Oleh: Thomas Ch. Syufi
Filep Karma memang sudah berkali-kali mengalami ketidakadilan. Ia pernah disiksa oleh aparat keamanan dan sipir penjara. Ia ditangkap, diseret, ditendang, dipukul, dilempar dalam truk, diangkut ke kantor polisi, dipenjara, dan kesehatannya sebagai tahanan politik (tapol) diabaikan, bahkan mendapat penyiksaan secara mental.
”Di penjara saya dipukul, ditendang, digusur. Tetapi yang paling menyakiti saya adalah siksaan mental yang saya alami. Seorang petugas mengatakan pada saya, ketika kamu masuk di sini (penjara), kamu kehilangan semua hak kamu, termasuk hak asasi manusia. Hak kamu cuma bernapas dan makan. Dia bahkan bilang hidup kamu ada di tangan saya,” katanya dilansir bbcnewsindonesia.com, 19 November 2015.
Tahun 2009, Asian Human Rights Commission menyatakan para sipir penjara memukuli Filep Karma hingga memecahkan kacamatanya dan menyayat salah satu kelopak matanya, karena alasan terlambat pulang cuti pada 1 Februari 2009.
Namun, Filep Karma tidak pernah membenci, dan membalas semua perlakuan itu. Ia menerima semua tindakan biadab oleh sistem negara dengan senyum, tegar, bersyukur, dan memaafkan pelaku.
Filep teguh pada keyakinan bahwa tidak ada perdamaian tanpa pengampunan dan kesabaran! Sekaligus ia menyadari bahwa itu merupakan risiko dari sebuah pilihan dan perjuangan seorang aktivis yang ingin menegakkan keadilan, perdamaian, demokrasi, kebebasan, dan kemanusiaan bagi tanah airnya, Papua. Maka perjuangan Filep untuk keadilan dan kebebasan Papua akan berada pada dua pilihan, yaitu tanah air atau mati (patria o muerte).
Untuknya, lebih baik menderita ketidakadilan daripada melakukan ketidakadilan, meskipun status para kriminal adalah kaum imigran atau kolonial terhadap dirinya sebagai pemilik sah negeri Papua.
Filep yakin bahwa no sacrifice is wasted (tak ada pengorbanan yang sia-sia). Setiap perjuangan pasti ada risiko. Juga ada hikmahnya. Termasuk perjuangannya untuk kemerdekaan Papua. Karena tiada kebebasan (kemerdekaan) yang dapat digratiskan, tak ada revolusi tanpa air mata, darah, dan kematian. Menurut Filep perjuangannya suatu saat akan berarti bagi generasi mendatang di Papua.
Filep Karma bahkan pernah melakukan perjalanan ke luar Papua dan mengalami kekerasaan secara fisik dan psikis. Pada Selasa malam, 2 Januari 2017 ia hendak mengambil barang bagasi usai mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dari Yogyakarta dengan menggunakan maskapai Lion Air, Filep ditahan oleh lima anggota TNI Angkatan Udara. Mereka memboyong Filep ke salah satu ruangan untuk melakukan interogasi.
Penahanan terhadapnya sekitar pukul 9 malam, WP, terjadi karena pin kecil bergambar Bintang Kejora terpasang di dadanya adalah lambang bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka). Namun, Filep menjawab bahwa itu bukan bendera OPM.
”Itu simbol saja. Kalau bendera berdasarkan UUD 1945, terbuat dari kain berukuran 1×2 meter. Ini bukan bendera,” kata Karma dilansir KBR, Rabu (3/1/2017). Salah seorang aparat kemudian membentak Filep dan mengumpatnya dengan kata “monyet”.
Filep Karma pun bebas setelah dibawa dan diperiksa oleh Polres Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Interogasi terhadapnya itu merupakan hal di luar kewenangannya, itu kewenangan polisi. Bahkan bila dianggap pin bergambar BK sebagai lambang OPM atau separatis, mengapa selama ini dia aman-aman saja?
Filep Karma telah mendedikasikan semua hidupnya untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan di Papua, akhirnya dipenjara 15 tahun. Sahabatnya, Andreas Harsono yang membesuk Karma di Lapas Abepura, Desember 2008, mengatakan, Filep menghabiskan waktunya di penjara Abepura dengan berkebun, membaca ribuan surat, dan kartu pos setiap minggu satu karung yang dikirim oleh orang-orang atau sahabatnya dari berbagai negara di dunia yang peduli terhadap perjuangannya. Seorang gadis di Eropa bahkan membuat mural sebagai kampanye dan dukungan moral untuk pembebasan Filep Karma dari penjara.
Kematian Filep di Pantai Base-G Jayapura masih menyisakan misteri bagi mayoritas masyarakat Papua, termasuk para aktivis HAM. Akan tetapi, pihak keluarga menyatakan bahwa kematian Filep Karma murni kecelakaan saat menyelam.
Meski demikian, para aktivis HAM dan masyarakat adat Papua mendesak agar ada investigasi yang jujur, transparan, dan independen terhadap kematian Karma, agar publik memperoleh informasi yang akurat dan objektif.
Dominikus Sorabut, Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) saat ibadah pelepasan Filep Karma di rumahnya di Jl. Macan Tutul Dok V Atas, Kota Jayapura mengaku sudah berkoordinasi dengan berbagai faksi perjuangan Papua dan memutuskan untuk melakukan investigasi yang lebih dalam lagi untuk mengetahui penyebab kematian Filep Karma.
Filep tidak hanya berjuang untuk keadilan dan kemanusian orang Papua secara kolektif. Ia juga melihat HAM secara kontekstual, yaitu mendukung kebebasan pers, menolak kekerasan terhadap jurnalis, meminta akses untuk pers asing ke Papua. Ia juga menolak praktik diskriminasi terhadap perempuan, dan mendukung adanya jaminan yang pasti bagi martabat dan hak asasi anak-anak.
Ia tergolong orang dalam kredo: orang-orang yang setia dan taat menjalankan keyakinan dan kepercayaanya hingga akhir hidupnya. Ia sosok pejuang yang generous (dermawan), fearless (pemberani), rendah hati (humble), dan konsisten di jalannya sendiri. Tanpa ragu dan takut, ia siap menghadapi semua risiko, karena menurutnya tak ada kebebasan tanpa tanpa air mata, darah, dan kematian, seperti kata Ernesto Che Guevara, “Revolusi bukanlah buah apel yang jatuh ketika matang, tetapi Anda harus membuatnya jatuh.”
Itulah keyakinan Karma akan kebebasan dan nilai dari sebuah perjuangan dengan menggunakan cara nonviolent resistance (perlawanan tanpa kekerasan). Ia konsisten pada perjuangan dan ucapan dalam berbagai forum atau aksi protesnya secara damai.
Peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Adriana Elisabeth, 9 November 2022, mengatakan Filep Karma adalah seorang yang konsisten. Ia berpegang pada satu pemikiran, yang semuanya dinyatakan dengan cara tidak provokatif, ia melihat tidak ada harapan ketika Papua berada dalam Indonesia, itu kalimat-kalimatnya. Esensinya bahwa tidak ada solusi untuk Papua selama ini kecuali Papua berdiri sendiri (merdeka). Mungkin kalau orang dipenjarakan diharapan ada efek jera, ternyata kan beliau tidak, selain beliau bilang meski dipenjara 11 tahun tapi merasa tidak bersalah seperti itu.
Aktivis Papua dan sarjana diplomasi Canberra, Australia, Ronny Kareni, bahkan mengatakan Filep Karma sebagai individu dan father figure (sosok bapak) dalam visi dan aspirasi masyarakat Papua. “Kami semua melihatnya sebagai Bapak Bangsa Papua Barat, juga tokoh pemimpin kaliber dunia,” kata Ronny.
Filep Karma telah pergi untuk selamanya. Namun, semangat dan perjuangannya tetap hidup dan terus membakar semangat generasi muda Papua, untuk meneruskan cita-cita perjuangannya hingga menjadi nyata. Seorang tokoh dapat dikenang apabila ada generasi yang melanjutkan perjuangannya. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR)