Jayapura, Jubi – Kasus teror bom yang terjadi di samping rumah jurnalis Papua dan Jubi, Victor C Mambor, di Kota Jayapura pada 23 Januari 2023, oleh kepolisian telah di SP3-kan atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang dikeluarkan pada Mei 2023.
Hal itu membuat Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia, Komite Keselamatan Jurnalis, dan LBH Pers angkat bicara. Ketiga lembaga ini menilai kepolisian di Kota Jayapura maupun Polda Papua tidak profesional dalam menyikap kasus tersebut.
Hal ini diungkap dalam sebuah konferensi pers secara virtual, Rabu (18/10/2023).
Sekjen AJI Indonesia, Ika Ningtyas, mengatakan pihaknya merasa terkejut menerima SP3 kasus teror bom di rumah Victor Mambor justru dari Komnas HAM Perwakilan Papua bukan dari pihak kepolisian di Papua.
“Kami justru menerima salinan surat tersebut dari Komnas HAM Papua, dan ternyata telah di SP3-kan sejak Mei 2023. Artinya, ada rentang waktu sekian bulan yang tidak diberikan informasi, baik Victor Mambor sebagai korban maupun terhadap para pendampingnya,” kata Ika Ningtyas.
Hal ini membuat kinerja kepolisian yang menangani kasus tersebut sejak awal tidak profesional dan ini adalah bentuk ketidaktransparan kepolisian menangani kasus tersebut.
Ika mengatakan hingga 13 Oktober 2023, baik AJI maupun Victor Mambor, tidak mendapat pemberitahuan dari polisi terkait perkembangan kasus itu.
Hal itu diketahui pada 14 Oktober 2023, dimana saat Victor Mambor setiba di rumahnya, mendapatkan salinan surat dari Komnas HAM Papua dari Polda Papua.
Padahal, katanya, dalam proses penyelidikan kasus tersebut, Tim Inafis Polresta Jayapura dan Bidang Labfor Polda Papua telah melakukan olah TKP dengan ditemukannya serpihan kapas, plastik, dan cairan yang menempel pada daun.
Lalu, Unit Reskrim Polsek Jayapura Utara telah memeriksa enam orang saksi, termasuk saksi pelapor dan satu saksi ahli. Bahkan polisi juga telah melakukan penyitaan terhadap benda yaitu 14 bungkus yang diklasifikasikan sebagai sampel plastik, 27 bungkus sampel kapas, empat bungkus sampel krikil, dan sampel daun.
“Dari hasil pemeriksaannya ada yang dinyatakan positif oksidator atau ditemukan senyawa kimia yang memiliki sifat eksplosif atau mudah meledak dan mudah terbakar,” katanya.
Kejanggalan yang ditemukan saat dilakukan gelar perkara oleh polisi menghasilkan rekomendasi menghentikan penyidikan pada 12 Mei 2023 hanya selang sehari setelah gelar perkara dilakukan, polisi mengeluarkan SP3.
Untuk itu ia mempertanyakan apa yang menjadi alasan penghentian atau terbitnya SP3 kasus teror tersebut, karena peristiwa yang dialami Victor Mambor itu cukup kuat dan tidak ada alasan bagi polisi untuk menangkap pelaku, dengan berbagai bukti seperti rekaman CCTV saat kejadian.
Komite Keselamatan Jurnalis, Zaky Yamani, menyayangkan dikeluarkannya SP3 tersebut dan menganggap polisi telah kehilangan fokus dalam penanganan persoalan tersebut.
“Seharusnya dilihat bahwa serangan itu adalah teror terhadap jurnalis. Namun polisi lebih terfokus pada pembuktian kandungan bahan yang ditemukan,” katanya.
Jika kasus ini, diabaikan katanya, maka impunitas akan berlangsung terus menerus baik terhadap kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi. Karena teror seperti itu akan mengakibatkan ketakutan yang akan terus terjadi, dan sangat buruk bagi situasi jurnalis.
Ahmad Fathanah dari LBH Pers menjelaskan jika dilihat dari aspek hukum, surat yang dikeluarkan oleh kepolisian Papua itu telah memeriksa enam saksi dari pelapor dan salah satunya termasuk ahli, juga bukti-bukti serpihan yang bisa memicu peledak.
Yang menjadi tanda tanya penghentian penyidikan itu hasil rekomendasi dari gelar perkara, dan yang menjadi pertanyaan dari SP3 jika dilihat dari ketentuan KUHAP memang ada syarat untuk dilakukan SP3 seperti tidak cukupnya alat bukti, dan bukan merupakan tindak pidana.
“Namun dalam surat yang dikeluarkan kepolisian Papua bahwa ada alat bukti pertama enam saksi dari pelapor, adanya serpihan yang diduga dari bahan kimia yang dapat memicu ledakan. Namun ketika itu tidak termasuk dalam alat bukti, pandangan kepolisian melihat itu seperti apa,” katanya.
Sedangkan dalam bukti-bukti berkas yang dikeluarkan kepolisian semua terpenuhi bukti saksi dan serpihan-serpihan yang ditemukan, dan kenapa bisa sampai keluar SP3.
“Di dalam KUHAP upaya untuk melakukan tanggapan terhadap SP3 itu ada praperadilan oleh pelapor untuk mengajukan bahwa SP3 itu tidak sah. Lalu yang membuat aneh lagi bahwa surat yang diterima oleh pelapor SP3 di 12 Mei 2023, sedangkan surat yang didapat oleh pelapor 12 Oktober sehingga ada rentang waktu yang cukup lama,” katanya.
Bahkan, lanjutnya, di dalam surat pemberitahuan tidak dicantumkan tembusan kepada kuasa hukum atau pelapor itu sendiri, justru tembusan ke pihak lain, sehingga menjadi pertanyaan tiba-tiba dikeluarkan SP3.
Victor Mambor sendiri mengaku kejadian teror bom bukan yang pertama kali diterimanya. Sebelumnya bentuk teror yang dialami ialah pengrusakan mobil miliknya dan sejak awal tidak yakin teror-teror yang dialaminya dapat diselesaikan dengan bijak.
Ia pun mengaku selama proses penyelidikan teror bom dirinya selalu kooperatif ketika dipanggil untuk dimintai keterangan di kepolisian. Selain itu ia juga mempertanyakan jika ditemukan tidak ada bahan kimia dalam ledakan di dekat rumahnya itu. Usai kejadian, korban sendiri mengetahui bahwa ada semacam bau belerang dan jalan pun berlobang akibat ledakan itu.
“Di rekaman CCTV juga terlihat ada seseorang menggunakan sepeda motor melintasi samping rumahnya. Namun kenyataannya tidak pernah mendapatkan feedback. Apalagi surat SP3 itu saya tahu dari Komnas HAM Perwakilan Papua,” katanya.
Untuk upaya hukum selanjutnya, ia menyerahkan seluruhnya kepada AJI Indonesia dan pelapor lainnya, baik itu untuk praperadilan atau langkah apapun ke depannya. Ia hanya meminta kepolisian untuk transparan dalam mengungkap kasus tersebut.
“Yang terjadi di kota saja bisa begini, bagaimana jika menimpa masyarakat di kampung yang jauh dari jangkauan untuk dilakukan advokasi,” kata Mambor. (*)