Opini  

Menyikapi ide filosofis Nietzsche di Papua (bagian 2)

Filosofis
Tangkapan layar dari video amatir, saat polisi membubarkan paksa aksi tolak DOB-Otsus di kawasan Mega, Waena, Selasa, 10 Mei 2022. Banyak mahasiswa terluka akibat jatuh dan dipukul pakai pentungan karet. Jubi/Ist

Oleh: Siorus Degei

Bahwa manusia Papua selama ini diperbudak oleh ego, gengsi, dan ambisi, visi-misi, agama, suku, wilayah adat, kepentingan, organisasi, perhimpunan, dan tokoh. Manusia Papua tidak menyadari dirinya sebagai manusia yang semestinya menjadi dirinya sendiri dalam menentukan nasibnya sebagai bangsa yang bebas dan merdeka.

Orang asli Papua (OAP) harus sadar bahwa mereka berjuang mewujudkan Free West Papua itu, pertama-tama bukan karena dogmatisme, fundamnelisme tradisional dalam suku, budaya, agama, parta, organisasi, tokoh, wilayah adat, dan pandangan politik, tetapi pertama-tama karena memang pada hakikatnya ia harus melakukan itu karena ia adalah budak di mata sistem kolonialisme NKRI dan sekutunya.

Motivasi dan orientasi manusia Papua dalam memperjuangkan nasibnya sendiri harus jelas, tegas, murni, suci dan kokoh tanpa embel-embel, intervensi dan campur tangan dogmatisme dan fundamnelisme apapun.

Bahwa yang ada dalam darah, nadi, dan napas manusia Papua hanyalah ideologi, nasionalisme dan patriotisme sejati, tanpa diperbudak oleh siapapun.

Kolonial NKRI dan sekutunya telah sukses memperbudak manusia Papua melalui strategi polarisasi, segmentasi dan segregasi (fashion eksistensialis). OAP dipilih dan dipilah berdasarkan beberapa variabel; Pertama, Wilayah adat (Mamta, Anim Ha, Bomberai, Domberai, Saireri, Meepago, dan Lapago). Belakangan muncul ide Tabi sebagai wilayah adat kedelapan (kemungkinan demi pemuasan libido politik beberapa “kepala bocor” melalui DOB); Kedua, DOB/pemekaran (Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Provinsi Papua Barat Daya).

Belakangan muncul ide pemekaran Provinsi Papua Utara; Ketiga, Letak geografis dan topografis. Ada distingsi, dikotomi dan gab-gab antara orang Papua di gunung, lembah, pantai, kepulauan, muara, dan danau; Keempat, Agama. Ada distingsi, dikotomi dan gab-gab ideologis, dogmatis dan teologis antara orang West Papua berdasarkan agama (Islam, Protestan, Katolik).

Apalagi sekarang denonimasi gereja menjamur; Kelima, suku. Jumlah suku di Papua sekitar 255. Tiap suku mempunyai bahasa dan kebudayaan sendiri; Keenam, Organisasi politik (WPNCL, PNWP, dan NRFPB, ketiganya bersatu dalam ULMWP). Ada pula organ-organ pergerakan lainnya semisal KNPB, TPNPB-OPM, DAP, FIMWP, SONAMAPA, GEMPAR, Bintang Empat Belas, PARJAL, AMP, Front Rakyat Papua, dan lainnya. Kesemuanya membawa satu tujuan, yakni Free West Papua, tetapi dengan sarana (cara, gaya, konsep dan mekanisme) yang berbeda.

Baca juga:

Menyikapi ide filosofis Nietzsche di Papua (1)

Kendati pun demikian, rupanya semakin ke sini ada distingsi, dikotomi, dualisme, konfrontasi ideologis, primordialisme, gab-gab dan hegemoni pergolakan internal-eksternal lainnya yang dipolarisasi, disegmentasi dan disegregasi oleh kolonial NKRI dan sekutunya;

Ketujuh, Gender. Basis dan atau materi polarisasi, segmentasi dan segregasi bangsa West Papua yang sukses dilakukan oleh penguasa dan pengusaha kolonial NKRI dan sekutunya adalah gender. Kini melalui fashion show eksistensialis yang termanifestasikan melalui media sosial. Bahwa ada semacam distingsi, dikotomi, dualisme, konfrontasi ideologis, dan benturan akibat gab-gab antara laki-laki dan perempuan dalam iklim sejarah perjuangan bangsa West Papua.

Masih banyak lagi forma dan materi polarisasi, segmentasi, dan segregasi bangsa West Papua yang terus dilakoni oleh kolonial NKRI dan sekutunya.

Namun, kurang lebih tujuh forma dan materi yang menjadi basis politik perpecahan bangsa West Papua yang cukup delegatif dan representatif dalam menggambarkan manusia Papua yang memperjuangkan nasib bangsa dan tanah airnya, menuju alam kemerdekaan itu mengalami perbudakan eksistensial, esensial dan subtansial yang bersifat dogmatis, ideologis, kultural, emosional, filosofis, teologis, politis, sosiologis, antropologis, geografis, topografis, gender, agamis, sukuis, komunitas dan lainnya. Sehingga memang dalam nada kasar dapat kita katakan bahwa bangsa West Papua adalah bangsa budak yang saling memperbudak.

Penulis melihat inilah titik nadir perbudakan yang paling ekstrem dan nihilis dalam prespektif Nietzsche. Jika hemat Nietzsche bangsa jagat di Eropa kontinental hanya diperbudak oleh norma-norma moral tradisional dengan Agama Kristiani sebagai patronnya.

Rupanya di West Papua lebih gila lagi, sebab bukan saja norma-norma, nilai-nilai religius, teologis, biblis dan dogmatisme agamis, melainkan hampir semua lini dan dimensi dasariah bangsa West Papua sudah digerogoti virus perbudakan dan perpecahan, sebagaimana yang penulis lukiskan secara inci dan ringkas melalui tujuh forma dan materi polarisasi, segmentasi dan segregasi di atas.

Fenomena di atas inilah yang membuat manusia Papua melulu dan konsisten tampil sebagai manusia kawanan, manusia massa. Bahwa OAP hanya berani, percaya diri, mau berjuang, dan berlagak berjiwa nasionalis dan patriotis jika aksi yang dilakukan itu datang dari sukunya atau kelompoknya.

Bangsa West Papua tidak mendasarkan diri sebagai manusia utuh atau integral yang mesti berjuang secara sadar, bertanggung jawab dan lepas bebas—atau dalam istilah Nietzsche adalah manusia bermoralitas tuan, manusia super.
Manusia OAP sebagai “manusia tuan/super”

Kita sudah memotret manusia budak/lemah dan refleksi filosofis bahwa OAP sebagai manusia budak/lemah dalam siklus dan diskursus perjuangan Free West Papua melalui pikiran filosofis Nietzsche.

Sekarang sebaliknya dalam satu tarikan napas yang sama kita akan merefleksikan bersama bagaimana OAP dipandang sebagai manusia tuan/super/kuat dalam hegemoni, dinamika dan dialektika perjuangan bangsa West Papua menuju self determination.
Potret manusia Papua sebagai manusia super itu dapat kita saksikan dengan mereferensikan fenomena perjuangan, pergerakan dan perlawanan bangsa West Papua menentukan nasibnya sendiri.

Manusia super/kuat/tuan di West Papua adalah dia yang tidak tunduk dan mau diperbudak oleh variabel-variabel polarisasi, segmentasi dan segregasi. Manusia super/kuat/tuan di West Papua adalah mereka yang memiliki kesadaran penuh dan kedalaman keyakinan bahwa mereka adalah tuan atau pewaris atas tanah Papua.

Bahwa mereka itu adalah orang-orang yang tidak mudah tunduk, dimanfaatkan, dimanipulasi, dikapitalisasi, dimobilisasi, diintervensi, dialienasi, diisolasi, didistorsi, diamputasi dan dikoloniasasi oleh hegemoni, dinamika, dialektika, dualisme, dan konfrontasi sistem kolonial NKRI.

Tipe OAP seperti ini teramat langka—sebab sama seperti Nietzsche—mereka harus menjadi orang yang selalu mempertanyakan eksistensi nilai-nilai moral tradisional yang sudah bertransformasi menjadi dogma, Kredo, dan teologi fundamental dalam siklus sejarah peradaban bangsa West Papua.

Mereka harus berani secara tegas, jelas dan keras “membunuh Tuhan atau menihilkan Tuhan ciptaan para kolonial, kapital, feodal dan imperial” di West Papua. Mereka (OAP) harus membunuh “Tuhan” yang menjajah bangsa West Papua, baik internal, maupun eksternal.

Bahwa “tuhan” suku, agama, budaya, organisasi, dan lain-lain mesti secara berani, percaya diri, gigih dan kokoh “dimaklumatkan”, “diproklamirkan” dan “didekrasikan” kenihilan dan kematiannya di West Papua.

Mesti ada rekonsiliasi universal dan komprehensif Sorong-Samarai tiga tungku lintas suku, agama dan organ pergerakan West Papua, agar perjuangan bangsa West Papua benar-benar menjadi suatu perwujudan jati diri OAP sebagai bangsa tuan atas bumi West Papua. OAP harus berani menihilkan dan membunuh “tuhan ciptaan konsep dan mekanisme politik devide et impera kolonial NKRI”.

Beberapa pokok penegasan

Kurang lebih secara sepintas lalu kita menyelami alam pemikiran filsuf yang mendeklarasikan dirinya sebagai dewa nihilisme dan pembunuh Tuhan, lantaran pemikiran-pemikiran filosofisnya yang menjungkirbalikkan tatanan nilai-nilai moral, etika, hukum, musik, filsafat, teologi dan pengetahuan lainnya, yang katanya sudah mapan, baik, luhur, kudus dan suci, sehingga karenanya tabu dan haram untuk dikritik, apalagi hendak dinihilkan dan dibunuh, padahal nilai-nilai itu hanya mesti diimplementasikan dan direalisasikan secara begitu saja.

Pemikiran Nietzsche ini sangat kontekstual dan aplikatif jika kita refleksikan dan relevansikan dengan situasi dan kondisi konflik West Papua, terutama fenomena distingsi, dikotomi, dan gab dalam jati diri dan hidup perjuangan bangsa West Papua, yang memang sudah di-setting dan di-desain secara sistematis, rahasia, masif, dan kontinu oleh sistem kapitalisme, kolonialisme, fasisme dan rasisme NKRI melalui suku, wilayah adat, marga, sub-marga, provinsi, kota, kabupaten, distrik, kampung, keluarga, gender, agama, dedonimasi gereja, dob/pemekaran, otsus, organisasi, perhimpunan, pandangan politik, ideologi, agenda, geografis dan topografis wilayah, yang sudah semacam termaktub sebagai dogmatisme, fundamentalisme, iman kolektif, dan pedoman dasar/pegangan hidup yang baik dan benar, hingga memang sudah mendarah daging dan sulit dilepaskan.

Bahwa “kicauan hantu tuhan atau tuhan hantu” telah menjadi “tuhan” yang sangat bersalah dan berdosa sekali jika hendak dinihilkan dan dibunuh. Sehingga pada tataran seperti inilah intisari pemikiran Nietzsche sangat dibutuhkan oleh OAP untuk senantiasa “membongkar”, “mempertanyakan”, “mengeritisi”, bahkan mendeklarasikan dan memproklamasikan kenihilan dan kematian “tuhan ciptaan sistem kolonialisme, kapitalisme, feodalisme, imperialisme, fasisme, militerisme, dan rasisme” melalui kiprah dan passion perjuangan, pergerakan dan perjuangan yang suci dilandasi ideologi, nasionalisme dan patriotisme kepapuaan yang utuh, luhur dan suci dengan bintang kejora sebagai panglima dan jenderal tertinggi perjuangan pembebasan dan perdamaian bangsa West Papua.

Semoga ada kepercayaan, keterbukaan dan rasa memiliki yang tinggi di antara sesama anak negeri West Papua untuk berdialog dan bersatu di dalam rencana dan kehendak Tuhan, alam dan leluhur bangsa Papua yang tulus dan murni.

Bangsa West Papua dipanggil untuk “menihilkan dan membunuh tuhan palsu” dengan melakukan rekonsiliasi universal dan komprehensif tiga tungku – suku, agama, dan adat.

Sebagai langkah awal, sebagai jalan menjadi “manusia papua yang super, kuat, raja dan tuan” setiap orang, organ, keluarga, marga dan komunitas-komunitas kategorial lainnya bisa menempuh jalan rekonsiliasi internal meliputi semua anggotanya.

Mari jadi manusia super, tuan di atas tanah leluhur West Papua yang suci dengan kembali ke gerakan tungku api keluarga, kembali ke honai adat dan kembali ke marga. Mari nihilkan dan bunuh hantu “yang pura-pura jadi tuhan di West Papua”. (*)

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua

 

Comments Box
Exit mobile version