Oleh: Marselino W Pigai*
Tulisan ini berangkat dari cerita perjalanan ke Kampung Mabou, Kampung Kigo, dan Kampung Tibai, Papua Tengah, 24-28 Juli 2023. Bukan laporan penelitian yang ditulis dengan pendekatan tertentu dan memenuhi kriteria penelitian. Tetapi hanya kunjungan partisipasi, dalam peresmian Gereja Jemaat Eklesia Mabou Klasis Kamuu Utara, 26 Juli 2023.
Dalam diskusi partisipasi masyarakat setempat dengan Leo Pigome (pendamping distrik setelah mutasi kerja dari Distrik Nakama dan akan ditempati di Distrik Paniai Barat), Anton Pigai (guru SMP Negeri 7 Dogiyai) dan Marselino Pigai (penulis), ada beberapa hal yang dilaporkan masyarakat. Masalah yang paling mendasar adalah pembangunan dan potensi ekonomi, yang kami sebut terabaikan atau termarjinalkan.
Termarjinalkan dalam konteks ekonomi, bisa didefinisikan sebagai keadaan hidup masyarakat yang belum mendapatkan keberpihakan, pemberdayaan dan perlindungan dengan instrumen hukum, kebijakan strategis, dan program yang mendorong ekonomi kerakyatan. Karena masyarakat di sana—seperti umumnya orang asli Papua—berhak mendapatkan ruang ekonomi secara adil, dengan dukungan kebijakan otonomi khusus (otsus), sesuai dengan perintah Undang-Undang Otsus I dan UU Otsus II.
Kampung Kigo secara administratif berada di Kabupaten Paniai, sedangkan Kampung Mabou dan Tibai di Kabupaten Nabire. Kampung-kampung ini terletak di belantara, yang dipagari gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Bagian timur kampung-kampung itu berbatasan dengan Kampung Kuniawo, Paniai dan bagian barat berbatasan dengan Kampung Diyai Kunu, Nabire, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan Kamuu Utara, Dogiyai dan bagian utara berbatasan dengan Kampung Dadou, Paniai.
Akses ke sana tentu tidaklah mudah. Butuh energi ekstra. Jalan kecil, melewati sungai.
Antara Kampung Kigo dan Diyai Kunu terbentang empat aliran sungai besar. Dua kali besar dengan jembatan gantung antara Diyai Kunu dan Tibai, sedangkan aliran sungai yang kecil—satu dibangun jembatan kayu dengan anggaran dana kampung Tibai tahun 2019, dan dua aliran kali kecil dibangun jembatan kayu di Kampung Mabou.
Sosial budaya dan ekonomi
Populasi masyarakat setempat adalah orang asli Papua. Terdapat marga Donei, Keiya dan Boma. Mereka membangun rumah di lokasi masing-masing, di bawah kaki gunung dan bukit, serta mengikuti pola aliran sungai.
Mereka membangun perumahan tradisional (rumah adat emawa dalam bahasa Mee), dan rumah semi modern, yang dipagari dengan kayu dan pohon daugu.
Mereka jauh dari infrastruktur jalan, pasar, dan lain-lain. Masyarakat kampung itu terisolasi dari dunia luar. Mereka masih hidup semi modern. Freire Paulo menyebutnya dengan istilah masyarakat primitif.
Mereka lebih dominan menggunakan busana modern. Sebagiannya menggunakan busana adat suku Mee, bahasa Mee berdialek Kamuu, Paniai dan Siriwo terlihat dari vokalnya yang kental. Mereka hidup menyatu dengan alam, mengikuti, meyakini, dan mewarisi pemahaman leluhur—tentang nilai-nilai adat-istiadat yang membentuk hukum, norma-norma dan tata krama.
Masyarakat berkegiatan ekonomi seperti orang Papua pegunungan. Mereka menjadi produsen sekaligus konsumen. Pertanian dan peternakan adalah kegiatan ekonomi prioritas.
Perkebunan masyarakat lebih konsen di lingkar bukit dan gunung, termasuk tanjung. Ada yang melewati kali-kali besar dan sangat mengancam keselamatan nyawa, karena belum ada jembatan seperti Kali Kigo di Kampung Kigo dan Kali Wani di Kampung Mabou.
Seorang anggota Badan Musyawarah Kampung Kigo, Selpina Pigime pernah mengalami ancaman dari arus derasnya Kali Kigo, ketika menyeberang dengan membawa hasil perkebunan. “Kigena Bugida maake owapa meiyogo, Kigoo uwoo kuga uwine temega, aniya agiya dokouto uwetegai (satu kali dari kebun pulang ke rumah, hampir hanyut di kali kigoo, saya punya noken saja yang terhanyut),” kata Pigime.
Cuaca dan curah hujan yang tinggi berpengaruh kuat pada aktivitas masyarakat di sana. Mereka menghasilkan komoditas pertanian dengan bercocok tanam. Komoditas unggul yang banyak diproduksi adalah kacang tanah, ubi jalar, keladi, tebu, sayur hitam (digiyo atau ugubo), dan lombok.
Mereka juga beternak babi dan berburu. Wilayah garapan dan berburu tidak saling melewati batas-batas kepemilikan tanah adat, keluarga dan marga. Kecuali diizinkan pemiliknya.
Hasil pertanian dan peternakan, selain untuk konsumsi rumah tangga, dipasarkan di pasar tradisional Enarotali Paniai, Moanemani Dogiyai, dan Nabire. Hasil ini turut membangun basis ekonomi keluarga.
Mama-mama berperan penting dalam ekonomi keluarga. “Aniko kigena kacang kou 2.500.000 motemega kaatiyake (satu kali saya mendapat uang sebesar Rp 2.500.000 hasil jualan),” kata Pigime lagi.
Masyarakat juga menjual tembakau dan gula-kopi. Cara berdagang mereka tidak serupa pedagang migran. Hanya menggunakan fasilitas seadanya. Pedagang juga tidak banyak. Harga jual juga disesuaikan dengan ketersediaan sembako dan adanya pembeli.
Tantangan dan masalah ekonomi
Masyarakat melintasi jalan yang tidak mudah. Mereka berjalan kaki dari Kampung Diyai Kunu ke kampung lainnya atau sebaliknya, sekitar dua sampai tiga jam jika tanpa membawa beban, hingga tiba di Kampung Tibai, sedangkan ke Mabou dan Kigo sekitar delapan sampai sembilan jam.
Jarak tempuh dan waktu perjalanan ke kampung itu relatif. Tergantung cuaca dan beban yang dibawa. Ketika hujan, aktivitas ekonomi akan mandek, karena masyarakat harus menyeberangi kali besar.
Pergulatan hidup masyarakat tak pernah berhenti. Mereka menaklukkan alam demi mencukupi kebutuhan ekonomi.
Mereka memproduksi komoditas dengan peralatan sederhana, berdasarkan kearifan lokal masyarakat. Namun juga harus menghadapi tantangan besar karena tiadanya infrastruktur jalan dan angkutan umum. Pemerintah, politikus, bahkan para calon legislatif hanya berjanji untuk membangun jalan. Namun faktanya nihil.
Masyarakat merencanakan pembangunan jalan yang panjang dan jembatan dengan dana kampung. “Itakou wadine, Tibai kampung kouma, yakai kampung kouma enaimo lima ratus juta-lima ratus juta (500 juta) kotu tiyake woodani kouko (jalan itu akan dibangun, dengan dana kampung dari Kampung Tibai dan kampung yang ada di sini),” kata Melkias Keiya.
Kampung yang tak terhubung dengan pembangunan jalan ini ikut mewarnai basis ekonomi rumah tangga hingga menjadi rentan kesenjangan. Apalagi jika ingin mencapai kesejahteraan dan kemandirian ekonominya.
Karena biaya transportasi, biaya konsumsi perjalanan, belum termasuk biaya akomodasi lainnya, biaya-biaya yang dikeluarkan tentunya akan berdampak terhadap pendapatan akhir. Tidak menutup kemungkinan menghadirkan penjualan dan pendapatan pada titik break event point (titik impas atau kembali modal).
Dalam kenyataan yang demikian, kenaikan biaya sembako tak dapat dibendung. Masyarakat yang menjual sembako di kampung-kampung pun menjualnya dengan harga yang melambung. Misalnya, masyarakat menjual minuman sachet dan susu kaleng senilai Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.
Mereka menaruh nyawa untuk menjual dengan harga seperti itu. Karena harus melewati jalan tikus yang licin dengan medan yang menantang. Sesampainya di pasar pun mereka harus bersaing dengan pedagang migran.
Mereka harus beralaskan karung dan berjualan di bawah terik matahari. Misalnya di pasar Enarotali, Dogiyai dan Nabire.
Mereka juga harus menghadapi pendidikan yang terbatas. Karena tidak adanya sekolah dasar di Kampung Kigo dan Mabou.
Kampung Tibai masih mendapatkan kesempatan pendidikan karena adanya sekolah dasar. Namun menurut Kepala Kampung Mabou, aktivitas pendidikan tidak berjalan. Keadaan ini ikut menciptakan dampak lanjutan pada ekonomi kerakyatan. Padahal pendidikan diharapkan dapat menopang pembangunan ekonomi kerakyatan.
Penutup dan rekomendasi
Ada dua masalah krusial yang dapat ditarik benang merah dari tulisan ini. Pertama, masalah pembangunan jalan dan jembatan. Infrastruktur jalan dan jembatan harus sejalan dengan kebijakan yang memihak pada orang asli Papua dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kampung—untuk mengangkut hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Kedua, masalah pendidikan dasar. Pendidikan dasarlah yang bisa mengubah struktur sosial masyarakat kampung yang hidup di level bawah.
Pendidikan akan meningkatkan pembangunan ekonomi kerakyatan dalam mengelola potensi di kampung. Pemerintah seharusnya memberikan perhatian yang serius dan mengedepankan keselamatan generasi mendatang di Tanah Papua. (*)
* Penulis adalah aktivis dan chapter amnesty di Universitas Papua Manokwari