Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar debat Calon Presiden (capres) 2024 secara terbuka pada Selasa, 12 Desember 2023, dengan menampilkan ketiga calon, yakni Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Isu hak asasi manusia (HAM) Papua menjadi salah satu topik utama dalam debat tersebut.
Tiga kandidat ini hampir memiliki visi dan jawaban yang sama tentang penyelesaian konflik Papua, tetapi dengan cara berbeda. Misalnya Anies Baswedan tentang pendekatan keadilan, Prabowo Subianto perihal pendekatan penegakan hukum atau keamanan, dan Ganjar Pranowo dengan gagasan pendekatan dialog komprehensif.
Isu HAM Papua hampir tak pernah absen menjelang pemilihan umum (pemilu), termasuk pada event debat calon presiden dan wakil presiden. Hal ini mulai berlaku selama hampir 20 tahun terakhir setelah diselenggarakan pemilu secara langsung yang menjadi amanat Reformasi Mei 1998.
Namun, janji-janji kampanye dalam pesta demokrasi lima tahunan ini belum, bahkan sama tidak pernah direalisasikan. Termasuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang dinilai mengingkari janji kampanye perdananya pada Kamis (6/6/2014). Ketika itu Jokowi berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM Papua (sejak awal 1960-an hingga sekarang) dan membuka ruang dialog dengan orang Papua. Termasuk mencabut pembatasan peliputan pers asing di Tanah Papua, yang diumumkan presiden usai menghadiri panen raya di Wapeko, Distrik Kurik, Merauke, Papua, Minggu (10/5/2015).
Bahkan, Jokowi kembali menegaskan komitmennya untuk membuka dialog dengan rakyat Papua saat menghadiri perayaan Natal bersama pada 27 Desember 2014. Kala itu Jokowi mengajak semua orang Papua untuk bersatu. Baik yang berada di gunung, lembah, hutan, harus kembali membangun Papua. “Membangun Papua bukan sekadar membangun infrastruktur jembatan, jalan, rumah sakit, dan sekolah, tapi rakyat Papua butuh didengar, adanya dialog dan diskusi bersama.”
Namun, selama hampir 10 tahun menjadi presiden, sedikitnya 19 kali Jokowi mengunjungi Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), ia belum memenuhi janji kampanyenya tentang dialog, untuk menyelesaikan berbagai konflik di Tanah Papua, termasuk penuntasan kasus pelanggaran HAM. Jokowi lebih fokus menggenjot pembangunan ekonomi dan infrastruktur–jalan, jembatan, pelabuhan laut dan udara, tanpa merealisasikan salah satu janjinya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Papua melalui jalan dialog.
Memang Jokowi memiliki niat baik (good will) membangun masyarakat Papua melalui aspek ekonomi dan infrastruktur (meski sejumlah kebijakannya merusak lingkungan dan tidak memperhatikan aspirasi masyarakat adat Papua). Namun, ia tidak punya ketegasan dan konsistensi untuk mengaktualisasi gagasan dialognya dengan rakyat Papua. Sebab, dialog menjadi jalan pamungkas dalam menyelesaikan konflik Papua, selain aspirasi referendum dan pengembalian (pengakuan) status politik bangsa Papua, 1 Desember 1961 yang getol disuarakan sejumlah aktivis Papua.
Karena itu, ketiga calon presiden perlu belajar dari sejarah dan sejumlah indikator kegagalan beberapa pemerintahan sebelumnya, terutama dua presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berkuasa kurun 2004-2014 dan Jokowi selama periode 2014-2024.
Sejumlah kebijakan, seperti ekonomi, afirmasi, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat), perpanjangan Otonomi Khusus, pemekaran, ataupun pendekatan keamanan oleh pemerintahan SBY maupun Jokowi, gagal menyelesaikan konflik Papua. Jadi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, serta operasi militer di Papua telah gagal meredam kekerasan dan konflik. Justru resistensi terus terjadi dan pelanggaran HAM kian meroket dan mengenaskan. Misalnya, Amnesty International mencatat ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) oleh pasukan keamanan Indonesia di Papua antara Januari 2010-Februari 2018.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dalam laporan bertajuk “2021 Country Reports on Human Rights Practice” menyebut adanya pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat. Laporan tersebut menyebutkan, “Adanya pelanggaran serius dalam konflik di Provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk pelanggaran hukum sipil, penyiksaan dan kekerasan fisik, pembatasan kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, ancaman kekerasan untuk ras dan minoritas.”
Laporan itu menyebutkan pelanggaran terhadap warga sipil: banyak warga mengungsi, termasuk pembunuhan, kekerasan, dan perusakan properti akibat konflik bersenjata antara pasukan pemerintah (TNI-Polri) dan kelompok separatis (TPNPB-OPM) terus berlangsung di provinsi Papua dan Papua Barat (IDN Times, 16/4/2022).
Mengutip data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), terjadi 16 kematian dari 50 kasus yang diduga karena penyiksaan–penganiayaan aparat sejak Mei 2021 hingga Juni 2022. Berdasarkan catatan Komnas HAM RI pada tahun 2022, konflik bersenjata di Papua sedikitnya menelan korban 63 jiwa, yang terdiri dari warga sipil 46 orang, 13 TNI-Polri, dan empat orang kelompok sipil bersenjata atau TPNPB-OPM (voaindonesia, com, 15/3/2023).
Merujuk pada sejumlah laporan tersebut, maka gagasan penyelesaian konflik laten di Papua melalui pendekatan keamanan (penegakan hukum) yang dikemukakan oleh capres nomor urut 2, Prabowo Subianto bakal tidak efektif dan itu semakin memperumit persoalan. Ide ini memberi pertanda bahwa Prabowo ingin mengimitasi dan merepetisi jejak kebijakan sejumlah presiden terdahulu (Soeharto hingga Jokowi) yang memperpanjang konflik dan menambah daftar panjang sejarah kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.
Padahal, Prabowo sendiri tentu memiliki pengalaman dan informasi yang cukup tentang sejumlah pendekatan keamanan (operasi militer) di masa lalu, terutama di rezim Orde Baru (Soeharto) yang gagal menyelesaikan konflik yang mana ia sendiri sebagai salah satu komandan operasi, seperti operasi di Timor Timur tahun 1980-an, Papua (termasuk Operasi Mapenduma 1996), dan Aceh. Serta saat ia menjabat Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus), terjadi gejolak pra-reformasi 1997- 1998 yang membuat 23 orang aktivis diculik, seseorang tewas tertembak, dan 13 orang lainnya hilang sampai sekarang.
Itu menunjukkan bahwa kekerasan tidak bisa menyelesaikan kekerasan, teror tidak bisa melawan teror, demonstrasi tidak bisa dibalas dengan represi. Tetapi kekerasan, teror, dan demonstrasi hanya bisa dilawan dengan kelembutan dan cinta yang diwujudkan melalui cara-cara damai, yakni dialog dan diplomasi, sebagaimana pemerintah Indonesia pernah melakukan dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melahirkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005.
Maka, negara diharapkan tidak boleh menerapkan standar ganda dalam penegakan HAM di Indonesia. Sebab standar ganda adalah masalah terbesar di dalam penerapan HAM yang ideal.
Untuk itu, gagasan Prabowo tentang pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik Papua perlu dipertimbangkan secara rasional, bahkan bila perlu dieliminasi. Tetapi gagasan dialog yang ditawarkan Capres Nomor Urut 3, Ganjar Pranowo dan pandangan pemenuhan rasa keadilan yang dikemukakan Capres Nomor Urut 1, Anies Baswedan sebagai solusi yang tepat, sekaligus merupakan aspirasi kolektif orang Papua selama ini, untuk menyudahi konflik 60-an tahun di “Bumi Cenderawasih.”
Namun, di tengah debat tersebut, Prabowo Subianto juga sempat menganggukkan kepala dan setuju dengan gagasan dialog dan pemenuhan rasa keadilan untuk mengakhiri konflik Papua, yang diperkenalkan oleh Ganjar dan Anies.
Jadi, upaya dialog dan menghadirkan rasa keadilan merupakan jalan mengakhiri konflik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Untuk mewujudkan rasa keadilan bagi rakyat Papua, tentu terlebih dahulu mengidentifikasi dan memformulasikan akar masalahnya, melalui dialog komprehensif yang adil, jujur, damai, dan bermartabat, dengan berbagai komponen perjuangan rakyat Papua yang terhimpun dalam Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ ULMWP). Juga melibatkan TPNPB-OPM, sebagai cara untuk mewujudkan perdamaian melalui pemenuhan rasa keadilan, merupakan suatu keharusan seperti diktum, no peace without justice (tidak ada perdamaian tanpa keadilan).
Dan hal terpenting bagi siapa pun dari ketiga capres ini yang akan terpilih pada Pemilu Presiden 14 Februari 2024 adalah memiliki ketegasan dan konsistensi pada perkataannya, terutama janji menyelesaikan konflik Papua melalui jalan dialog dan menghadirkan rasa keadilan. Bukan sebatas retorika politik untuk mendulang suara saat pemilu. Niat baik saja tidak cukup. Harus juga berbuat baik, sehingga tidak terjadi NATO (no action talk only).
*) Penulis adalah advokat muda Papua dan Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)