Oleh: Siorus Degei*
Sopir truk itu mungkin tidak tahu akan “dewi musibah” yang menantinya di sekitar Kilo 80, Jalan Trans Nabire-Ilaga, Papua. Ia juga entah tahu atau tidak akan kehadiran “dajjal” dalam truknya yang menemaninya.
Pasti mereka buru-buru mengejar nasib. Para sopir truk yang familiar dengan kulit aspal itu senantiasa berjalan bersama. Siang bolong pada Sabtu, 21 Januari 2023 itu, mereka tancap gas. Di tengah jalan, memasuki kepala air Degeuwo Kampung Ekagokunu, Dogiyai, tubuh truk dilempari batu oleh para pemuda yang dipengaruhi alkohol.
Bunyi batu menggegerkan gerombolan pemuda yang memalang jalan. Tidak terima dengan itu, para pemuda Mapia itu mengejar truk-truk yang sedang menyambung hidup di jalan penuh risiko.
Yulianus Tebai siang itu baru pulang dari kebun. Melihat kejar-kejaran antara pemalang dan sopir truk, ia pun menurunkan istrinya dan ikut mengejar truk dan para pemalang itu.
Tujuan Yuli sebagai seorang anggota Pol PP yang sedang libur adalah menjadi penengah. Ia bukan salah satu dari para sopir itu. Ia juga bukan bagian dari para pemabuk dan pemalang itu. Ia hanya seorang pria biasa yang tergerak hatinya, untuk mendamaikan situasi kacau.
Tidak menunggu lama, “dajjal” yang menyelinap dalam truk-truk para penggali nasib di jalan sepanjang 300 kilo itu, menarik pelatuk yang kemudian menjadi “lonceng kematian” bagi pria yang baru saja pulang dari kebunnya ini.
Bak seorang penjahat ekstrem, tubuh pemuda yang baik itu ditembus timah panas. Tulang belakangnya menjadi sasaran desingan peluru tak bertanggung jawab. Tubuh malangnya tergeletak di pinggir jalan.
“Dajjal” yang semestinya menjadi “pengayom dan pelindung” (polisi) para peramu kecil itu benar-benar tampil sebagai “penyamun ganas”. Ia sangat idiot ketika hendak menarik pelatuk desingan tak bertuan dan tak bertanggung jawab itu.
Tidak menunggu lama, gadget berdebu dapur sederhana di wilayah yang khas akan kacang, tanjakan dan suhu dinginnya itu, menyiarkan tragedi kemanusiaan yang pecah di tengah rimbunan rimba yang masih perawan.
Grup facebook, WA, dan beberapa postingan di media sosial lainnya mewartakan kabar dukacita itu, hingga menjadi ramai. Ada debat alot. Banyak kronologi beredar. Ada yang lengkap, ada pula yang imparsial.
Hingga detik yang terus berganti ini belum terlalu terang ada naskah kronologi kejadian yang utuh. Kita hanya tahu saja bahwa saat itu alam dan manusia Mapiha sedang bermalam minggu dengan duka, kecemasan, ketakutan, ratapan dan kertak gigi.
Tidak ada kegembiraan. Senyuman harapan mungkin sedikit menyala dan dihangatkan oleh api perdamaian yang dibawa oleh para gembala umat.
Anak-anak muda gusar, tidak menerima saudara mereka yang tidak bersalah itu, tergeletak malang seperti “hewan liar”. Mereka yang gusar dan geram bermodalkan busur anak, dan bahan bakar meluapkan emosinya itu pada kios di sekitar jalan Kampung Bobomani, Mapiha.
Kios-kios yang menjadi tempat membasuh pilu dan bertaruh nasib hidup kaum pendatang itu sekejap ludes dilahap si jago merah.
Gumpalan asap hitam mengepul tebal di langit Mapiha, yang biasanya hanya dihiasi embun yang melahirkan hawa dingin menggigil.
Anak-anak kecil beserta ibu-ibu lari ke sana ke mari. Semua canggung apa gerangan yang terjadi. Padahal paginya semua terlihat baik-baik saja. Apa yang salah dengan mereka, yang hanya duduk manis menanti datangnya pembeli mengetuk pintu kios, tapi juga kediaman harapan hidupnya?
Truk-truk itu berasal dari Paniai. Itu sangat jauh dari Bobomani. Sopir dan “dajjal” di dalamnya bukan bagian dari tungku api yang menerangi alam Mapiha.
Yang jelas ini soal lain. Namun yang pasti ada dendam yang terpupuk di sini.
Ada ketidakadilan yang berpotensi menyulut dan mempertemukan “parang” dan “busur panah”. Kita tidak boleh menunggu tanggal mainnya. Tapi mesti ada upaya menangkalnya.
Rupanya kios-kios kaum pendatang di Mapiha menjadi “tumbal amukan massa”.
Sabtu, 21 Januari 2023, sepertinya akan tercatat sebagai hari bersejarah di Bomomani, Mapia, salah satu distrik di Kabupaten Dogiyai. Mapia yang dulunya tersembunyi dari percakapan publik bertajuk konflik, bara api, sengatan senjata api dan letupan pelatuk, kini terekspos sudah. Banyak orang yang dulunya asing akan diksi Mapia, kini sudah mulai mengenal Mapia.
Kira-kira ada apa di sana? Apa yang terjadi sehingga namanya kian melejit tatkala pinggang seorang pemuda malang, Yulianus Tebai ditembus timah panas dan paha Vincen Dogomo diterobos tanpa izin oleh desingan peluru tak berperikemanusiaan?
Tragedi kemanusiaan terjadi di Mapiha, tepat di malam Minggu.
Malam itu alam dan manusia Mapiha tidur dalam honai ketakutan, bertikar kecemasan, berselimut keringat dingin dan berbantal kewaspadaan ketat. Kaum muda akan tahan mata, menjadi guru yang baik bagi tubuh mereka, untuk menjadi eksistensi dan memproteksi dirinya.
Di tengah malam, pastinya “dajjal” akan mencari mangsa. Kita semua berharap, semoga di hari Minggu besok, ada angin sejuk yang berembus membeningkan hati dan pikiran orang-orang yang dirasuki “dajjal” di Mapiha. Semoga bangunan-bangunan doa yang suci di Meepago, dan Papua sanggup menyerukan perdamaian dan kenabian, demi persaudaraan universal yang integral.
Mapia itu sebuah pohon kebenaran. Mulai dari akar, batang, cabang, dahan dan daunnya terletak eksistensi sebuah bangsa yang kita sebut Papua.
Kini pohon itu terancam dilahap si jago merah. Akan fatal jika kita sendiri yang menjadi penarik sumbu konfliknya. Alam dan leluhur, bahkan Tuhan sekalipun terus menjaganya. Menjadi sebuah panggilan etis dan profetis bagi manusia-manusia pendaki gunung dan pengayam noken anggrek, untuk tetap dewasa dan bijaksana memandang api yang dimainkan “iblis” berseragam keamanan.
Semoga Tuhan sendiri hadir dan tampil dalam hati setiap orang yang berkonflik di Mapiha. Mengetuk hati dan membuka pikiran insan-insan bejana tanah liat, untuk tidak memagari dirinya dengan hukum rimba, hukum mata ganti mata.
Kiranya tampil ke permukaan wajah panglima cinta kasih yang sanggup merangkul yang berdenyut amarah, dendam dan angkuh untuk melepaskan damai, senyuman cinta dan sapaan perdamaian seraya fajar menyingsing.
Kita percaya bahwa bersama lentingan suara ayam jago di fajar pagi, alam dan manusia Mapiha bisa bangun dengan hati, pikiran dan kehendak yang baru. Lonceng gereja yang kudus akan menggantikan desingan peluru maut “dajjal” yang gila. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua