarhum Zode Hilapok, agar dapat menjalani proses persidangan. Mereka juga meminta kepada penyidik untuk membuka akses pelayanan kesehatan bagi Zode Hilapok.
Padahal Hilapok sebelumnya memberi tahu kepada penyidik bahwa kondisi kesehatannya semakin memburuk. Tetapi beliau tidak mendapat pelayanan kesehatan, yang merupakan haknya sebagai warga negara.
Malvin dan kawan-kawan tapol lainnya bahkan menyatakan siap menjadi jaminan atas kesehatan Zode Hilapok. Mereka mengharapkan agar penyidik mempertimbangkan untuk memulangkan atau membebaskan Zode Hilapok, sebab dia sedang sakit. Hilapok dalam kondisi parah seperti itu tidak cocok tinggal di ruangan tanpa sirkulasi udara seperti rumah tahanan.
Quo Vadis hak kesehatan Zode Hilapok?
Dengan melihat kondisi fisik Zode Hilapok yang semakin kritis, maka sudah seharusnya kepolisian dan kejaksaan memberikan jaminan kesehatan yang memadai sebagai hak asasi kesehatannya.
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan.
Berdasarkan Pasal 28 H (1) UUD 1945 dan UU 36 tahun 2009 di atas, maka nyatalah bahwa kesehatan Hilapok tidak bisa dipreteli oleh kepolisian dan kejaksaan. Apalagi delapan tapol itu berstatus tahanan jaksa, belum ada proses sidangnya. Juga mereka hanya masih terancam makar. Bahkan, sekalipun memang status mereka adalah tahanan tetap, itu pun tidak bisa menjadi legal standing kepolisian dan kejaksaan, untuk tidak memenuhi hak-hak dasar dari kedelapan tapol tersebut, terutama Zode Hilapok.
Hemat penulis, Zode Hilapok perlu dijadikan sebagai tahanan rumah sakit. Dia bisa memperoleh pelayanan kesehatan intensif sesuai amanat undang-undang di NKRI.
Bahwa seperti jaminan yang diberikan kepada Victor Yeimo, juru bicara (jubir) Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk memulihkan sakitnya di Rumah Sakit Jayapura, Hilapok sebenarnya bisa diprioritaskan untuk memperoleh jaminan serupa. Jangan sampai seluruh bangsa Papua kembali berdemonstrasi di Mapolda Papua, lantaran pihak kepolisian dan kejaksaan dianggap lalai atau membiarkan Zode Hilapok menderita sakit di penjara hingga meninggal.
Memang patut diakui bahwa hak kesehatan Zode Hilapok sudah diberikan, tetapi kesannya terlambat.
Rupanya Zode Hilapok bukan satu-satunya korban kelalaian yudikatif—polisi dan jaksa, dalam menegakkan hukum dan HAM bagi bangsa Papua. Terutama bagi para martir dan patriot sejati yang memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kedamaian bangsa Papua.
Zode Hilapok telah berpulang menghadap Allah Bapa di Surga. Dia menyusul Leoni Tanggahma, Yonah Wenda, dan para pejuang kemanusiaan lainnya.
Sebagai calon imam Keuskupan Jayapura, Frater Paulus Zode Hilapok menyusul mendiang Uskup Herman Muninghoff, OFM, Uskup John Philip Saklil, Pastor Frans Lieshout, OFM, Agus Alue Alua, Pastor Neles Kebadabi Tebai, Pastor Jack Mote, Natalis Hanepitia Gobay, Pastor Yulianus Bidau Mote, Pastor Mikael Tekege, Pastor Santon Tekege, Frater Silvester Hisage, Hengky Kegou dan kaum berjubah dari Papua lainnya.
Kita hanya mendoakan mereka – dengan iman, harapan dan kasih, dan meneruskan perjuangan mereka selama di dunia ini. RIP kawan! (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Jayapura