Jayapura, Jubi – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara atau PPMAN mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, 25 Oktober 2023 terkait Rancangan Undang-Undang masyarakat adat yang tidak kunjung dibahas.
Ketua Badan Pengurus Nasional PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam siaran persnya yang diterima Jubi, Kamis (26/10/2023) mengatakan gugatan tersebut berdasarkan pada perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Menurutnya, meskipun RUU masyarakat adat telah masuk ke dalam daftar program legislasi nasional prioritas DPR RI, nyatanya RUU tersebut mandeg dan tidak pernah naik ke tingkat II [Paripurna] untuk menjadi RUU inisiatif DPR yang kemudian dibahas bersama pemerintah.
“Sejak 2009 RUU masyarakat adat berproses tanpa ada kepastian. Situasi tersebut yang mendorong perwakilan kelompok masyarakat adat mengajukan gugatan,” ujar Syamsul Alam Agus.
Alam menjelaskan pihak penggugat sebanyak sepuluh orang, satu mewakili organisasi masyarakat adat yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sementara tujuh di antara penggugat ada di dalam penjara yang diduga mengalami kriminalisasi.
“Ini menjadi poin penting. Karena tidak adanya undang-undang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat, mereka menjadi rentan mengalami kriminalisasi,” katanya.
Pendaftaran gugatan terhadap DPR dan Presiden RI telah diterima oleh PTUN dengan nomor perkara 542/G/TF/2023/PTUN Jakarta.
Adapun pihak penggugat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai Timur, Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, dan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera Maluku Utara.
“Melalui gugatan ini kami ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa tanpa adanya payung hukum nasional yang secara khusus mengatur masyarakat adat, maka konflik di level komunitas masyarakat adat ke depan berpotensi semakin tinggi. Kami berharap pemerintah serius sehingga data kasus tidak sekedar menjadi angka statistik,” sambung Fatiatulo Lazira, SH salah seorang tim kuasa hukum dari PPMAN.
Menurut Fatiatulo Lazira, pembentukan undang-undang masyarakat hukum adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD tahun 1945, merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara.
Ketiadaan payung hukum khusus mengatur masyarakat adat, membawa sejumlah konsekuensi negatif terhadap mereka antara lain ancaman kriminalisasi atas akses pengelolaan hutan, hilangnya wilayah adat, bahkan lebih jauh, hilangnya eksistensi dan identitas adat itu sendiri.
AMAN mencatat selama lima tahun belakang, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. PPMAN juga mendata selama Januari hingga September 2023 telah terjadi 12 kasus kriminalisasi yang terkait dengan konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.
Pendaftaran gugatan TUN ini terkait perbuatan melawan hukum yang dilayangkan masyarakat adat mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah momentum tahun politik 2024. Dalam konteks kontestasi pemilu, isu masyarakat adat kerap dijadikan bahan kampanye. Namun, setelah calon tersebut berkuasa, isu tersebut redup dan tak tersentuh.
RUU masyarakat hukum adat telah selesai diharmonisasi tetapi tidak pernah berlanjut untuk ditetapkan. Berkali-kali pula AMAN dan perwakilan masyarakat adat lainnya terus mengingatkan agar pembahasan dilanjutkan sehingga tersedianya kepastian hukum.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolingi mengatakan pihaknya telah mengirimkan permohonan resmi untuk pembahasan RUU Masyarakat Adat, tepatnya 31 Juli 2023 ke DPR RI dan 1 Agustus 2023 ke presiden, tapi hingga saat ini tidak ada tanggapan dari para pembuat kebijakan.
“Karena tidak ada tanggapan, maka hari ini kami mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” kata Rukka Sombolingi.
Rukka mengatakan RUU masyarakat adat yang tak kunjung disahkan, menunjukan bahwa DPR dan pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Ia mencontohkan berbagai dampak buruk bagi masyarakat adat di tingkat tapak akibat dari tidak adanya payung hukum nasional yang melindungi masyarakat adat misalnya tentang mitigasi perubahan iklim dan transisi energi.
“Bendungan, PLTA, geothermal dan lain lain, saat ini semua dibangun dengan merampas wilayah adat. Hutan-hutan terbaik yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat, diklaim oleh pemerintah dalam urusan perdagangan karbon,” ujarnya.
Hal lain yang ia contohkan adalah kawasan hutan lindung, konservasi, taman nasional, tambang, telah merugikan Masyarakat Adat karena diusir dari kampung halamannya, bahkan dikriminalisasi.
“Orang Tobelo Dalam yang mengalami stigma, bahkan dipenjara seumur hidup. Mikael Ane dihukum 1,5 tahun penjara karena hidup di wilayah adatnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan taman wisata alam. Ini dampak buruk dan membuat Masyarakat Adat rentan karena tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya. (*)